Saham TPIA, Proyek Petrokimia Soeharto yang Diambil Alih Prajogo

Chandra Asri dan Tri Polyta adalah dua perusahaan proyek besar petrokimia Soeharto yang akhirnya jatuh ke tangan Prajogo. Bagaiaman kisahnya?

Saham TPIA, Proyek Petrokimia Soeharto yang Diambil Alih Prajogo

Mikirduit – PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. alias TPIA menjadi salah satu aset milik Prajogo Pangestu. Sebenarnya, TPIA adalah gabungan dari dua perusahaan, yakni PT Tri Polyta Indonesia Tbk. dan PT Chandra Asri Petrochemical. Lalu, bagaimana perjalanan keduanya hingga menjadi satu?

Perjalanan TPIA menjadi satu dan berada digenggaman taipan Prajogo Pangestu bisa dibilang cukup panjang. Semua bermula dari Prajogo yang mengambil alih Chandra Asri saat . Jadi, Prajogo disebut sepakat membeli seluruh saham Chandra Asri pada 1998 dari empat pengusaha lingkaran Soeharto, yakni Peter F. Gontha, Bambang Trihatmojo, Rossano Barrack, dan Henry  Pribadi. Prajogo membeli saham Chandra Asri dengan nilai cuma Rp1.000, tapi dia harus menyelesaikan pembayaran utang perusahaan itu kepada Marubeni senilai 870 juta dolar AS dan negara Rp1,2 triliun.

Adapun, kondisi Chandra Asri disebut sudah agak memburuk, bahkan hampir bangkrut pada 1995. Untuk menyelamatkan nasib Chandra Asri, pemerintah pun memberikan pajak impor untuk produk propilena dan etilena sebesar 20 persen.

Namun, krisis moneter mendera Indonesia pada 1997, sehingga Chandra Asri malah gagal bayar utang 1,3 miliar dolar AS di mana salah satunya utang ke Marubeni Jepang. Setelah diakuisisi oleh Prajogo pada 1998, Chandra Asri juga diambil alih oleh BPPN, meski sebelumnya sempat ada kesepakatan pengambilalihan saham perusahaan petrokimia itu kepada Prajogo.

Marubeni sebagai salah satu kreditur Chandra Asri malah diminta BPPN (Pemerintah) untuk mengonversi utangnya senilai 100 juta dolar AS menjadi kepemilikan saham sebesar 20 persen pada 2000. Jadi, komposisi pemegang saham Chandra Asri pada 2000 menjadi 20 persen Marubeni, 31 persen BPPN (Pemerintah), dan 49% milik Prajogo.

Struktur kepemilikan saham Chandra Asri itu berubah lagi setahun kemudian menjadi 24 persen dan pemerintah melalui BPPN sebesar 75,73 persen. Dengan kenaikan konversi utang itu, nantinya sisa kewajiban ke Marubeni akan dicicil selama 15 tahun.

Lalu, komposisi kepemilikan saham Chandra Asri pada 2002 juga berubah lagi dengan 24 persen untuk Marubeni, 47 persen untuk Prajogo, dan 29 persen milik BPPN (Pemerintah).  

Komposisi kepemilikan Chandra Asri terus berubah-ubah hampir setiap tahunnya. Lanjut ke 2003, BPPN melepas seluruh saham Chandra Asri yang dimilikinya kepada investor asing. Lalu, Marubeni juga melepas saham Chandra Asri ke Commerzbank pada 2005. Sampai akhirnya, Commerzbank juga melego saham Chandra Asri ke Temasek Holdings pada Januari 2006.

Jika dicatat, komposisi pemegang saham Chandra Asri pada 2007 antara lain, Temasek sebesar 30 persen, Strategic Investment Holding (Malaysia) sebesar 48,16 persen, Marigold Resources sebesar 7,24 persen, dan PT Inter Petrindo Citra, perusahaan milik Prajogo, pegang 14,6 persen.

Memasuki 2007, tren kinerja Chandra Asri juga mulai membaik setelah perseroan mampu memproduksi 520.000 ton etilena, 280.000 ton propilena, dan 210.000 ton pyrolysis gasoline.

Setelah membaik, Prajogo pun mengambil alih kembali seluruh saham Chandra Asri kecuali milik Temasek melalui PT Barito Pacific Tbk. (BRPT) senilai 1 miliar dolar AS.

BACA JUGA Deretan Seri Notasi Lainnya:

  1. Kisah Saham FREN yang Rugi Terus Tapi Masih Bisa Bertahan Hidup
  2. Mimpi Besar MNC di BABP dan Nasib Merger dengan NOBU
  3. Saham AISA yang Menjadi Pesakitan di ICBP
  4. KIJA yang Tiba-tiba Terancam Bangkrut Pada 2019

Perseteruan dengan Henry Pribadi

Delapan tahun setelah transaksi pembelian seluruh saham Chandra Asri senilai Rp1.000 oleh Prajogo Pangestu. Salah satu penjualnya,yakni Henry Pribadi, menuntut saham Chandra Asrinya dikembalikan.

Henry mengaku meminta kembali hak saham Chandra ASri yang telah dijualnya, tapi Prajogo menolak. Sampai akhirnya, Henry melaporkan Prajogo kepada pihak kepolisian pada 23 Maret 2006 dengan tuduhan penipuan.

Alasan Henry menagih haknya kembali karena merujuk kepada pasal 8 surat pernyataan jual-beli tersebut, yakni jika seluruh kewajiban Henry telah diselesaikan Prajogo dan ternyata ada kelebihan baik dalam bentuk uang dan barang, maka Prajogo akan menyerahkan semua kelebihan itu. Intinya, Henry merasa dia hanya menitipkan saham ke Prajogo bukan menjualnya.

Namun kasus perseteruan antara Henry dan Prajogo itu dihentikan oleh pihak kepolisian pada September 2006. Alasannya, pihak kepolisian tidak menemukan cukup bukti atas tuduhan Henry terhadap Prajogo. Hal itu didapatkan setelah melakukan pemeriksaan terhada 18 saksi, termasuk saksi ahli, hasilnya tidak ada unsur pidana dalam proses jual-beli saham Chandra Asri dari Henry kepada Prajogo tersebut.

Henry Pribadi sendiri adalah salah satu pengusaha yang cukup dikenal pada era Soeharto. Sebelum krisis 1997-1998 menerpa, Henry diketahui adalah pemmilik PT PP London Sumatra Tbk. (LSIP) dan Bank Andromeda. Lalu, Henry juga sempat menjadi pemilik saham PT Surya Citra Media Tbk. (SCMA), perusahaan televisi SCTV yang kini berada di bawah naungan PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK).

Langkah Prajogo Akuisisi Tri Polyta

PT Tri Polyta Indonesia Tbk. alias TPIA sejatinya adalah proyek satu paket dengan Chandra Asri. Jadi, Chandra Asri pembuat bahan baku petrokimianya di hulu, sedangkan Tri Polyta produsen produk hilirnya terkait produk plastik.

Adapun, Tri Polyta Indonesia menjadi perusahaan Indonesia pertama yang listing di New York Stock Exchange pada 1994. Lalu, dua tahun kemudian baru listing di Bursa Efek Jakarta dengan kode TPIA. Namun, kondisi keuangan TPIA sangat buruk pasca krisis dan sempat hampir dipailitkan. Sampai akhirnya, TPIA delisting dari New York dan BEJ pada 2000 dan 2003.

Awalnya, kepemilikan saham TPIA bisa dibilang beririsan dengan Chandra Asri. Beberapa pemegang saham awal TPIA antara lain PT Bima Kimia Citra milik Bimantara Citra sebesar 31,22 persen, Prajogo 8,51 persen, Henry Pribadi 6,73 persen, Sudwikatmono 5,31 persen, Ibrahim Risjad 5,31 persen, dan 29 persen sisanya dipegang oleh publik.

Lalu, dalam kesepakatan Prajogo mengakuisisi Chandra Asri pada 1998 sebelumnya, ternyata ada satu klausul lainnya, yakni jika Prajogo ingin mengakuisisi Bima Kimia Citra milik Bimantara Citra, maka dia harus mampu melunasi utang Chandra Asri tersebut. Artinya, di sini Prajogo juga mendapatkan kendali Tri Polyta lewat akuisisi Bima Kimia Citra.

Sebagai informasi, Bima Kimia Citra adalah anak usaha Bimantara Citra yang merupakan perusahaan milik anaknya Soeharto, yakni Bambang Trihatmodjo. Kini, Bimantara Citra berada di bawah naungan Hary Tanoesoedibjo dan berganti nama menjadi PT Global Mediacom Tbk. (BMTR).

Adapun, kondisi keuangan TPIA saat 2000 sangat buruk. Banyak masalah sengketa lahan perusahaan hingga ada yang ditutup, disita, dan dilelang asetnya. Lalu, TPIA juga menghadapi gugatan 97 krediturnya pada 2003-2004, meski akhirnya gugatan tersebut dicabut.

Untuk menyelesaikan permasalahan utang-utang tersebut, TPIA melakukan restrukturisasi besar-besaran yang hasilnya terjadi dilusi kepemilikan pemegang saham lama. Newport Global Investment Ltd. menjadi pemilik mayoritas TPIA pada medio 2004, sedangkan Prajogo pegang 16,42 persen, serta sisanya masih dipegang publik.

Setelah melewati periode restrukturisasi, TPIA pun kembali listing di BEI pada 22 Mei 2008 dengan penawaran harga saham Rp2.200 per saham. Di sini, Prajogo pun mengambil alih 76 persen saham TPIA melalui BRPT pada 23 Juni 2008. Sejak saat itu, TPIA juga sepenuhnya di bawah kendali Prajogo.

Untuk mendapatkan modal akuisisi TPIA itu, BRPT menerbitkan surat utang tanpa jaminan dalam dolar AS. Di sini, Magna Resources Corporation Pte. Ltd. menyatakan menjadi salah satu pembeli surat utang tersebut.

Di sisi lain, Magna Resources adalah salah satu pemegang saham BRPT. Di mana, Magna juga dimiliki oleh Prajogo melalui Thevelton Global Asset Ltd.

Merger TPIA dengan Chandra Asri

Dua tahun setelah menguasai Tripolyta, Prajogo pun melakukan merger perusahaan produsen plastik itu dengan Chandra Asri dengan skema pertukaran saham. Adapun, aksi merger itu diperkirakan senilai Rp8,36 triliun.

Tripolyta akan menjadi entitas akhir merger, tetapi nama perseroan diubah menjadi Chandra Asri sehingga kini namanya menjadi PT Chandra Asri Petrochemical Tbk. dengan kode saham TPIA.

Salah satu alasan peleburan usaha itu adalah agar operasional TPIA menjadi efisien. Lalu, perseroan bisa menjadi perusahaan petrokimia yang terintegrasi.

Setelah merger pada 2010, komposisi pemegang saham TPIA menjadi 71,8 persen dimiliki BRPT, 22,87 persen dimiliki Glazers dan Putnam, 1,04 persen dimiliki Prajogo Pangestu, dan sisanya dimiliki publik.

Merger TPIA dengan Chandra  Asri ini pun memicu komentar dari pihak BEI waktu itu. Direktur Penilaian BEI saat itu Eddy Sugito mengatakan salah satu perhatian dari aksi merger itu adalah kontribusi pendapatan TPIA untuk BRPT sebesar 90 persen. Artinya, jika sewaktu-waktu BRPT dan TPIA berpisah, BRPT kemungkinan kehilangan 90 persen pendapatannya.

Untuk itu, sempat ada usulan chain listing, di mana salah satu induk atau anak usaha delisting dari BEI. Harapannya, dengan begitu tidak merugikan investor publik. Soalnya, dalam aturan BEI, induk usaha dan anak usaha yang listing tidak boleh punya kontribusi pendapatan lebih dari 50 persen satu sama lain.

Namun, tampaknya wacana itu hanya jadi obrolan lalu. Soalnya, kini BRPT dan TPIA tetap listing.

Adapun, jika melihat perkembangannya kini, kontribusi pendapatan TPIA dari BRPT pun perlahan menurun. Total, kontribusi pendapatan dari Petrokimia per semester I/2023 hanya sebesar 70 persen dari total pendapatan BRPT. Adapun, sumber pendapatan BRPT lainnya berasal dari penjualan listrik panas bumi.

Begitulah kisah TPIA, saham petrokimia milik lingkaran Soeharto hingga bisa jatuh ke tangan Prajogo Pangestu.

Mau dapat guideline saham dividen 2024?

Pas banget, Mikirduit baru saja meluncurkan Zinebook #Mikirdividen yang berisi review 20 saham dividen yang cocok untuk investasi jangka panjang lama banget.

Kalau kamu beli #Mikirdividen edisi pertama ini, kamu bisa mendapatkan:

  • Update review laporan keuangan hingga full year 2023 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan
  • Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
  • Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
  • Siap mendapatkan dividen sebelum diumumkan (kami sudah buatkan estimasinya)

Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen dengan klik di sini

Referensi