Masalah Terbesar Dalam Saham, Kapan Melakukan Take Profit?

Refleksi akhir tahun kali ini, saya ingin membahas permasalahan terbesar dalam saham, yakni kapan melakukan take profit? simak ulasan dari pengalaman saya di sini

strategi saham

Mikirduit – Ada yang pernah berpikir salah satu masalah terbesar di saham? bukan masalah bagaimana jika floating loss, bukan juga bagaimana cara menentukan waktu beli saham, tapi ternyata bagaimana cara melakukan take profit. Lah, kan sudah untung, kenapa bingung?

Highlight
  • Menentukan take profit sering kali lebih sulit daripada menentukan beli atau cut loss karena faktor psikologis seperti keserakahan dan ketakutan membuat keputusan terasa “salah” baik saat terlalu cepat maupun terlalu lama menahan saham.
  • Take profit tidak selalu benar atau salah, karena keputusan tersebut sangat bergantung pada tujuan (likuiditas jangka pendek vs. hold jangka panjang) dan risiko yang siap ditanggung, bukan pada hasil harga saham di masa depan.
  • Strategi take profit yang lebih sehat adalah berbasis manajemen risiko—bertahap, membandingkan potensi capital gain dengan dividen, dan menerima bahwa tidak mungkin membeli di bottom dan menjual di puncak secara sempurna.
  • Untuk diskusi saham secara lengkap, pilihan saham bulanan, dan insight komprehensif untuk member, kamu bisa join di Mikirsaham dengan klik link di sini

Ini menjadi tulisan refleksi tahun ini berdasarkan pengalaman sendiri hingga pertanyaan member mikirsaham. Kenapa menentukan take profit lebih susah (untuk investing) dibandingkan dengan lainnya?

Sederhananya:

  • Jika membeli saham, kita tinggal tentukan mau strategi tunggu harga murah, atau titip sendal di harga terdekat, yang penting jangan mengejar harga saat lagi ngebut, kecuali tujuannya trading.
  • Jika mengalami floating loss, kita tinggal cek secara momentum, fundamental, dan teknikal risk-reward-nya seperti apa. Misalnya, trading pun bisa disesuaikan dengan plan stop loss

Nah, di mana susahnya melakukan take profit?

Tantangan melakukan take profit adalah ketika psikologis kita mengalami kemarukan tingkat tinggi atau tengah fear sehingga jadi buru-buru take profit. Berikut berdasarkan pengalaman saya:

Pertama, saya ingat waktu itu 2020 harga saham ITMG sempat turun ke Rp11.000 per saham. Saya yang mengincar ITMG sejak lama langsung tergiur dengan hitung-hitungan prospek harga saham yang sudah terdiskon. Namun, apa daya, harga saham ITMG sempat dibawa turun ke Rp7.000 per saham. Sehingga secara catatan, saya mengalami floating loss.

Dalam periode kurang dari 1 tahun (dari beli sekitar Maret 2020 hingga Desember 2020), harga ITMG pulih mencapai harga Rp16.000 per saham. Lalu, apa yang saya lakukan? dengan kondisi porto yang carut marut karena crash 2020, saya pikir keuntungan 33 persen sudah cukup. Jadi, saya melakukan take profit sebagai cash untuk menangkap peluang lainnya.

Apakah take profit saat itu salah?

Salah jika kita mengetahui masa depan harga saham ITMG tembus Rp46.450 per saham karena booming harga batu bara ke 400 dolar AS per ton (menunggu 3 tahun). Berarti, saya sudah dapat 3 bagger sekitar 300 persen di luar dividen yang jika dihitung dari harga rata-rata itu yieldnya bisa luar biasa mencapai 20-30 persen. 

Tapi, keputusan take profit itu juga tidak salah dengan tujuan mencari cash dalam jangka pendek. Apalagi, kala itu cerita batu bara kiamat mengemuka sebelum akhirnya tiba-tiba China mengalami krisis energi di akhir 2021 dan perang Rusia-Ukraina pecah di 2022.

Kedua, dalam waktu yang tidak terlalu jauh, saya memiliki dua saham, yakni TOWR dan ESSA. TOWR saya terus melakukan cicil hingga sekarang harga rata-rata sekitar Rp614 per saham. Sampai akhirnya, TOWR right issue di atas harga pasar senilai Rp680 per saham. Harga saham-nya sempat naik hingga ke Rp700 per saham. Artinya, saya sudah untung sekitar 14 persen. Namun, saya masih kepala batu dengan conviction kalau ini barang bisa naik lagi lebih tinggi. Akhirnya kembali mengalami floating loss.

Begitu juga ESSA, saya cicil sejak Mei 2025 dengan harga rata-rata (plus ada average up sedikit) di Rp604 per saham. Harga saham ESSA sempat ke Rp765 per saham, tapi saya nggak jual juga. Alasannya, dari conviction harusnya bisa lebih. Akhirnya floating profit menyusut.

Lalu, apakah yang saya alami di TOWR dan ESSA sebuah kesalahan?

Jawabannya, bisa jadi kesalahan kalau setelahnya harga saham TOWR dan ESSA terus turun tanpa henti hingga mengalami kerugian besar. Tapi, bisa jadi sebuah langkah yang benar kalau ternyata TOWR dan ESSA mencapai harga Rp1.000 per saham. Soalnya, bisa mencatatkan keuntungan yang lebih besar. 

Ketiga, mimpi membeli saham dengan akumulasi terus tanpa henti. Jadi, sejak resmi mulai investasi saham secara langsung pada 2018 (sebelumnya karena masih berstatus jurnalis ada kebijakan tidak boleh berinvestasi saham secara langsung sehingga hanya bisa masuk ke reksa dana), saya punya mimpi ingin pegang minimal 1 persen sebuah saham perusahaan swasta. (nggak muluk-muluk sampai di atas 5 persen).

Akhirnya, saya melakukan dollar cost averaging di saham SMSM. Alasannya, ini saham punya dividen 4 kali setahun dengan rata-rata yield terus bertumbuh dan bisa mengalahkan SBN. Saya lakukan sejak 2018 - 2020 (sempat off saat covid-19 karena ada pengurangan income dan mengalihkan dengan mempertebal dana darurat), dan lanjut lagi di 2021 hingga 2022.

Entah kenapa baru kepikiran di 2022, saya iseng menghitung berapa modal yang dibutuhkan untuk punya modal 1 persen saham SMSM, ternyata dengan market cap Rp10 triliun, berarti butuh Rp100 miliar khusus di saham itu saja. Oke, akhirnya ubah haluan. Dengan hold sejak 2018 sampai 2022 plus gain, keuntungannya lumayan. Dari dividen total 2018-2024 (jual sekitaran akhir 2024), itu keuntungan yield dividen sekitar 45 persen, dan capital gain 35 persen. Ini cerita yang bisa keluar dengan cuan gain dan dividen yang berasa.

Namun, ada juga yang keluar dari keuntungan menarik hingga jadi lesu di saham BBRI. Kala itu, saya beli BBRI di Rp3.900 (akumulasi cicil beli) sejak rencana right issue jumbo mereka di 2021. Saya ingat angka keuntungan pada awal 2024 di BBRI mencapai 60 persen di luar dividen. Dengan alokasi modal yang cukup besar, angka keuntungan sangat berasa.

Sayangnya, saya lupa diri dan menganggap harga rata-rata sudah cukup rendah jadi bisa hold keras (sebenarnya bisa aja, tapi cash jumbo jadi macet di saham itu hingga periode booming lagi). Dengan perhitungan risiko dan peluang jangka menengah, saya take profit BBRI di harga Rp4.200 per saham. Total keuntungan dari capital gain menciut jadi 7,6 persen. Dengan tambahan yield dividen sejak 2022 hingga 2024 (saat di 2025 sempat masuk BBRI dengan harga rata-rata yang berbeda) sekitar 23 persen. Intinya masih cuan, tapi saya melewatkan keuntungan gain 60 persen yang setara dividen 6 tahun ke depan.

Keempat, ada kondisi saham sudah cuan cukup besar mencapai 100 persen, akhirnya saya putuskan melakukan take profit. Namun, ternyata setelah take profit jumbo, harga saham terus lanjut naik lebih tinggi lagi.

9 Kabar Aksi Korporasi Akhir Tahun, Dari RATU hingga MEJA
Jelang tutup tahun, kami rekap 9 kabar aksi korporasi akhir tahun dari RATU hingga MEJA. Ada apa saja? apakah ada saham yang kamu hold?

Hal ini, saya alami di saham FUTR dan PBSA. Saya memiliki harga rata-rata FUTR sekitar Rp91 per saham (terakhir segini, saya agak lupa jika sempat average down lagi karena catatan historis di Ajaib mentok sampai Agustus 2025). Akhirnya, saya lepas di sekitaran Rp180-an per saham dengan keuntungan sekitar 100 persenan. Jika saya hold sampai Rp800-an per saham, berarti keuntungan bisa mencapai 8 bagger.

Begitu juga dengan PBSA, saya beli saham tersebut di harga Rp292 pada September 2024. Sederhananya, ini salah satu saham Mikirdividen dan posisi masih murah. Ternyata, tanpa sadar harga saham sudah mencapai Rp600-an per saham. Saya menjualnya di harga Rp665 per saham atau mendapatkan gain sekitar 127 persen. Namun, harga saham PBSA ternyata malah lanjut naik ke Rp2.000-an per saham (sempat ke sini). Jika tetap hold berarti bisa mendapatkan 5 bagger. 

Lalu, apakah saya melakukan kesalahan telah menjual terlalu cepat? jika kita bisa melihat masa depan, jelas itu keputusan yang salah. Namun, jika ternyata di masa depan harga saham keduanya malah turun, keputusan menjual dengan tingkat keuntungan tersebut malah sebuah langkah yang tepat.

Hal yang Bisa Dipelajari dari Permasalahan Take Profit Berdasarkan Pengalaman Saya

Dari empat kejadian yang saya alami secara pribadi, ada beberapa hal yang bisa dipelajari:

Pertama, ketika membeli saham yang lagi diskon besar karena ada anomali tertentu, kita perlu melihat risiko bisnis saham tersebut untuk melihat potensi terburuk yang terjadi. Lalu, mencari momentum forward looking yang jauh ke depan (butuh riset sih). Sehingga ketika membeli di harga diskon, kita bisa menentukan apakah lanjut hold atau jual terlebih dulu jika ada pergerakan naik dalam jangka pendek.

Kedua, untuk mengantisipasi penurunan harga meski beli setelah harga dinilai diskon, lakukan bertahap. Jadi, se-lump sum- lump sum-nya strategimu, tetap beli secara bertahap. Hal ini yang saya terapkan saat ini.

Ketiga, jika kamu membeli saham dengan alasan dividen, tiba-tiba harga saham naik tinggi sekali mencapai beberapa bagger. Kamu bisa hitung dengan asumsi paling optimistis, seberapa besar keuntungan gain dibandingkan dengan asumsi dividen paling optimistis. Misalnya, ketika saya untung di BBRI sebesar 60 persen, lalu dengan menggunakan asumsi dividen BBRI rata-rata 15 persen (asumsi premium), berarti keuntungan ini setara dengan waktu 4 tahun dapat dividen, tapi cair lebih dulu. Artinya, kita bisa melakukan take profit terlebih dulu dan masuk di waktu yang tepat saat ada koreksi market dengan skala modal yang besar.

Keempat, kita tidak bisa membeli saham saat di-bottom dan menjual saat di pucuk secara sempurna. Sehingga ketika cuan sudah cukup besar, bisa pertimbangkan bersyukur dengan take profit. Jika ingin maruk, bisa lepas setengah, sedangkan sisanya biarkan kemanapun pergi. Hal ini untuk manajemen risiko jika ternyata harga saham malah turun, sehingga setidaknya sudah take profit sebagian.

💡
Dapatkan Tools Analisis Saham Paling Cocok Untuk Investor Ritel serta Pilihan Saham Indonesia hingga AS dengan AI bersama Investing Pro. Dapatkan Promo Spesial Dari Mikirduit dengan Klik di sini

Kelima, dalam kasus khusus cerita di saham TOWR dan ESSA, kita punya barang sudah floating profit, tapi karena conviction dan kemarukan masih selaras jadi hold bukan take profit, sehingga harga saham malah balik ke area average price, bahkan di bawahnya. Apakah lebih baik take profit dulu sehingga bisa akumulasi keuntungan modal?

Secara teori, jika kita take profit untuk antisipasi harga saham kembali ke average price hingga ke bawahnya itu adalah langkah yang tepat. Namun, siapa yang tahu harga saham akan kembali ke dekat average price lagi.

Sehingga, cara menjual dulu sehingga bisa beli di harga rata-rata semula bisa dilakukan jika kamu siap dengan risiko ternyata harga saham lanjut naik. Tapi, ketika kamu hold juga harus siap harga balik ke harga rata-rata bahkan di bawahnya. Ya itulah saham, penuh ketidakpastian. Jadi, jangan berharap kepastian di saham, siapkan manajemen risiko untuk mencapai cuan konsisten, bukan cuan besar di tahun ini, tapi ambyar dan trauma di tahun selanjutnya.

Mau Diskusi Saham Secara Produktif untuk Strategi hingga Insight Terkini? yuk join Mikirsaham Pro Sekarang

Benefit Mikirsaham Pro:

  • Stockpick investing (dividend, value, growth, contrarian) yang di-update setiap bulan
  • Stockpicking swing trade mingguan (khusus member mikirsaham elite jika kuota masih tersedia)
  • Insight saham terkini serta action-nya
  • IPO dan Corporate Action Digest
  • Event online bulanan
  • Grup Diskusi Saham

Join ke Member Mikirsaham Pro sekarang juga dengan klik link di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini