Jejak Grup Astra dari Om William hingga Bikin Jardine Cuan 300 persen per Tahun

Grup Astra menjadi salah satu konglomerasi besar yang rutin bagi dividen. September ini biasanya bakal banyak pengumuman dividen interim dari grup tersebut. Bagaimana jejak perjalanan Grup tersebut hingga kini ya?

Jejak Grup Astra dari Om William hingga Bikin Jardine Cuan 300 persen per Tahun

Mikirduit – Grup Astra yang digawangi holding company-nya PT Astra International Tbk. (ASII) bisa dibilang salah satu konglomerasi besar yang konsisten memberikan dividen yang menggiurkan. Meski, kini perusahaan tersebut dimiliki oleh Jardine, perusahaan asal Inggris yang bermarkas di Hong Kong, tapi sejatinya Grup Astra dibangun oleh orang Indonesia. Bagaimana jejak Grup Astra sejak didirikan hingga saat ini?

Grup Astra sering jadi sorotan jelang akhir September karena biasanya bakal mulai mengumumkan pembagian dividen interim. Hingga 28 September 2024, ada dua entitas Grup Astra yang sudah umumkan dividen interim, yakni AALI dan UNTR. 

AALI memutuskan bagikan dividen sekitar Rp84 per saham. Perkiraan dividen AALI ini lebih tinggi dari ekspektasi kami yang memproyeksikan dividen interim di angka Rp57,27 per saham. Jika menggunakan harga saham per 27 September 2024, tingkat dividend yield interim AALI mencapai 1,25 persen. 

Jadwal pembagian dividen AALI antara lain, periode cum-dividen pada 3 Oktober 2024, sedangkan pembayaran dividen dilakukan pada 24 Oktober 2024. 

Lalu, UNTR juga memutuskan bagikan dividen interim sekitar Rp667 per saham. Hasil ini juga sedikit di atas perkiraan kami yang proyeksikan dividen interim UNTR di Rp638 per saham. Dengan begitu, tingkat dividend yield UNTR dengan menggunakan harga per 27 September 2024 sebesar 2,41 persen. 

Selain dua entitas itu, masih ada beberapa entitas Grup Astra yang bakal umumkan dividen, yakni ASII, AUTO, dan ASGR. 

Proyeksi kami, dividen interim ketiga emiten Grup ASII itu antara lain:

  • ASII senilai Rp78,2 per saham
  • AUTO senilai Rp26,87 per saham
  • ASGR senilai Rp18,27 per saham

Dengan tingkat dividen yang konsisten, saham-saham di Grup Astra ini memang sering menjadi pilihan bagi para investor yang memburu saham dividen.

Perjalanan Grup Astra Hingga Bisa Menjadi Besar

Secara total, Grup Astra memiliki tujuh lini bisnis, yakni otomotif, jasa keuangan, alat berat dan pertambangan, serta energi, agribisnis, infrastruktur dan logistik, teknologi informasi, dan properti. 

Jika dilihat tiga kontributor terbesar ke laba bersih antara lain, sektor otomotif, pertambangan dan alat berat, serta jasa keuangan. 

Beberapa entitas Grup Astra yang sudah melantai di IDX antara lain, ASII sebagai holding company-nya, UNTR di sektor alat berat dan pertambangan, serta energi, AUTO di sektor komponen otomotif, AALI di sektor perkebunan, ASGR di sektor teknologi dan informasi, dan ACST di bawah UNTR.

Namun, awal bisnis ASII sebenarnya adalah perdagangan barang impor. Perusahaan dagang barang impor itu menjadi hadiah dari adik William Soeryadjaya yang sempat masuk penjara karena ada perselisihan bisnis pada 1950-an. Untuk itu, adik-adiknya mencari perusahaan yang punya izin impor (karena dulu agak susah mengurus izin impor dari nol). 

Akhirnya, hadirlah perusahaan yang berlokasi di Jalan Sabang Nomor 36, Jakarta Pusat. Perusahaan itu pun dilihat lebih mirip toko kelontong ketimbang importir apalagi lokasinya sering terkena banjir. 

Adik Om Liem (William Soeryadjaya) mengganti nama  perusahaan lama yang mereka beli menjadi Astra. Filosofinya, Astra itu berasal dari mitologi Yunani Kuno yang berarti terbang ke langit dan menjadi bintang terang. 

Awalnya, Astra menjual produk impor seperti limun merek Prim Club dan kornet CIP. Selain itu, Astra juga jual produk lokal seperti, pasta gigi Fresh O Dent. Lalu, Astra juga sempat bisnis distribusi fosfat Aluminium dan lampu. Hingga juga merambah bisnis ekspor minyak kopra dan minyak goreng. 

Bisnis Astra mulai berkembang ketika era Orde Baru dimulai. Di sini, Astra menjadi importir aspal dari Marubeni Jepang untuk membangun jalan. Bahkan, Astra juga mendapatkan pinjaman dana senilai 2,9 juta dolar AS untuk mengimpor truk atau apapun dari Amerika Serikat (AS) dengan catatan hasil barang impornya tidak boleh untuk pemerintah.

Sayangnya, Astra mengimpor truk Chevrolet milik General Motors untuk kebutuhan pemerintahan. Dari situ, Astra dilarang untuk mengimpor produk lebih banyak lagi dari Negeri Paman Sam. Di sini, juga arah bisnis Astra mulai mendekat ke Jepang.

Memasuki 1968, ketika Astra siap melaju, William mengajak keponakannya Teddy Rachmat untuk bergabung dalam pengembangan bisnis alat berat. Setahun kemudian Benny Subianto, kawan Teddy Rachmat, juga bergabung ke Astra. Di sini, perkembangan bisnis Astra makin pesat setelah bekerja sama dengan Toyota hingga melahirkan mobil Kijang yang merupakan Kerja Sama Indonesia Jepang.

Jangan Ditunda Lagi! Ini Alasan Pentingnya Investasi Saham
Banyak yang bilang kalau investasi itu enaknya menunggu modal besar, tapi asumsi itu salah besar. Berikut ini alasan kenapa kamu harus mulai investasi sejak dini.

Deretan Diversifikasi BIsnis Grup Astra

Selain bisnis otomotif dan importir, salah satu bisnis tertua Grup Astra ada di PT Astra Graphia Tbk. (ASGR). 

ASGR didirikan pada 1975 dengan memiliki beberapa lini bisnis, salah satunya sebagai distributor eksklusif Fuji Xerox Co. Ltd, Jepang untuk Indonesia pada 1976.

Dalam perkembangannya, bisnis ASGR pun kini telah berubah menjadi penyedia layanan percetakan dan digital. Meski, mengalami banyak perubahan, tapi ASGR masih terus menjaga pertumbuhan bisnis, serta rutin bagi dividen. 

Selain ASGR, beberapa bisnis Grup Astra lainnya adalah perkebunan CPO. Secara historis, AALI mulai beroperasi secara komersial pada 1995. AALI punya lahan perkebunan seluas 272.994 hektar. 

Lalu, bisnis UNTR Grup Astra juga terus berkembang. Dari awalnya, sebagai distributor tunggal alat berat bermerek Komatsu dan Tadano sejak 1973, perseroan pun mendirikan bisnis jasa kontraktor penambangan bernama PT Pamapersada Nusantara (PAMA) pada 1989. 

UNTR juga sempat membuat perusahaan patungan bersama SMGR bernama PT United Tractors Semen Gresik untuk proyek pertambangan quarry dan batu kapur. Perusahaan ini pun masih ada sampai saat ini sebagai salah satu entitas asosiasi perseroan. 

Lalu, UNTR mulai masuk ke bisnis tambang batu bara sejak 2007 ketika mengakuisisi PT Prima Multi Mineral yang memiliki hak konsesi lahan tambang di Rantau, Kalimantan Selatan. 

Secara umum, saat ini UNTR memiliki bisnis yang lebih lengkap lagi dengan memiliki tambang emas, nikel, pembangkit listrik tenaga hydro, hingga panas bumi.

Geng Pebisnis Terbesar di Pasar Modal Indonesia
Bukan Grup Salim, Djarum, atau siapapun, ternyata inilah geng pebisnis terbesar di Bursa Efek Indonesia. Kamu punya sahamnya nggak?

Lika-liku Bisnis Bank ASII

Selain dikenal sebagai perusahaan yang punya bisnis otomotif, ASII juga sempat memiliki salah satu bank besar, yakni PT Bank Permata Tbk. (BNLI). Jejak Grup Astra menjadi pemegang saham BNLI terjadi akibat krisis 1998. Kala itu, Bank Bali (sebelum menjadi Bank Permata) mengalami kesulitan seperti bank-bank lainnya di Indonesia. Akhirnya Bank Bali diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 

Lalu, pemerintah Indonesia memutuskan merger Bank Bali dengan empat bank lainnya, yakni PT Bank Universal Tbk, PT Bank Prima Express, PT Bank Artamedia, dan PT Bank Patriot. Kelima bank yang dimerger tersebut menjadi PT Bank Permata Tbk. (BNLI). 

Pemerintah Indonesia pun melakukan divestasi kepemilikan di BNLI. Kala itu, yang mengambil alih BNLI adalah Standard Chartered dan Grup Astra dengan masing-masing kepemilikan sebesar 25,86 persen pada 2004. 

Secara bertahap, Standard Chartered dan Grup Astra terus menaikkan kepemilikannya hingga keduanya memiliki total 89,01 persen (masing-masing 44,5 persen) pada 2006. 

Namun, kongsi Grup Astra dengan Standard Chartered di BNLI berakhir pada 2020 ketika melepas bank tersebut ke Bank Bangkok. Cerita divestasi ini sudah muncul sejak 2017 ketika secara bersamaan Bank tersebut mengalami kredit bermasalah yang cukup besar, serta mengalami kerugian hingga Rp6 triliun. 

Untungnya, Grup Astra dan Standard Chartered tetap berkomitmen menyelamatkan BNLI dengan melakukan penyuntikan modal sehingga bank tersebut bisa terus beroperasi hingga saat ini. 

Meski sudah melepas BNLI, kini Grup Astra mulai merangkai bisnis bank lainnya di Bank Jasa Jakarta dengan produk digitalnya, Bank Saqu. Jika sebelumnya di BNLI, Grup Astra kongsi dengan Standard Chartered, kali ini perusahaan tersebut berkolaborasi dengan WeLab Sky untuk mengakuisisi 100 persen saham  Bank Jasa Jakarta pada 2023. 

WeLab adalah perusahaan milik Li Ka Shing, yang juga menjadi pemegang saham Hutchinson, perusahaan telekomunikasi dengan brand Tri di Indonesia. Grup Astra dan Welab ini sudah cukup lama berkolaborasi dalam hal pengembangan fintech, termasuk Maucash.

Jejak BBKP yang Sakitnya Tidak Kunjung Sembuh
Saham BBKP sudah bangkit dari gocap, apakah akan berlanjut? jawabannya adalah tergantung strategi Kookmin Bank untuk kembali menyehatkan BBKP yang sudah mulai muncul gejala sakit sejak 2016

Kisah Grup Astra yang Lepas dari Tangan William Soeryadjaya

 Dalam 4 dekade, (1950-an hingga 1990-an), Astra berkembang menjadi perusahaan besar yang dibangun oleh William Soeryadjaya dan dibantu beberapa kerabatnya yang menjadi karyawan awal di Astra seperti Teddy Tohir (ayah dari Boy dan Erick Thohir) hingga T.P Rachmat (keponakan William).

Namun, William harus melepas kepemilikan Astra pada 1992 karena bisnis anaknya, Edward Soeryadjaya bermasalah, yakni Bank Summa. Kala itu, Bank Summa mencatatkan kredit macet senilai Rp1,2 triliun. 

Demi menjaga nama baik dan mengembalikan dana nasabah, William melepas kepemilikannya di Astra untuk menuntaskan masalah bisnis anaknya tersebut. 

Kala itu, William melepas 100 juta lembar saham Astra (dari total yang dimiliki 160 juta lembar) kepada konsorsium Prajogo Pangestu. Kabarnya, William pun menjual saham Astra di bawah harga pasar sekitar Rp7.000 hingga Rp8.000 per saham. Padahal, saat IPO di 1990-an, harga yang ditawarkan sekitar 14.850 per saham. Dengan begitu, total nilai uang yang didapatkan William sekitar Rp800 miliar kala itu.

Setelah dijual William, saham Astra dimiliki oleh Putra Sampoerna sebesar 14,67 persen, Prajogo Pangestu 10,68 persen, Toyota Jepang 8,26 persen, Grup Salim sebesar 8,19 persen, Usman Atmadjaja sebesar 5,99 persen, dan sisanya dimiliki oleh publik.

Meski, pada akhirnya Bank Summa harus dilikuidasi, dan William juga tidak bisa menyelamatkan entitas bisnis bank anaknya tersebut. Jadi usaha William jadi penjamin anaknya hanya sebatas membayar kewajiban, dan nasib Bank Summa tetap tamat. 

Sayangnya, kepemilikan saham Astra ditangan Prajogo Cs juga tidak bertahan lama. Setelah krisis 1998, kinerja Astra turun drastis hingga mengalami kerugian senilai Rp7,36 triliun. Bahkan, Astra sudah disebut bangkrut hingga akhirnya masuk karantina Badan penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 

ASII masuk ke BPPN karena aset para pemilik Astra saat itu dijadikan jaminan utang di bank yang masuk kandang lembaga tersebut. Sampai akhirnya, Astra kembali sehat dan BPPN mulai melakukan divestasi dengan tender pada 2000-an. 

Kala itu, anak William Soeryadjaya, yakni Edwin Soeryadjaya sempat ikut tender bersama Sandiaga Uno via konsorsium Saratoga. Sayangnya, Saratoga kalah dan tender dimenangkan oleh Jardine Cycle & Carriage. 

Jardine mengakuisisi 50,11 persen saham Astra senilai 506 juta dolar AS. Jika menggunakan asumsi kurs rupiah terhadap dolar AS senilai Rp10.000, berarti harga rata-rata saham ASII yang dimiliki Jardine adalah Rp124 per saham. 

Jika ASII bagikan dividen senilai Rp400 per saham setiap tahun, berarti Jardine sudah untung sebesar 320 persen per tahunnya. (tingkat dividend yield dari harga rata-rata yang diasumsikan dipegang Jardine)

Dengan keuntungan jumbo dan skala bisnis yang besar, apakah mungkin Jardine rela melepaskan bagian usaha yang menguntungkan tersebut?

Mulai Langkah Investasi Saham-mu Bersama Mikirdividen

Kamu bisa mengetahui gambaran benefit jadi member mikirdividen dengan klik di sini.

Secara umum, kamu akan mendapatkan beberapa benefit dengan menjadi member mikirdividen seperti:

  • Analisis 31 Saham Dividen yang Cocok untuk Investasi Jangka Panjang (Di-update fundamentalnya per 3 bulan dan harga wajar secara real-time)
  • 24 Digest, Publikasi bulanan yang bisa memandumu investasi saham dengan fenomena yang bakal terjadi di bulan selanjutnya
  • Grup Diskusi di Whatsapp
  • Event Online Bulanan

Kamu bisa jadi member Mikirdividen dengan Harga Diskon 33% menjadi Rp400.000 per tahun. Untuk join jadi member bisa klik di sini. | Promo Paket Ini Berlaku Hingga 31 Desember 2024

Selain itu ada promo lainnya seperti:

  • Paket Lengkap Mikirdividen 1 Tahun + Paket e-Book Saham Pertama: DISKON 44% menjadi Rp500.000. Tertarik dengan paket ini, klik link di sini | Promo Paket ini hanya berlaku hingga 30 September 2024
  • Paket e-Book Saham Pertama dengan Benefit (e-Book Saham Pertama, Rekaman Event Saham Pertama, Kalkulator Harga Wajar): DISKON 33% menjadi Rp200.000. Tertarik dengan paket ini, klik link di sini | Promo Paket Ini Berlaku hingga 31 Desember 2024

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini

Referensi: