TikTokShop Dilarang, Saham Marketplace Bisa Cuan?

Pemerintah berencana melarang Tiktok beroperasi sebagai media sosial dan e-Commerce. Lalu, jika TikTokShop hilang dari Indonesia, saham marketplace bisa cuan? baca analisisnya di sini

TikTokShop Dilarang, Saham Marketplace Bisa Cuan?

Mikirduit – Saham yang memiliki bisnis marketplace mendapatkan angin segar dari keputusan Kementerian Koperasi dan UKM terkait pelarangan TikTok untuk menjalankan bisnis media sosial dan marketplace dalam satu aplikasi. Banyak yang prediksi saham-saham marketplace akan kembali bergairah. Namun, seberapa besar efeknya? apakah masalah dari kinerja saham marketplace ini cuma TiktokShop?

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki melarang [kata aslinya menolak tapi agak aneh karena apakah Tiktok melakukan pengajuan sehingga ditolak, jadi kami ganti melarang] Tiktok menjalankan bisnis media sosial dan e-Commerce secara bersamaan. Acuan Teten diambil dari India dan Amerika Serikat yang berani menolak dan melarang TikTok menjalankan kedua bisnis itu secara bersamaan.

Teten menegaskan TikTok boleh saja berjualan, tapi tidak bisa disatukan dengan media sosial karena justru menjadi monopoli bisnis.

"Dari riset hingga survei kita tahu orang belanja online itu dinavigasi, dipengaruhi perbincangan di media sosial. Belum lagi sistem pembayaran, logistiknya, itu yang pegang TikTok semua. Ini namanya monopoli," ujarnya dikutip dari Berita Antaranews.com berjudul Menkop UKM Tolak TikTok Berbisnis Medsos dan e-Commerce Secara Bersamaan.

Ucapan dari Teten itu langsung merangsang beberapa emiten yang memiliki bisnis marketplace menguat, seperti PT Bukalapak Tbk. (BUKA) dan PT Goto Gojektokopedia Tbk. (GOTO). Namun, PT Global Digital Niaga Tbk. (BELI) justru tetap koreksi.

Memang, apakah jika TikTokShop dilarang jadi solusi bisnis marketplace menjadi lebih menguntungkan? atau ada masalah yang lebih parah dari hal tersebut?

BACA JUGA: Begini Hubungan Laba per Saham Terhadap Harga Saham

Melihat Kinerja Bisnis Marketplace

Jika melihat kinerja bisnis marketplace dari GOTO, BUKA, dan BELI ada beberapa data menarik yang cukup beragam.

Kinerja Tokopedia (GOTO)

GOTO mencatatkan pertumbuhan pendapatan bersih dari pihak ketiga di segmen e-commerce sebesar 56 persen menjadi Rp2,76 triliun. Rasio persentase itu memang menyusut jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada 2022 yang tembus 435 persen.

Meski persentase pertumbuhan tidak sekencang sebelumnya, tapi Tokopedia (GOTO) sudah beroperasional lebih efisien. Seperti, insetif kepada pelanggan sudah turun 21 persen menjadi Rp1,65 triliun. Lalu, biaya pihak ketiga juga turun 32 persen menjadi Rp4,15 triliun. Sehingga rugi usaha segmennya menyusut jadi Rp1,59 triliun dibandingkan dengan periode sama pada 2022 senilai Rp4,6 triliun.

Kinerja Bukalapak (BUKA)

Lebih menarik lagi BUKA, pendapatan segmen marketplace-nya justru naik 75 persen menjadi Rp1,2 triliun. Persentase kenaikan itu lebih besar dibandingkan dengan periode 2022 yang cuma tumbuh 29 persen.

Namun, kenaikan pendapatan BUKA ini harus dibayar mahal dengan kenaikan beban pokok pendapatan yang naik 159 persen menjadi Rp657 miliar. Akan tetapi, jika dilihat secara historisnya, kenaikan beban pokok pendapatan BUKA di segmen market place ini mulai melmabat. Sebelumnya, pada periode sama 2022, BUKA mencatatkan kenaikan beban pokok pendapatan hingga 4.889 persen menjadi Rp253 miliar dibandingkan dengan Rp5 miliar pada periode sama tahun sebelumnya.

Meski begitu, BUKA perlu diapresiasi juga karena perseroan mampu menurunkan seluruh beban lainnya seperti, beban penjualan dan pemasaran hingga beban umum dan administrasi.

Dari segi non-operasional, bisnis marketplace BUKA masih mendapatkan keuntungan dari pendapatan keuangan yang tumbuh sebesar 66 persen menjadi Rp335 miliar. Meski, pertumbuhan ini melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 2.136 persen.

Adapun, pendapatan keuangan marketplace BUKA didapatkan dari bunga deposito dan obligasi negara hasil investasi dana IPO-nya tersebut. Menariknya, jika tidak mengakumulasikan kerugian investasi di PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI), bisnis marketplace BUKA sudah menciutkan ruginya menjadi Rp191 miliar. Nilai kerugian itu sudah menyusut 76 persen dibandingkan dengan periode 2022 yang rugi Rp804 miliar [dengan mengecualikan keuntungan dari hasil investasi di BBHI]. Artinya, bisnis marketplace BUKA justru paling mendekati level balik modal dibandingkan dengan Tokopedia.

BACA JUGA: Ini 5 Saham Dividen yang Jarang Diomongin Orang

Kinerja Blibli.com (BELI)

Di sisi lain, marketplace BELI yang karakternya memang agak berbeda dengan Tokopedia dan Bukalapak, menjadi yang paling efisien dan telah mencatatkan laba kotor. Di sisi lain, Tokopedia (GOTO) dan BUKA masih mencatatkan rugi.

BELI punya tiga segmen marketplace, yakni pihak pertama di mana BELI yang menjual produk. Kedua, pihak ketiga di mana mitranya yang berjualan. Ketiga, institusi di mana penjualannya untuk business to business.

Dari ketiga itu, bisnis BELI di pihak pertama di mana Blibli sebagai penjualnya langsung agak melambat setelah pendapatannya turun 3,84 persen menjadi Rp4,08 triliun. Namun, karena ada penurunan beban pokok pendapatan sebesar 6,48 persen, laba brutonya tetap naik sebesar 31,9 persen menjadi Rp128,59 miliar.

Meski segmen pihak pertama lesu, BELI mencatatkan hasil yang positif di segmen pihak ketiga. Dari segi pendapatan tumbuh 74,71 persen menjadi Rp957 miliar. Lalu penurunan diskon dan promosi langsung sebesar 18 persen membuat laba brutonya naik 707 persen menjadi Rp566 miliar.

Terakhir, segmen institusi BELI yang menjadi game changer pemilik marketplace Blibli.com ini. Pasalnya, segmen institusi ini mampu mencatatkan kenaikan pendapatan hingga ratusan ribu persen menjadi Rp1,22 triliun. Meski, kenaikan itu harus dibayar mahal dengan beban pokok pendapatan naik 63 persen menjadi Rp1,1 triliun. Sehingga laba brutonya hanya naik 147 persen menjadi Rp83 miliar.

Apakah Jika TikTok Shop Dilarang Saham e-Commerce Bisa Cuan?

Jika melihat perbandingan gross merchant value (GMV) sebagai indikator traffik transaksi belanja di marketplace. Ternyata, posisi TikTok Shop tidak terlalu tinggi. Jika dilihat data sepanjang 2022, TikTok Shop hanya menempati posisi kelima dengan GMV terbesar di Indonesia. Di atas TikTokShop masih ada Bukalapak, Lazada, Tokopedia, dan Shopee.

Artinya, jika TikTokShop dilarang, efeknya tidak akan begitu besar kepada pendapatan atau transaksi dari para e-Commerce. Dengan asumsi, kita bagi GMV Tiktokshop secara merata kelima marketplace lainnya, artinya penambahan GMV hanya sekitar 500 juta dolar AS. Itu pun kalau TikTokshop dilarang, mereka pindah belanja ke marketplace lainnya. Kalau belanjanya jadi ke online atau malah jadi tidak belanja, berarti tidak ada efek signifikan.

BACA JUGA: 5 Saham yang Mencatatkan Pertumbuhan Laba Bersih per Saham Terbesar di 2023, Harga Sahamnya Siap Meroket?

Kesimpulan

Kami menilai masalah bisnis e-Commerce bukan TikTokshop, tapi bagaimana persaingan promosi antara platform. Seperti, TikTokShop masih dalam fase bakar uang, sedangkan Tokopedia, Bukalapak, dan Blibli sudah bergerak ke ranah lebih efisien. Jadi, jika TikTokshop dilarang dan tidak ada, efek positifnya adalah para marketplace bisa lebih efisien lagi. Meski, tantangannya, marketplace milik SEA ltd, yakni Shopee malah siap untuk menabuh perang lagi dengan siap bakar uang lebih banyak.

Menariknya, setelah mengelaborasi kinerja marketplace, justru bisnis BUKA dan BELI yang cenderung melejit signifikan. BUKA yang mampu menipiskan rugi bersihnya, serta tetap mendorong pertumbuhan bisnis marketplacenya kembali agresif, meski tengah terbebani kerugian investasi di BBHI.

Sementara itu, BELI mampu mengembangkan segmen yang tadinya bukan andalan, tapi bisa didorong melejit, yakni segmen pihak ketiga dan institusi. Jika konsisten bertumbuh, kedua segmen itu bisa jadi yang membawa BELI ke arah profitabilitas. Meski, dari segi bottom line, BELI masih rugi sekitar Rp1,7 triliun.

Di sisi lain, Tokopedia juga sudah makin efisien, tapi dengan nominal rugi yang besar. Tampaknya, Tokopedia dan BELI akan bisa balik modal dalam waktu yang hampir sama. Kecuali, ternyata bisnis BELI di pihak ketiga dan instituti bisa tumbuh dan efisien lebih cepat dari perkiraan.

Sejauh ini, kami masih menghindari masuk ke saham marketplace seperti BUKA, GOTO, dan BELI. Pasalnya, outlook dari saham-saham ini masih cenderung merugi dalam jangka menengah panjang.

Kalau kamu tertarik borong saham-saham ini?

Referensi