Beli Saham yang Kinerjanya Lagi Turun atau yang Mau Bangkit?

Ada saham yang kinerjanya lagi turun dan mau bangkit. Mana yang kamu pilih untuk mulai dibeli? baca strategi ala mikirduit di sini.

Beli Saham yang Kinerjanya Lagi Turun atau yang Mau Bangkit?

Mikirduit – Salah satu strategi investasi saham adalah dengan membeli saat harganya murah atau di bawah. Pertanyaannya, bagaimana cara kita mengetahui harga di bawah jika yang dilihat harga saham yang lagi naik terus? lalu, bukannya kalau beli saham yang lagi turun tandanya lagi ada masalah ya? bagaimana cara tahu saham yang lagi turun itu tidak bermasalah? oke kami akan ulas selengkapnya di sini..

Ada beberapa penyebab harga saham bisa turun:

  • Ada rumor masalah keuangan seperti gagal bayar utang hingga bakal digugat PKPU. Bukan hanya emiten induknya saja, tapi kalau ada masalah di anak usaha juga bisa mempengaruhi harga saham perusahaan induknya
  • Adanya penurunan kinerja keuangan yang signifikan atau mengalami patah tren kinerja keuangan, yang tadinya konsisten naik, tiba-tiba turun signifikan.
  • Adanya sentimen yang berdampak negatif terhadap saham seperti, regulasi pemerintah yang bisa mengurangi potensi omzet yang diraih, atau sentimen sektoral seperti pelemahan kurs rupiah, El nino, masalah distribusi ke luar negeri, dan lainnya yang berhubungan dengan operasional bisnis.
  • Ditinggal bandar, ini berlaku untuk saham-saham third liner dan second liner yang tidak likuid. Jadi, ketika pesta dari bandar selesai, ya harga sahamnya turun.

Kenapa 4 faktor itu bisa bikin harga saham turun? jadi begini, harga saham naik-turun itu disebabkan supply dan demand di pasar. Jika harga saham naik, berarti peminat belinya banyak, sedangkan harga saham turun peminat jualnya yang banyak.

Lalu, kenapa orang pada jual? ada beberapa alasan seperti mengikuti gerak big fund yang dikenal bandarmology, mengikuti tanda-tanda yang terlihat dari analisis teknikal, maupun memantau fundamental. Ketiga metode itu bisa menentukan beli dan jual dari pengaruh 4 faktor yang disebutkan di atas. Kok bisa?

Bandarmology melihat pergerakan bandar dalam artinya pemilik dana besar. Di sini, pemilik dana besar bisa jadi adalah investor institusi. Artinya, para pengguna bandarmology melakukan aksi jual-beli mengikuti keputusan pemilik dana besar tersebut. Lalu, apa yang membuat pemilik dana besar melakukan jual-beli? pastinya bukan karena menggunakan metode bandarmology lagi dong? tapi ada alasan kuatnya, seperti kinerja berpotensi naik berarti beli, kinerja turun jual yang dijelaskan dalam 4 faktor tersebut. Keberadaan bandarmology ini mendorong harga saham bisa naik lebih cepat karena ritel mengikuti para big fund bergerak.

Bagaimana dengan analisis teknikal? ya sama. Analisis teknikal itu sebenarnya adalah kalkulasi psikologis jual-beli di pasar saham secara matematika dengan melihat jejak pergerakan di masa lalu, untuk menentukan keputusan saat ini. Misalnya, ketia buy on weakness, berarti para trader akan mengikuti big fund yang mulai masuk ke saham yang sudah turun cukup dalam secara bertahap. Begitu juga ketika buy on breakout, berarti para trader membeli saham ketika big fund masuk cukup besar.

Di sini, para trader bisa bilang mereka menjual dan beli berdasarkan analisis teknikal. Namun, suka nggak suka, strategi analisis teknikal juga mengikuti alasan jual-beli si pemilik dana besar. Alasan jual-beli para pemilik dana besar adalah 4 faktor tersebut.

Untuk analisis fundamental, investor saham bukan mengikuti arah pergerakan big fund, tetapi melakukan analisis sendiri untuk saham yang punya peluang bagus di masa depan. Namun, hasil analisisnya bisa jadi mengarah kepada saham yang sama, meski tetap ada potensi berbeda.

Biasanya, untuk memilih saham yang bagus untuk investasi saham jangka panjang, para fundamentalist akan memilih saham yang sudah murah, tapi kinerja dan kesehatan keuangannya bagus. Nah, inti tulisan kali ini ada di sini, pertanyaannya lebih baik beli saham yang kinerjanya baru terpuruk atau saham yang siap bangkit?

Keuntungan dan Risiko Beli Saham yang Lagi Terpuruk

Kelebihan beli saham berfundamental bagus yang lagi turun adalah kita bisa membeli di harga bagus, meski bukan yang terbaik. Meski, ada risiko harga saham bisa turun lebih dalam lagi.

Misalnya, saat ini saham sektor batu bara sedang terpuruk. Sepanjang 2023sampai 1 September 2023, rata-rata pergerakan harga sahamnya sudah turun lebih dari 20 persen.

Kenapa begitu? karena harga batu bara dunia yang sempat berada di level tertinggi 400-an dolar AS per ton turun menjadi sekitar 150 dolar AS per ton. Penurunan itu secara signifikan bakal mempengaruhi kinerja keuangan saham batu bara, termasuk di Indonesia. Padahal, dalam bisnis batu bara, saat meningkatkan produksi ketika mencapai harga tinggi, tidak bisa serta merta langsung menurunkan produksi agar operasional lebih efisien.

Hal itu terlihat beban pokok penjualan emiten batu bara kompak naik yang disebabkan biaya jasa kontraktor dan pengangkutan. Belum lagi, pemerintah Indonesia juga baru mengenakan konsep royalti batu bara yang baru sejak akhir 2023 sehingga membuat beban pokok penjualan meningkat, ketika nilai penjualan menurun.

Dari sini, banyak yang mulai take profit saham batu bara, terutama pemain besar. Walaupun, banyak batu bara lovers bilang prospek batu bara masih ada, dan itu tidak salah juga. Namun, tetap saja kinerja keuangan emiten batu bara bakal turun signifikan sehingga posisi harga pada awal 2023 dianggap sudah ketinggian. Hal itu membuat aksi jual saham batu bara cukup tinggi, terutama setelah pembagian dividen jumbo.

Kami menilai prospek batu bara masih oke untuk 3-5 tahun ke depan karena proses transisi ke energi baru terbarukan butuh waktu yang cukup lama, sedangkan konsumen besar batu bara seperti China dan India masih membutuhkan dalam jumlah besar.

Justru di sini mulai menariknya, ketika harga saham batu bara sudah tumbang, mulai banyak yang memperhatikan kapan posisi harga saham batu bara sudah murah?

Jika melihat price to book value maupun price to earning ratio (dua metriks valuasi yang paling mudah didapatkan), valuasi saham batu bara sudah murah. Namun, kita perlu melihat forward looking seperti risiko penurunan laba bersih hingga 40 persen. Artinya, risiko penurunan saham batu bara masih cukup besar hingga kuartal I/2024.

Jadi, apakah kita skip aja saham batu bara?

Menurut kami justru tidak. Kita boleh masuk bertahap dengan modal kecil. Jadi, setidaknya titip sendal. Soalnya, kita tidak pernah bisa prediksi apa yang akan terjadi di masa depan.

Misalnya, ada perang lagi yang bikin permintaan batu bara meningkat hingga pemulihan ekonomi China yang bisa meningkatkan permintaan batu bara.

Dengan cicil beli ala dollar cost averaging terukur, kita bisa pegang saham batu bara di harga bagus, meski bukan terbaik.

💡
Dollar cost averaging terukur, kita cicil beli dengan melihat posisi harga dan mengatur alokasi modal cicil untuk mendapatkan harga yang bagus.

Mekanisme dollar cost averaging terukur ala Mikirduit:

  • Tentukan alokasi modal di satu saham. Modalnya tidak harus sudah ada, tapi berdasarkan perencanaan yang sudah dibuat. Misalnya, modal di saham ITMG Rp100 juta yang bakal dicicil  Rp3 juta per bulan selama 3 tahun.
  • Mulai masuk ke saham dengan alokasi 10 persen dari total modal. Artinya, selama 3 bulan, kita bisa beli saham itu tanpa memikirkan harganya.
  • Setelah melewati periode 3 bulan itu, kita pantau pergerakan harga saham selama 3 bulan ke depan. Nantinya, jika ada penurunan drastis hingga lebih dari 10 persen di aset kita, baru mulai siapkan masuk bertahap hingga 20 persen atau 6 bulan ke depan.
  • Dana cicilan Rp3 juta per bulan akan disimpan di reksa dana pasar  uang hingga nantinya digunakan untuk membeli saham.
  • Strategi ini bisa jadi tidak akan menggunakan 100 persen alokasi modal jika harga saham sudah terlanjur naik tinggi lagi.

Dengan begitu, kamu bisa membeli saham di harga yang murah tanpa ragu apakah sudah murah atau belum, serta meredam risiko jika ada penurunan drastis di masa depan.

Namun, syarat besar dari strategi ini adalah saham yang dibeli punya fundamental dan kesehatan keuangan yang sangat baik. Sehingga risiko nyangkut selamanya tidak terjadi.

Keuntungan dan Risiko Beli Saham yang Kinerja Bangkit

Kelebihan membeli saham yang kinerja menunjukkan tanda-tanda kebangkitan dinilai menjadi cara terbaik agar bisa mendapatkan keuntungan yang lebih cepat dibandingkan membeli saham yang lagi terpuruk.

Namun, ada beberapa risiko dari membeli saham yang kinerja keuangannya baru bangkit, yakni ternyata kebangkitannya semu hingga kebangkitannya tidak terlalu kokoh atau rentan terkena risiko ekonomi lainnya.

Misalnya, kinerja laba bersih emiten PT Cikarang Listrindo Tbk.(POWR) dieksepktasikan bisa tumbuh 49 persen di 2023. Ini bisa menjadi kenaikan terbesar laba bersih POWR dalam 5 tahun terakhir, apalagi setelah terpuruk di pandemi Covid-19 serta era harga komoditas tinggi pada 2022.

Di sini, POWR bisa disebut emiten yang kinerja keuangannya tertekan oleh faktor eksternal yang tidak bisa dikendalikan. Ketika harga komoditas kembali normal, laba bersihnya kembali naik. Apalagi, saat laba bersih turun, pendapatan POWR terus naik sehingga penurunan bottom line-nya tersebut lebih disebabkan beban operasional yang meningkat, salah satunya karena harga komoditas sebagai bahan bakarnya.

Dengan melihat price to book value dan price to earning ratio-nya, saham POWR bisa dibilang masih cukup murah. Artinya, dengan potensi kenaikan laba bersih sepanjang 2023, serta prospek ke depannya, ada potensi harga saham POWR kembali menguat signifikan.

Kalau begitu apakah saatnya all in di POWR?

Tentu saja tidak, dalam hal ini, kita bisa menggunakan metode dollar cost averaging terukur, tapi dengan strategi yang berbeda dari saham batu bara sebelumnya.

Jadi strategi untuk membeli saham yang kinerja keuangannya sudah mau pulih ini menggunakan tahapan ini:

  • Tentukan alokasi modal di satu saham. Modalnya tidak harus sudah ada, tapi berdasarkan perencanaan yang sudah dibuat. Misalnya, modal di saham POWR Rp100 juta yang bakal dicicil  Rp3 juta per bulan selama 3 tahun.
  • Langsung masuk ke saham itu dengan alokasi 50 persen dari total modal yang direncanakan. Berarti bisa masuk tanpa memikirkan harga selama 1,5 tahun  ke depan.
  • Setelah mencapai angka 50 persen modal selama 1,5 tahun ke depan, evaluasi lagi pergerakan harga saham dan harga rata-rata yang dimiliki. Jika posisi harga saham masih sideways atau malah mengalami floating loss di atas 5 persen, serta prospek saham dari segi keuangannya masih oke, bisa masuk lagi langsung 30 persen hingga 50 persen dari modal.

Namun, hati-hati juga dalam menilai pemulihan kinerja keuangannya. Ada beberapa emiten yang mencatatkan kinerja keuangan karena memang ada kasus spesial, seperti memiliki pendapatan besar dari satu hingga tiga pihak saja. Lalu, pendapatan itu mungkin tidak akan terulang di tahun selanjutnya.

Misalnya, itu terjadi di saham PT Pudjiadi Prestige Tbk. (PUDP) pada 2022. Waktu itu, perseroan mencatatkan laba bersih senilai Rp279 miliar dibandingkan dengan rugi Rp15 miliar pada tahun sebelumnya.

BACA JUGA: Jebakan Dividen Saham PUDP

Pendapatannya juga naik tinggi 765 persen menjadi Rp355 miliar. Apakah tanda PUDP menjadi saham yang kinerjanya bangkit?

Ternyata tidak, karena 90 persen pendapatannya berasal dari satu konsumen, yakni PT Jhonlin Marine. Lalu, pendapatan dari konsumen itu pun belum tentu terulang di 2023.

Akhirnya, kinerja PUDP sampai semester I/2023 kembali merugi Rp1,34 miliar, sedangkan pendapatannya turun 41 persen menjadi Rp17 miliar.

Dalam tiga bulan terakhir [setelah membagikan dividen jumbo pada medio April-Mei 2023], harga saham PUDP sudah turun 8,78 persen.

Kesimpulan

Jadi mana yang terbaik, beli saat saham terpuruk atau saham yang mau bangkit? tidak ada yang terbaik. Paling penting adalah kita membeli saham dengan tingkat manajemen risiko yang terukur.

Jika membeli saham yang lagi terpuruk, kita harus mengkalkulasikan potensi risiko terburuknya. Seperti, saham ITMG saat ini sudah di Rp29.000-an per saham. Di sisi lain, saat harga batu bara rendah di 2015-2016, harga ITMG sempat turun ke Rp5.000-an per saham. Artinya, jika ingin beli jangka panjang di harga saham saat ini, kita harus ukur, sesiap apa jika mengalami penurunan hingga ke Rp5.000-an per saham.

Untuk itu, dari pengalaman investasi yang dilakukan, kami menyarankan skema dollar cost averaging terukur. Strategi ini dinilai cocok untuk masuk di saham yang dinilai sudah murah karena lagi kinerja keuangan lagi jeblok atau baru mau bangkit.

Risiko dari strategi ini adalah penyerapan alokasi modal yang diinginkan tidak bisa 100 persen karena bisa jadi harga saham sudah melejit. Namun, sebenarnya ya tidak apa-apa, setidaknya sudah titip sendal kan? kalau strategimu gimana?

Step by step dividen investing ala Mikirduit: