Nasib Saham Bank Setelah OJK Mau Atur Pembagian Dividen

Saham bank siap-siap terkena sentimen yang tidak enak, yakni adanya kebijakan pembatasan dividen bank agar tidak terlalu royal. Kira-kira, gimana ya efeknya ke saham bank?

Nasib Saham Bank Setelah OJK Mau Atur Pembagian Dividen

Mikirduit – Otoritas Jasa Keuangan menindaklanjuti kekhawatiran pembagian dividen jumbo oleh emiten bank. Regulator disebut akan membuat rancangan aturan untuk pembatasan rasio dividen bank tersebut. Kira-kira gimana ya efeknya ke saham bank?

Sebenarnya, kami pernah membahas soal keluhan OJK terhadap dividen payout ratio perbankan yang terlalu besar. [Baca Juga: Peringatan OJK dan Risiko untuk Saham bank Serta Multifinance]

Namun, waktu itu belum keluar wacana kalau ada kebijakan yang mengatur dividen payout ratio perbankan. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae seperti dikutip dari Kontan.co.id mengatakan pengaturan dividen perbankan di sebut juga terjadi di negara lain.

"Jadi, investor asing bisa memaklumi jika otoritas ikut campur," ujarnya.

Regulator pun berharap hasil laba bisa dialokasikan untuk investasi di bidang lainnya, seperti infrastruktur maupun SDM. Jadi, laba yang diperoleh bisa untuk menjaga pertumbuhan bisnis bank yang lebih berkelanjutan.

Awal Mula OJK Mulai Semprot Bank yang Kasih Dividen Jumbo

Salah satu penyebab OJK mulai menyemprot bank-bank yang kasih dividen jumbo antara lain setelah beberapa bank besar memberikan dividen lebih dari 50 persen laba bersihnya. Seperti:

  • BBRI membagikan dividen hingga 85 persen dan berencana terus membagikan dividen jumbo dalam beberapa tahun ke depan
  • MEGA miliki Chairul Tanjung juga bagikan dividen 70 persen dari laba bersih
  • BBCA membagikan dividen 62 persen dari laba bersih
  • BMRI bagikan dividen 60 persen dari laba bersih
  • BJTM bagikan dividen 51 persen dari laba bersih
  • BJBR bagikan dividen 49 persen dari laba bersih

Namun, apakah cuma perkara itu? kayaknya nggak juga sih, banyak kejadian terkait sektor perbankan global sepanjang 2023.

Seperti, bank-bank skala kecil dan menengah di AS yang sempat kolaps di awal 2023 karena masalah rush dan kekeringan likuiditas. [Baca Juga: Sillicon Valley Bank Bangkrut, Begini Efeknya ke Indonesia]. Lalu, masalah di Credit Suisse yang akhirnya diakuisisi UBS, salah satu bank global besar, yang juga bikin geger pasar keuangan di dunia. [Baca Juga: Credit Suisse Bikin Panik Satu Bumi, Baca Kronologinya di Sini ]

Setelah itu, relaksasi restrukturisasi kredit Covid-19 yang selesai pada Maret 2023, kecuali segmen UMKM yang masih lanjut sampai awal 2024. Artinya, kredit-kredit yang masuk kolektabilitas sedikit bermasalah akan terhitung sebagai kredit bermasalah. Artinya, bank harus menganggarkan pencadangan lebih besar lagi. Kenaikan pencadangan, artinya bakal menggerus laba bersih bank juga.

Di sini, posisi BBRI yang masih menikmati relaksasi sampai 2024 justru menjadi cukup berisiko. Soalnya, meski tinggal 7 persen lagi, tapi nominal kredit UMKM yang direstrukturisasi BBRI sekitar Rp85 triliun. Bisa jadi, di awal 2024, BBRI terpaksa menaikkan pencadangan cukup besar hingga menggerus laba bersihnya.

Ditambah, kejadian luar biasa yang dialami PT Bank Syariah Indonesia Tbk. (BRIS), ketika sistemnya terkena seranga siber yang membuat operasional bermasalah. Di sini, ada ekspektasi dana pihak ketiga BRIS berpotensi turun.

Lalu, bank-bank pelat merah juga dihadapkan risiko kredit bermasalah dari BUMN karya seperti WSKT, WIKA, dan kawan-kawan. Hal itu berpotensi meningkatkan kredit bermasalah bank BUMN, meski skalanya tidak besar karena kredit ke sana dianggap ke pihak terafiliasi. Namun, jelas berpotensi memukul kinerja di kemudian hari. [Baca juga: Jika WSKT dkk Gagal Bayar, Begini Nasib Bank BUMN]

Semua itu bisa jadi awal kekhawatiran OJK agar bank mencadangkan modalnya untuk aktivitas operasional agar lebih berkelanjutan. Meski, dari sisi investor, dividen adalah nilai jual lebih alasan kenapa investasi di saham tersebut.

Jika Dividen Emiten Bank Dibatasi, Menjadi Tidak Menarik?

Sebenarnya, kinerja keuangan emiten bank tidak ada masalah yang signifikan. Semuanya masih terkendali. Bahkan, rasio kecukupan modal perbankan di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Dari batas minimal CAR sekitar 8 persen dari ketentnuan Basel III, sedangkan dari zaman sebelum ada OJK, Bank Indonesia sempat mewajibkan minimal CAR bank di Indonesia 15 persen. Kini, rata-rata CAR Bank besar di Indonesia sudah di atas 20 persen.

Di sini, yang masih menjadi pertanyaan, apa yang jadi indikator OJK untuk membatasi pembagian dividen bank? rasio CAR atau ada metriks lain.

Di sini, kami berasumsi, jika OJK mensyaratkan bank yang punya CAR di atas 20 persen, berarti bank itu bebas membagikan dividen berapa pun. Namun, jika bank dengan CAR di bawah 20 persen, berarti harus bagikan dividen maksimal 40 persen dari laba bersih.

Jika ketentuannya seperti itu, BMRI akan menjadi bank yang terdampak. Pasalnya, CAR BMRI ada di 19 persen.

Namun, jika OJK menyamaratakan maksimal bank bisa bagi dividen adalah 40 persen dari laba bersih. Itu lumayan mengurangi daya tarik.

Misalnya, Kami membuat ekspektasi kinerja laba bersih BBCA tumbuh moderat [dalam artian persentase kenaikan tidak lebih tinggi dari tahun 2022], berarti potensi pertumbuhan laba bersihnya sepanjang 2023 diekspektasikan sekitar 26 persen menjadi Rp51 triliun.

Sepanjang 2022, BBCA mencatatkan dividen yield akumulasi interim dan final sebesar 2,22 persen [menggunakan harga 8 Agustus 2023]. Jika, dengan ekspektasi laba yang kami perkirakan, BBCA tetap bagikan 60 persen laba bersihnya pada 2023 sebagai dividen, tingkat dividen yield naik menjadi 2,71 persen. Namun, jika BBCA bagikan cuma 40 persen dari laba bersihnya, dividen yield terjun bebas menjadi 1,8 persen.

Artinya, secara jangka pendek pembatasan dividen ini jelas membuat saham-saham bank kurang menarik. Namun, dengan catatan, di 2024 nanti tidak akan ada pesta dividen batu bara. Dengan begitu, penurunan tingkat yield dividen bank ini bisa jadi tidak terlalu berefek signifikan terhadap kinerja sahamnya.

Kesimpulan

Sebenarnya, kebijakan OJK ini melindungi perbankan juga. Terutama bank BUMN dan Bank daerah yang sering dapat permintaan dividen tinggi dari pemegang saham utamanya a.k.a pemerintah daerah maupun pusat.

Dengan begitu, bank-bank BUMN dan daerah bisa ekspansi bisnis lebih berkualitas lagi. Terutama meningkatkan keamanan siber agar tidak ada kejadian seperti BRIS lagi.

Di luar pembatasan pembagian dividen itu, menurut kami saham bank, terutama bank besar, tetap punya prospek bagus di masa depan. Meski, saat ini, posisi harga saham bank besar sudah terlalu tinggi.

Kalau kamu, dengan adanya wacana pembatasan dividen saham bank ini membuat saham bank menjadi tidak menarik atau masih menarik?

Referensi