Sillicon Valley Bank Bangkrut, Begini Efeknya ke Indonesia

Sillicon valley bank bersama 2 bank AS lainnya bangkrut, gimana efeknya ke ekonomi Indonesia? baca selengkapnya di sini ya

Sillicon Valley Bank Bangkrut, Begini Efeknya ke Indonesia

Mikir Duit – Bangkrutnya tiga bank asal Amerika Serikat (AS), yakni Sillicon Valley Bank, Silvergate, dan Signature Bank membuat banyak yang was-was, bagaimana nasib pasar saham Indonesia? apa dampaknya ke Indonesia? kita akan jelaskan semuanya di sini.

Seperti yang sudah diceritakan dalam artikel: 3 Bank AS Bangkrut, Bagaimana Nasib Nasabahnya? penyebab kebangkrutan ketiga bank itu adalah aksi rush money. Adanya kekhawatiran risiko di cryptocurrency dan perusahaan teknologi sehingga ketiga bank yang sangat fokus di sektor tersebut langsung kolaps.

Pertanyaannya, apa dampak bangkrutnya ketiga bank itu ke Indonesia?

Mendalami Efek Krisis 2008

Dalam dunia ekonomi, kita hampir tidak mungkin menyamakan kejadian di masa lalu dengan saat ini. Pasalnya, semua kondisi sudah berbeda, dari regulasi manajemen risiko dan persepsi pengalaman dalam mengatur kebijakan.

Namun, bisa ada yang kita pelajari dari masa lalu, efek yang dihasilkan dari sebuah kejadian. Seperti pada 2008, sering disebut The Great Recession, ya karena itu adalah resesi terbesar di AS setelah beberapa dekade terakhir.

The Great Recession disebabkan oleh gagal bayar kredit Subprime mortgage, yakni kredit perumahan kepada debitur yang berkualitas rendah alias tingkat gagal bayar sangat tinggi. Di luar itu, ada juga beberapa bank yang membeli produk derivatif untuk subprime mortgage dengan asumsi itu kredit rendah risiko karena ada aset properti yang menjadi jaminan.

Namun, ternyata aset properti yang jadi jaminan sangat tidak likuid. Pasalnya, harga properti melambung karena banyak orang beli rumah. Di sisi lain, ketika bubble properti pecah, tidak ada yang mampu membeli properti tersebut. Akhirnya, ketika terjadi gagal bayar kredit properti, bank juga kesulitan menjual aset-aset rumah tersebut.

Sebenarnya, kejadian di 2008 itu hanya dialami oleh Amerika Serikat, sedangkan hubungan ke Indonesia sangat rendah. Bahkan, bank di Indonesia tidak ada yang membeli produk derivatif subprime mortgage tersebut. Namun, kenapa waktu itu pasar saham Indonesia turun hampir 59 persen?

Kita bisa mendalami penyebab bubble property di AS pecah pada 2008. Jawabannya adalah kenaikan suku bunga The Fed yang cukup agresif saat itu. Dari periode 2004-2006, The Fed menaikkan suku bunga hingga 4,25 persen. Hasilnya, para debitur dari KPR subprime mortgage itu pun megap-megap bayar kreditnya.

Dari situ, ekonomi AS sekejap langsung runtuh setelah sebelumnya terlalu bereuforia dengan boom properti. Apa efeknya? melihat prospek ekonomi AS yang memburuk, banyak investor besar, termasuk asing, memindahkan asetnya ke instrumen lebih aman seperti emas dan obligasi negara. Soalnya, mereka berasumsi jika ekonomi AS, salah satu negara dengan konsumsi terbesar di dunia, memburuk, berarti ekonomi dunia memburuk.

Artinya, ada net sell asing yang tinggi, hal itu tercermin dari depresiasi rupiah yang cukup tinggi pada 2008, yakni sekitar 34 persen. Angka itu menunjukkan adanya arus modal asing keluar yang cukup besar pada saat itu. Hal itulah yang membuat pasar saham Indonesia runtuh pada 2008, meski keterkaitannya dengan sistem keuangan AS sangat jauh dan hampir tidak ada.

Bagaimana dengan Kasus Bangkrutnya 3 Bank di Amerika Serikat?

Jika sistem keuangan AS terdampak signifikan dari kebutuhan likuiditas dan risiko kredit bermasalah di portofolio bank startup dan cryptocurrency tersebut, berarti efeknya bakal ke perekonomian AS. Ya, sesuai harapa The Fed yang menginginkan ekonomi AS resesi agar inflasi turun.

Hal itu jelas ada efeknya kepada pasar saham Indonesia, yakni risiko net sell asing yang cukup besar. Sampai penutupan perdagangan 13 Maret 2023, IHSG mencatatkan net sell asing yang sedikit sekitar Rp1 miliar, sedangkan sepanjang 2023 net sell asingnya senilai Rp1,14 triliun.

Jika dibandingkan dengan November-Desember 2022, nilainya akan melambung tinggi lagi, karena periode itu puncaknya aksi net sell asing dari pasar saham Indonesia.

Adapun, efek penurunan pasar saham Indonesia akibat bangkrutnya 3 bank di Amerika Serikat itu berpotensi terbatas. Ada dua alasannya, pertama, investor asing di pasar saham Indonesia sudah lebih rendah dibandingkan 2008. kedua, begitu juga dengan investor asing di pasar surat berharga negara (SBN) yang lebih rendah dari 2008.

Berarti, arus modal asing yang keluar tidak akan terlalu besar lagi juga. Malah, ada potensi asing mulai masuk di harga bawah nantinya.

Kenapa begitu? soalnya keterkaitan Indonesia dengan bank yang berbasis teknologi dan cryptocurrency itu sangat rendah. Dengan begitu, sistem keuangan Indonesia tidak akan terlalu berdampak.

Malah dampaknya lebih kepada jika ekonomi AS mengalami resesi. Hal itu bisa menekan laju ekspor barang dan jasa non-komoditas.

Kelebihannya, kejadian 3 bank bangkrut itu akan jadi titik awal The Fed mulai menahan suku bunga. Bahkan, cenderung menurunkannya.

Jika dilihat pada periode 2004-2006, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 4,25 persen, tapi setelah terjadi krisis 2007-2008, The Fed langsung menurunkan sekitar 2,25 persen.

Penurunan suku bunga The Fed akan direspons dengan aksi beli obligasi, bukan hanya AS, tapi juga negara-negara prospek seperti Indonesia. Dari situ, investor asing akan masuk lebih banyak ke SBN terlebih dulu hingga kembali ke saham.

Kesimpulan

Sebenarnya, efek bangkrutnya ketiga bank di AS terhadap Indonesia sangat jauh, bahkan hampir tidak ada. Namun, hal yang menjadi masalah adalah ketika ekonomi AS memburuk, seberapa besar efeknya terhadap ekonomi Indonesia, seperti ekspor barang dan jasa hingga ke nasib pekerja di pabrik ekspor barang tersebut.

Hal itu yang berpotensi memicu penurunan harga di pasar saham yang cukup signifikan untuk sementara. Jadi, siapa yang berharap pasar crash terjadi di tahun ini gara-gara kejadian 3 bank bangkrut tersebut?