Review 6 Saham Panas Bumi Terbaik Jelang Bursa Karbon

Dalam sebulan terakhir, beberapa saham mengumumkan rencana ekspansi ke sektor panas bumi. Ada siapa saja? lalu saham apa yang menarik di koleksi?

Review 6 Saham Panas Bumi Terbaik Jelang Bursa Karbon

Mikirduit – Beberapa emiten agresif ekspansi masuk ke bisnis energi panas bumi. Apakah nantinya bisnis energi panas bumi ini akan menjadi sumber cuan besar di masa depan? apalagi mengingat Indonesia punya 40 persen cadangan panas bumi di dunia. Namun, bagaimana dengan potensi cuannya?

Salah satu emiten pembangkit listrik panas bumi yang sudah beroperasi adalah PT Pertamina Geothermal Tbk. (PGEO). Jika melihat kinerjanya hingga semester I/2023, margin keuntungan kotor dan bersihnya cukup tebal, yakni masing-masing sekitar 59 persen dan 45 persen.

Kelebihan dari bisnis pembangkit listrik panas bumi ini adalah penjualan listrik dan uap berbentuk kontrak jangka panjang yang risiko nunggaknya kecil. Sehingga, perusahaan panas bumi cenderung punya cash yang cukup solid.

Misalnya, sampai semester I/2023, PGEO memiliki kas operasional senilai 126 juta dolar AS atau setara sekitar Rp1,9 triliun.

Namun, untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi ini butuh modal yang besar. PGEO sendiri menyiapkan anggaran hingga Rp24 triliun untuk pengembangan proyek baru hingga lima tahun ke depan.

BACA JUGA: Review 5 Saham yang Berpotensi Diuntungkan dari Bursa Karbon Indonesia

Peta Persaingan Bisnis Panas Bumi di Indonesia

Sebelumnya, salah satu kompetitor besar PGEO dalam bisnis panas bumi adalah Star Energy milik PT Barito Pacific Tbk. (BRPT). Bahkan, menteri BUMN Erick Thohir sempat berujar mengajak Star Energy juga bergabung menjadi BUMN untuk menggarap potensi panas bumi di Indonesia yang sangat besar.

Namun, kini ada beberapa emiten terkait panas bumi lainnya seperti Grup Medco, Grup Astra, dan Grup Peter Sondakh.

Pangsa pasar panas bumi di Indonesia
Berikut ini pangsa pasar bisnis panas bumi di Indonesia per 2022 yang dilihat dari kapasitas listrik terpasang. Lima terbesar antara lain, BRPT (via Star Energy), PGEO, MEDC (via Sarulla), dan sisanya RUIS yang punya minoritas di SMGP, serta UNTR yang punya bagian Supreme Energy Sriwijaya. / Laporan Tahunan PGEO 2022.

Star Energy via BRPT

Sebenarnya, saham Star Energy sudah dimiliki Prajogo Pangestu sejak 2009. Waktu itu, Prajogo akuisisi 40 persen saham Star Energy dari pendirinya Supramu Santoso. Sisanya, saham Star Energy waktu itu dikuasai 30 persen oleh Nusantara Capital dan 30 persen lagi lembaga keuangan asal London.

Sampai akhirnya, Barito Group, yang juga di bawah kendali Prajogo Pangestu akuisisi 66,67 persen saham Star Energy Group Holdings dengan modal dari aksi rights issue senilai Rp8,9 triliun.

Hingga 2022, Jika menggabungkan Star Energy Geothermal Salak, Geothermal Darajat II, dan Star Energy Geotrhemal, Star Energy memiliki kapasitas listrik hingga 874 megawatt, sedangkan PGEO sekitar 672 megawatt.

Hingga semester I/2023, Star Energy berkontribusi sebesar 43,22 persen ke pendapatan BRPT. Total nilai pendapatan BRPT dari panas bumi pada periode tersebut tembus 296 juta dolar AS, melampaui PGEO yang senilai 206 juta dolar AS. Bahkan, BRPT telah mencatatkan pendapatan dari carbon credit senilai 3,57 juta dolar AS atau setara Rp53,55 miliar.

Revisi: sebelumnya kami menuslikan kontribusi pendapatan panas bumi ke BRPT senilai 593 juta dolar AS, tapi ada kekeliruan perhitungan, seharusnya 296 juta dolar AS

Sarulla Operation via MEDC

PT Medco Energy Tbk. (MEDC) juga memiliki lini bisnis panas bumi setelah membuat konsorsium bersama Inpex Corporation, Ormat International Inc., ITOUCHU Corporation, dan Kyushu Electric Power Co. Inc. untuk mengelola panas bumi di Sarulla daerah Tapanuli, Sumatera Utara. Pengelolaan panas bumi itu ada di bawah entitas  PT Medco Geopower Sarulla dengan kepemilikan MEDC sekitar 49 persen.

Panas Bumi Sarulla ini bisa dibilang salah satu yang terbesar di dunia karena memiliki kapasitas tunggal sektiar 330 megawatt. Hanya satu operasi saja, Sarulla sudah menjadi pembangkit listrik panas bumi ketiga terbesar di Indonesia setelah PGEO dan Star Energy.

Sampai kuartal I/2023, dari pengelolaan pembangkit listrik panas bumi itu, MEDC mencatatkan bagian atas laba bersih senilai 1,96 juta dolar AS.

Dalam proses mencapai tahap komersial, PLN sempat ingin ambil alih Sarulla dari konsorsium MEDC pada 2011. Pasalnya, kontrak jual-beli listrik dengan PLN sudah ada, tapi proyek tidak kunjung dijalanka. Hingga akhirnya konsorsium MEDC bisa menjalankan proyek tersebut hingga saat ini.

Supreme Energy via UNTR

PT United Tractors Tbk. (UNTR) mengakuisisi PT Supreme Energy Sriwijaya dengan nilai investasi setara Rp634 miliar untuk 40,47 persen kepemilikan sahamnya pada 7 Agustus 2023 silam.

Setelah akuisisi ini, UNTR disebut akan menjadi pengendali Supreme Energy Sriwijaya. Sebagai catatan, UNTR hanya mengakuisisi sebagian dari Supreme Energy, perusahaan panas bumi dengan kapasitas listrik terbesar keempat di Indonesia.

Adapun Supreme Energy Sriwijaya adalah induk usaha PT Supreme Energy Rantau Dedap, yang punya izin panas bumi berkapasitas 2x49 megawatt. Operasionalnya ada di Kabupaten Lahat, Kota Pagar Alam, dan Kabupaten Muara Enim di Sumatra Selatan.

Supreme Energy Rantau Dedap bisa meningkatkan kapasitas listriknya menjadi 2x110 megawatt sesuai dengan perjanjian power purchase agreement (PPA) dengan PLN.

ARCI bikin joint venture dengan Ormat

ARCI, emiten tambang emas milik Peter Sondakh, tampaknya siap merealisasikan perusahaan patungan dengan Ormat Technologies Inc. untuk eksplorasi panas bumi di konsesi tambang emas Toka Tindung.

Berbeda dengan empat perusahaan lainnya yang sudah memiliki kapasitas listrik terpasang dan komersialisasi hasil panas bumi, untuk yang ARCI ini masih membutuhkan waktu dan modal cukup besar.

Bahkan, rencana bikin perusahaan patungan ini sudah tersiar sejak kuartal III/2021, tapi baru kembali mencuat pada 2023. Adapun, panas bumi di kawasan Toka Tindung itu diperkirakan memiliki kapasitas listrik hingga 30 megawatt.

Di sisi lain, Ormat Technologies juga menjadi salah satu konsorsium di Sarulla bersama MEDC.

Panas Bumi Sorik Marapi Geothermal via RUIS

PT Radiant Utama Interinsco Tbk. (RUIS) melalui anak usahanya PT Supraco Indonesia membuat perusahaan patungan dengan OTP Geothermal Power yang dimiliki KS ORKA Group untuk pengembangan konsesi panas bumi di Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara. Panas Bumi Sorik Marapi ini menjadi proyek panas bumi terbesar kelima di Indonesia.

Menurut data Kementerian ESDM, konsesi panas bumi di Sorik Merapi itu mayoritas sebesar 95 persen dimiliki KS ORKA Group, sehingga peran RUIS di sana cukup kecil. Bahkan, porsi pendapatan dari panas bumi baik melalui entitas asosiasi maupun pendapatan segmen operasi juga tidak tertera di laporan keuangan.

Bisnis utama RUIS sendiri adalah kontraktor pertambangan. Sampai semester II/2023, perseroan mendukung konstruksi pertambangan di Pertamina Hulu Mahakam, Medco Energi Madura Offshore, Pertamina Hulu Rokan, Schlumberger Group, dan Pertamina Hulu Sanga-sanga.

BACA JUGA: Saham Sektor Ini Berpotensi Tertekan dari Upaya Net Zero Karbon, Bukan Batu Bara Kok

Kesimpulan

Dari kelima saham panas bumi tersebut, yakni PGEO, BRPT, MEDC, UNTR, dan ARCI, menurut kami yang menarik adalah BRPT dan PGEO. Keduanya menjadi pemimpin pasar panas bumi saat ini, sedangkan MEDC dan UNTR masing-masing hanya memiliki satu operasional panas bumi raksasa di Sarulla dan Sumatra Selatan. Apalagi, ARCI yang masih dalam tahap eksplorasi yang butuh waktu lama sekali dan modal besar.

Valuasi saham yang punya keterkaitan dengan panas bumi di Indonesia
Valuasi saham yang punya keterkaitan dengan proyek panas bumi di Indonesia

Namun, harga saham di bidang panas bumi ini sudah berada di level tinggi. Dengan menggunakan metriks price to book value (PBV), MEDC menjadi saham panas bumi dengan PBV terkecil sebesar 1,12 kali, tapi secara historis sudah cukup mahal karena rata-rata 5 tahunnya ada di 0,86 kali

Adapun, saham panas bumi yang menarik dan murah ada di BRPT dan UNTR. PBV BRPT sebesar 3,53 kali secara historis masih murah karena rata-rata 5 tahunnya sebesar 3,98 kali. Untuk UNTR sudah sedikit menuju fair value secara historis, karena PBV saat ini sebesar 1,45 kali, sedangkan rata-rata 5 tahunnya sebesar 1,46 kali.

Sebenarnya, ARCI menjadi yang termurah, tapi proyek panas buminya ARCI baru sampai tahap eksplorasi yang hasilnya belum tentu 100 persen bisa berhasil.

Ada potensi, ketika bursa karbon di Indonesia rilis pada September 2023, emiten seperti panas bumi ini bisa mendapatkan tambahan pendapatan. Apalagi, jika keberadaan bursa karbon bisa meningkatkan pendapatan dari carbon credit menjadi lebih besar daripada saat ini.

Kamu sudah punya emiten panas bumi di portofoliomu?

Referensi