Dividen Yield Jumbo 2023, Pelipur Lara Market Sepi

Kenapa 2023 menjadi era yang lebih suka membicarakan dividen yield jumbo ketimbang capital gain? ada apa di 2023? gimana nasib pasar saham nantinya?

Dividen Yield Jumbo 2023, Pelipur Lara Market Sepi

Mikir Duit – Tema dividend yield memang tidak terdengar dalam dua sampai tiga tahun terakhir. Mencari saham dengan kenaikan paling tinggi menjadi misi utama. Namun, di 2023 berbeda, tema saham dengan dividen yield besar lebih menarik daripada mencari saham potensial bagger. Kenapa ini semua terjadi?

Ini adalah pertanyaan salah satu pengguna Stockbit yang melihat fenomena pembahasan dividen yield selama 2-3 tahun terakhir itu sunyi senyap. Semuanya seperti memburu saham dengan capital gain besar. Namun, di tahun ini, topik saham dividen yield terbesar menjadi lebih hangat.

Saya menilai ada beberapa alasan yang membuat tema dividen yield jumbo lebih menarik pada tahun ini.

2023 Tahun Spesial untuk Era Dividen Jumbo

Kalau diperhatikan dalam sekitar 5 tahun terakhir saja, rata-rata dividen yield 7-10 persen itu sudah termasuk besar. Saya memasukkan beberapa list saham dengan dividen jumbo yang pergerakan sahamnya masih cukup likuid, yakni ada PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG) dan PT Adira Multifinance Tbk. (ADMF). Kedua saham itu yang paling cukup konsisten bagi dividen jumbo. Namun, memasuki 2023, tiba-tiba banyak emiten bagi dividen jumbo di atas 10 persen.

Hal ini terjadi karena pemulihan ekonomi pasca Covid-19 mulai terasa di 2022, meski itu menjadi titik puncak terakhir karena tingkat suku bunga naik terlalu agresif. Namun, setidaknya beberapa bisnis mencatatkan lonjakan kinerja keuangan yang luar biasa sepanjang 2022.

Ditambah, saham batu bara mendapatkan momentum spesial ketika harga batu bara naik ke 400 dolar AS per ton. Bayangkan, siapa yang pernah memprediksi harga batu bara bisa meroket hingga hampir tembus 500 dolar AS per ton? dulu ketika masa kelam harga batu bara, rata-rata doa prediksi analis, harga batu bara hanya bisa naik hingga kisaran 100 dolar AS per ton saja lho.

Yaps, perang Rusia-Ukraina menjadi salah satu katalis besar untuk pergerakan harga batu bara. Kekacauan yang menganggu pasokan gas di Eropa membuat minat negara benua biru itu akan batu bara kembali tinggi. Ditambah, di akhir 2021, China sangat membutuhkan batu bara setelah ekonomi mulai pulih. Dari situ, harga batu bara yang sudah melejit sejak akhir 2021 makin meroket di 2022.

Hasilnya, kinerja keuangan emiten batu bara juga terbang tinggi. Rata-rata laba bersih meroket sangat tinggi. Dengan kinerja keuangan yang luar biasa itu, para pemegang saham mayoritas pasti akan menuntut pembagian dividen besar. Pasalnya, mungkin ini menjadi momen terakhir saham batu bara bisa merayakan pesta dividen jumbo.

Memang saham batu bara bakal sunset? sebenarnya tidak kok, cuma untuk mencapai kinerja keuangan yang luar biasa seperti 2022 itu akan sulit. Apalagi, saham-saham batu bara bakal mendiversifikasi bisnis maupun melakukan hilirisasi untuk bertahan hidup di era energi baru terbarukan.

Jadi, saya tetap yakin, pesta dividen super jumbo batu bara pada 2023 ini adalah yang terakhir. Kita tidak akan menemukan momen besar ini lagi setidaknya 10 sampai 20 tahun ke depan.

BACA JUGA: Pesta Dividen Jumbo Terakhir Saham Batu bara

Pasar Saham Tak Kunjung Ramai

Salah satu yang menjadi permasalahan lainnya adalah pasar saham cenderung sideways sejak akhir 2022 hingga saat ini. Bahkan, rata-rata transaksi harian saja sulit menembus Rp10 triliun.

Hal ini pula yang sulit mencari harga saham yang bakal terus melompat tinggi. Paling beberapa saham yang melejit tinggi seperti PT Mandala Multifinance Tbk. (MFIN), PT Indomobil Tbk. (IMAS) dan beberapa saham lain yang bangkit dari kubur seperti PT Ace Hardware Tbk. (ACES). Itu pun, untuk bisa naik juga penuh keragu-raguan dengan ekspektasi ekonomi.

Saya sempat menilai ada beberapa hal yang membuat pasar saham tidak kunjung ramai.

Pertama, kebijakan ARA-ARB asimetris membuat transaksi melambat. Pasalnya, setiap harga saham turun 7 persen langsung tidak bisa transaksi. Artinya, ada uang-uang yang tertahan di sana. Memang per Juni 2023 ARB diperdalam menjadi 15 persen, tapi tetap asimetris. Meski begitu, pada awal-awal penerapan pasar saham mulai ramai. Soalnya, trader bisa lebih fleksibel bermain dengan ARA-ARB simetris, meski untuk trader angkatan Covid-19 pasti agak degdegan.

BACA JUGA: Kebijakan ARA-ARB Jadi Normal, Begini Efeknya

Kedua, investor institusi masih terus memantau perkembangan ekonomi makro global. Risiko ekonomi masih cukup tinggi dengan tingkat suku bunga super tinggi saat ini. Untuk itu, beberapa institusi masih berhati-hati untuk agresif di pasar saham. Bahkan, beberapa masih lebih memilih meramaikan pasar surat berharga negara (SBN) alias obligasi negara. Instrumen itu memang cenderung lebih rendah risiko dan saat ini memberikan tingkat kupon yang lebih menarik.

Kesimpulan

Jadi dividen yield jumbo di 2023 ini ibarat pelipur lara dari market yang cenderung sideways panjang sepanjang tahun ini. Wajar, topik dividen yield jadi obrolan, soalnya tingkat dividen yieldnya juga jumbo banget ada yang sampai 25-30 persen.

Di sisi lain, saya perkirakan pasar saham berpotensi kembali bergairah ketika Federal Reserve (The Fed), bank sentral AS, memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga lagi tanpa ada embel-embel masih melihat adanya kenaikan suku bunga.

BACA JUGA: Cara Pilih Aset Investasi yang 99 persen Cuan dari Pergerakan Suku Bunga Bank Sentral

Hal itu kemungkinan akan terjadi di 2024. Jika sudah memasuki fase penahanan suku bunga di pucuk, pasar saham berpotensi siap melaju. Para investor institusi akan memburu saham berfundamental bagus dengan valuasi terdiskon.

Siap memasuki era tersebut?