Dilema Diskon Saham Menara Telekomunikasi, Bisa Bangkit atau Diskon Selamanya?
Saham menara telekomunikasi sudah mengalami diskon dalam lebih dari 1 tahun terakhir. Apakah harga sahamnya saat ini sudah bottom? begini peluangnya

Mikirduit – Saham menara telekomunikasi masih berada di area murah. Dua saham menara telekomunikasi yang masuk list value investing Mikirsaham pun masih berada di area beli. Apa yang terjadi dengan saham menara telekomunikasi? apakah bisnisnya sudah tidak menarik? atau internal perusahaan di sektor tersebut yang kurang bagus?
Jika melihat saham TOWR, sebagai emiten menara telekomunikasi terbesar, tren harga sahamnya terus mengalami penurunan sejak mencatatkan kenaikan di level paling tinggi terakhir di Juli 2021. Harga sahamnya secara keseluruhan turun sekitar 67 persen.
Namun, permasalahan TOWR bukanlah terkait internal perusahaan karena secara pergerakan harga saham sektoralnya juga turun signifikan. Salah satu kompetitor terdekat sebelum MTEL listing di IDX adalah TBIG. Saham TBIG juga mencatatkan tren penurunan sejak kenaikan tertinggi terakhir di area Juli 2021. Meski, tren penurunan TBIG lebih rendah dibandingkan dengan TOWR, dalam periode sekitar 4 tahun terakhir, harga saham TBIG turun sekitar 39 persen, dengan persentase terbesar sekitar 50 persen.
Begitu juga dengan harga saham MTEL yang baru IPO akhir 2021 di harga Rp800 per saham. Hingga 5 Juni 2025, saham MTEL telah turun 25 persen dari harga IPO-nya. Setelah resmi listing di IDX, praktis harga saham MTEL hanya sekali melewati harga IPO, yakni ketika hari pertama melantai di BEI hingga sempat mencapai Rp880 per saham secara intraday, tapi setelah itu langsung mengalami penurunan.
Apa yang salah dengan emiten telekomunikasi, termasuk TOWR yang justru menjadi pemain terbesar dan mengalami penurunan paling dalam?
Faktor Kondisi Sektoral
Saat saham menara telekomunikasi terus mengalami penurunan harga, ada beberapa faktor yang disalahkan dari segi sentimen seperti:
- Aksi akuisisi merger ISAT dan Tri membuat pertumbuhan bisnis menara telekomunikasi melambat karena ISAT dan Tri mengkonsolidasikan penggunaan menara telekomunikasinya sehingga ruang pertumbuhan sewa baru menjadi lebih lambat.
- Tren Starlink yang digadang-gadang bisa membuat dunia tidak membutuhkan menara telekomunikasi.
- Aksi akuisisi EXCL dan FREN dinilai bisa mengulang jejak buruk kinerja bisnis menara telekomunikasi.
- Risiko jaringan 2G dimatikan yang bisa mengurangi pendapatan menara telekomunikasi meski akan digantikan dengan keberadaan jaringan 5G. (Untuk poin ini sifatnya netral karena keberadaan frekuensi 2G akan digantikan juga oleh 5G, hanya saja transisinya bisa butuh waktu bagi pemerintah untuk kembali melelang jaringan ex-2G tersebut)
Namun, apa faktanya? untuk konsolidasi operator seluler memang memperlambat laju pertumbuhan sewa menara. Soalnya, operator yang melakukan merger akan memindahkan jaringan -jaringan yang redudansi dengan partner mergernya dipindahkan ke area lain. Sehingga operator seluler bisa melakukan ekspansi jaringan tanpa perlu menambah sewa menara ke operator telekomunikasi.
Sementara itu, posisi Starlink tidak bisa menggantikan peran menara telekomunikasi sepenuhnya. Pasalnya, market Starlink adalah kebutuhan internet dan jaringan yang mobile dan daerah terpencil. Jika Starlink berada di area perkotaan dan gedung tinggi, jaringannya pun menjadi kurang optimal. Sehingga keberadaan Starlink tidak bisa dijadikan kambing hitam dari prospek menara telekomunikasi.
Di luar itu, ada pola penurunan net profit margin di emiten-emiten menara telekomunikasi secara bersamaan. Misalnya, TOWR mencatatkan net profit margin tertinggi pada 2021 sebesar 39,69 persen, setelahnya tren net profit margin terus mengalami penurunan hingga terakhir di 2024 sekitar 26,19 persen.
Lalu, TBIG juga mencatatkan net profit margin tertinggi pada 2022 sebesar 25,11 persen, setelahnya terus turun hingga terakhir di 2024 sebesar 19,83 persen.
Sementara itu, MTEL masih mencatatkan kenaikan net profit margin hingga 2023 sebesar 23,15 persen, sedangkan terakhir di 2024 mulai turun menjadi 22,65 persen dibandingkan dengan periode 2023.
Lalu, apa yang membuat penurunan net profit margin tersebut?
Penyebab Penurunan Net Profit Margin Emiten Menara Telekomunikasi
Bisnis menara telekomunikasi sering dianggap bisnis defensif. Alasannya, bisnis menara telekomunikasi bersifat kontrak jangka panjang sehingga skema pendapatannya cenderung berulang hingga kontrak selesai dan berpotensi diperpanjang.
Ruang pertumbuhan bisnis menara telekomunikasi ada di kenaikan permintaan sewa baru. Jika dilihat secara historis detail pertumbuhan bisnis TOWR dan TBIG sejak 2020 hingga 2024 (MTEL kami kecualikan karena baru IPO di akhir 2021 serta adanya pengalihan aset menara Telkomsel dalam jumlah besar setelah IPO).
Menariknya, tren sewa menara pada periode 2021 hingga 2022 tumbuh sangat signifikan. Misalnya, TOWR mencatatkan pertumbuhan permintaan menara hingga di atas 10 persen. Seperti, permintaan dari Indosat naik 58 persen pada 2021, sedangkan dari XL naik 12 persen, meski dari Telkomsel naik 8 persen.
Angka pertumbuhan di 2022 naik lebih agresif, ISAT naik 220 persen, meski ada korelasi dengan aksi akuisisi-merger dengan Tri pada periode tersebut (karena pendapatan sewa dari Tri menghilang). Lalu, pendapatan dari XL dan Telkomsel kompak sekitar 31 - 39 persen.
Kondisi serupa juga dialami TBIG, emiten milik SRTG itu mencatatkan kenaikan permintaan pada 2021 cukup agresif. Dari Indosat naik 15 persen, Tri Hutchinson naik 16 persen, Smart Telecom naik 15 persen, XL dan Telkomsel masing-masing 8,57 persen dan 5,72 persen.
Lalu, pada 2022, tren permintaan lanjut naik agresif. Indosat naik 65 persen (karena efek aksi akuisisi merger dengan Tri), Smart Telecom naik 20 persen, FREN naik 41 persen, XL naik 8 persen, dan Telkomsel naik 3 persen.
Sayangnya, tren pertumbuhan pada 2023-2024 mulai melandai. Untuk TOWR, XL masih mencatatkan kenaikan permintaan masing-masing sebesar 11 persen pada 2023 dan 2024. Namun, Indosat mengalami penurunan bertahap dari hanya naik 8,5 persen pada 2023 hingga turun 1,7 persen pada 2024. Begitu juga Telkomsel yang sempat mencatatkan penurunan 13 persen pada 2023 dan kembali naik tipis 3 persen pada 2024.
Begitu juga dengan TBIG, pada 2023 perseroan mencatatkan penurunan permintaan 1,93 persen dari Telkomsel, 14 persen dari Indosat, serta 37 persen dari FREN.Meski, masih mencatatkan kenaikan 11 persen dari XL dan 36 persen dari Smart Telecom.
Lalu, pendapatan TBIG dari Indosat masih lanjut turun 6,67 persen pada 2024. Sementara itu, dari Telkomsel naik 308 persen, serta dari XL naik 7,12 persen. Pendapatan dari Smart Telekom masih mencatatkan pertumbuhan tertinggi sebesar 32 persen pada 2024. Namun, pendapatan dari FREN dan Hutchinson sudah menghilang.
Artinya, tren tingkat penurunan net profit margin berhubungan erat dengan tren pertumbuhan pendapatan sewa menara baru yang lebih lambat, sedangkan biaya operasional mengalami kenaikan sesuai kondisi ekonomi.
Selain itu, ada satu faktor besar yang mempengaruhi permintaan menara, yakni lelang jaringan baru yang sama sekali tidak ada dalam hampir tiga tahun terakhir (2023 hingga 2025 tahun berjalan).
Salah satu yang bisa men-driver permintaan sewa baru menara telekomunikasi adalah adanya lelang spektrum frekuensi baru sehingga operator seluler akan membutuhkan menara untuk optimalisasi spektrum frekuens barunya tersebut
Terakhir, lelang spektrum frekuensi dilakukan pada 2022. Kala itu, Kominfo melelang frekuensi radio 2,1 GHz. Hasilnya, kala itu pemenangnya adalah Telkomel yang diumumkan di awal November 2022. Dari kemenangan itu, Telkomsel memang meningkatkan sewa menaranya sepanjang 2022, terutama terjadi di TOWR hingga naik 39 persen.
Setelah itu, tidak ada lelang jaringan spektrum frekuensi baru sehingga otomatis ruang pertumbuhan pendapatan sewa baru menara telekomunikasi juga melandai. Ditambah, ada aksi akuisisi merger yang membuat operasional operator seluler mengalami konsolidasi.
Di sisi lain, ada potensi lelang frekuensi akan dilakukan pada semester II/2025. Spektrum frekuensi yang dilelang adalah 1,4 GHz yang digadang-gadang bisa membuat layanan internet kecepatan tinggi lebih murah.
Sebenarnya ada beberapa jaringan yang bakal dilelang selain 1,4 GHz seperti 700 Mhz dan 26 GHz. Namun, Komdigi menekankan akan melakukan lelang spektrum 1,4 GHz terlebih dulu.
Sayangnya, kabar lelang spektrum frekuensi ini masih tidak jelas, awalnya dikabarkan kuartal I/2025, tapi diundur Juni 2025, hingga nadanya menjadi semester II/2025.
Bahkan, rencana lelang spektrum ini juga diwacanakan pada 2024, tapi terpaksa diundur. Jika lelang dilakukan, siapapun pemenangnya, kondisi itu bisa menjadi angin segar untuk saham menara telekomunikasi.

Menara Telko Berlomba Ekspansi
Dalam kondisi industri yang cukup menantang dan menanti lelang frekuensi baru, saham menara telekomunikasi terus melakukan ekspansi, terutama ke sektor fiber optik. TOWR, MTEL, dan TBIG secara bertahap melakukan ekspansi.
Aksi ekspansi yang dilakukan melingkupi penambahan menara telekomunikasi, menambah jaringan fiber optik, hingga mengakuisisi perusahaan menara existing. Salah satu yang cukup agresif melakukan ekspansi adalah TOWR.
TOWR melakukan banyak ekspansi mulai dari akuisisi SUPR, IBST, DATA, hingga jaringan fiber optik. Sehingga secara keseluruhan, TOWR menjadi emiten dengan aset fiber optik dan menara telekomunikasi terbesar di Indonesia.
Dari data public expose pada 2024, TOWR mencatatkan kepemilikan 31.049 menara serta 220.975 km fiber optik. Angka ini menjadi yang terbesar jika dibandingkan dengan TBIG yang memiliki 23.956 menara dan estimasi sekitar 80.000 km fiber optik, serta MTEL dengan 39.593 menara serta 63.631 km fiber optik.
Namun, aksi ekspansi agresif TOWR membuat kekhawatiran beberapa investor yang menilai tingkat debt to equity ratio (DER) yang cukup tinggi. Tingkat debt to Equity rasio (DER) TOWR tembus 2,64 kali, meski dari segi interest coverage rasio sebesar 2,25 kali yang artinya masih cukup aman. Di sisi lain, angka debt to Equity rasio TOWR masih lebih rendah dibandingkan TBIG yang tembus 2,96 kali, meski seperti TOWR, secara interest coverage rasio masih aman di 2,07 kali. MTEL menjadi emiten menara telekomunikasi dengan tingkat DER terendah hanya 0,33 kali.
Di sisi lain, aksi ekspansi agresif TOWR ini juga memicu penekanan dari sisi net profit margin karena adanya kenaikan beban keuangan yang secara signifikan. Hal itu juga yang dianggap pemicu tekanan harga saham TOWR dalam beberapa tahun terakhir.
Namun, bagi bisnis menara telekomunikasi (seperti TOWR dan TBIG) tingkat DER yang tinggi tidak menjadi masalah selama kondisi operasional masih terpenuhi (alias tidak mengalami rugi). Pasalnya, dengan pendapatan sewa kontrak jangka panjang, utang untuk ekspansi itu bisa diatasi jika nantinya pembangunan atau akuisisi aset akan berdampak positif terhadap kinerja keuangannya.
Kesimpulan
Kami menilai harga saham sektor menara telekomunikasi skala besar seperti, TOWR, MTEL, dan TBIG yang berada di area murah saat ini bisa jadi pilihan value investing. Meski, ruang pertumbuhan masih lama dan tergantung pergerakan pemerintah dalam mengembangkan jaringan 5G, seperti lelang spektrum frekuensi.
Sehingga jika ingin masuk ke saham yang masih murah seperti TOWR, MTEL, dan TBIG bisa mempersiapkan diri dengan periode toleransi hold yang cukup lama seperti ruang 2-3 tahun ke depan.
Lalu, apa saja saham murah lainnya yang masih dibeli dari pilihan Mikirsaham?
Kamu bisa dapatkan saham pilihannya, sekaligus diskusi dan konsultasi di grup dengan Join membership Mikirsaham (dulu bernama Mikirdividen) dan dapatkan benefit:
- Pilihan saham value-growth investing bulanan
- Pilihan saham dividen yang potensial
- Insight saham komprehensif serta actionnya
- IPO digest untuk menentukan action-mu di saham IPO
- Diskusi saham dan rekap diskusinya
- Event online bulanan
- Update porto founder jangka pendek, menengah, dan panjang setiap e bulan
Gabung Mikirsaham sekarang dengan klik di sini
Langganan Sekarang dan dapatkan Fix Rate perpanjangan seperti harga pembelian pertama selama dua tahun ke depan.
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini