Begini Cara Deteksi Saham yang Berisiko Bangkrut

Jangan asal bilang perusahaan mau bangkrut kalau cuma liat utang banyak dan rugi. Lah, kalau rugi banyak GOTO berarti bangkrut dong? yaps, konsep bangkrut adalah ketika bisnis yang tidak berjalan. Bagaimana cara deteksinya? cek di sini ya

Begini Cara Deteksi Saham yang Berisiko Bangkrut

Mikirduit – PT Ricky Putra Globalindo Tbk. (RICY) sempat viral setelah disebut salah satu kreator akan bangkrut. Apalagi, produk RICY sangat dikenal oleh masyarakat, yakni sempak GT Man. Namun, masalahnya, cerita RICY bangkrut ini tidak tepat. Kenapa? kami akan jelaskan semuanya di sini, serta contoh sahamnya.

Sebelum membahas lebih detail, kami merasa perlu menjelaskan perbedaan antara bangkrut dan pailit.

Sebenarnya, perusahaan yang bangkrut adalah perusahaan yang mengalami kerugian besar dan bisnisnya juga tidak berjalan menghasilkan uang. Sehingga, perusahaan ini tidak bisa mendapatkan uang untuk membayar setiap kewajiban rutin seperti utang hingga gaji karyawan.

Lalu, pailit adalah sebuah kondisi perusahaan di mana keuangan mereka bisa jadi tidak terlalu buruk, tapi mereka kesulitan membayar utang. Sehingga pemberi utang menggugat penundanaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Contoh sederhananya, AISA mengalami pailit pada medio 2019 karena anak usaha di bidang berasnya tidak bisa bayar pinjaman. Namun, operasional bisnis AISA yang lain tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kini, AISA pun masih beroperasi seperti biasa. Untuk cerita lengkapnya kamu bisa baca di sini: Saham AISA, Pesaing ICBP yang Jadi Pesakitan.

Bedah Keuangan RICY, Produsen Sempak GT-Man

Sebenarnya, saat ini operasional bisnis RICY berjalan baik-baik saja. Bahkan, perseroan mencatatkan laba bershi senilai Rp6,6 miliar pada semester I/2023. Sebuah kesalahan kalau menyebut RICY bangkrut karena perusahaan ini masih beroperasi dengan target pasar domestik hingga ekspor.

Seharusnya, yang dibahas adalah dari segi kesehatan perusahaan tersebut. Bisnis RICY tampaknya lagi menghadapi tantangan cukup besar, seperti emiten tekstil lainnya.

Per semester I/2023, perseroan mencatatkan penurunan sebesar 30,5 persen menjadi Rp425,93 miliar. Namun, dari penurunan pendapatan itu, RICY mampu menekan beban pokok pendapatan sehingga gross profit marginnya naik dari 19 persen pada semester I/2022 menjadi 23 persen pada semester I/2023.

Namun, bukan itu yang membuat RICY mencatatkan laba bersih. Bisa dibilang, RICY bisa mendapatkan laba bersih karena faktor non-operasional bisnis, yakni selisih keuntungan kurs senilai  Rp31,48 miliar. Tanpa ada keuntungan selisih kurs itu, mungkin RICY masih rugi.

Meski begitu, RICY mencatatkan arus kas operasional yang positif senilai Rp49,32 miliar pada semester I/2023. Hal ini berarti bisnis RICY masih menghasilkan uang tunai segar yang bisa diputar kembali untuk memenuhi kewajibannya seperti bayar pinjaman.

Sampai semester I/2023, RICY juga memiliki tingkat utang yang cukup besar. Rasio pinjaman [khusus pinjaman berbunga seperti bank dan obligasi] terhadap ekuitasnya sudah mencapai 4,83 kali.Total utang jangka pendek dan panjang RICY mencapai Rp1,16 triliun. Mayoritas, pinjaman itu memiliki tenor jangka pendek. Jika dilihat secara rasio DER, sebenarnya utang RICY sudah turun tipis sebesar 0,86 persen menjadi Rp1,16 triliun.

Jadi, di sini, jika dilihat risikonya, saham RICY memang memiliki utang yang cukup besar dibandingkan dengan ekuitas hingga kas operasi yang menggambarkan uang tunai yang dihasilkan. Namun, RICY tidak bisa dibilang bangkrut atau pailit, karena belum ada utangnya yang terungkap mengalami gagal bayar atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Adapun, analisis kesehatan saham RICY ini bisa digunakan oleh investor untuk melihat tingkat risiko dalam investasi di saham RICY dengan time frame jangka panjang.

Kisah Bakrie Telecom yang Bangkit dari Kebangkrutan?

Salah satu saham yang diduga sempat bangkrut karena banyak utang adalah PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL). Namun, apakah BTEL bisa dibilang bangkrut? toh sekarang masih listing di BEI dan perseroan masih mencatatkan pendapatan meski sangat kecil.

Cerita BTEL diawali oleh kerugian perseroan pada 2011 senilai Rp782 miliar. Waktu itu belum terlalu masalah lah, ruginya masih kecil. Apalagi, jika dibandingkan dengan pendapatan senilai  Rp3,19 triliun

Namun, masalah BTEL pecah pada 2015 ketika kerugiannya terus menggunung hingga tembus Rp8,63 triliun. Padahal, pendapatannya saja cuma Rp638 miliar.

Penurunan kinerja keuangan pada 2015 ini ada kaitannya dengan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) pada 2014. Di situ, BTEL mengajukan proposal perdamaian dengan para  krediturnya, termasuk utang pendapatan negara bukan pajak senilai Rp1,2 triliun kepada pemerintah.

Masalah dengan pemerintah ini bikin panas karena Kementerian Komunikasi dan Informasi menolak tunggakan pendapatan negara bukan pajak tersebut. Apalagi, utang kepada pemerintah itu sudah ditunggak BTEL sejak 2010.

Sampai akhirnya, Kominfo mencabut izin penyelenggaraan jaringan tetap lokal mobilitas terbatas dan penyelenggaran jaringan tetap sambungan internasional pada Oktober 2016. Hal itu yang membuat kinerja BTEL makin terpuruk. Bahkan, BTEL sampai melakukan PHK besar-besaran hingga menyisakan 6 karyawan pada September 2019.

Dengan lini bisnis yang terbatas karena lagi menjalani PKPU ditambah dicabutnya izin dari Kominfo, serta melakukan PHK besar-besaran, apakah kita bisa bilang BTEL ini bangkrut?

Di sini menariknya, BTEL mengaku tengah menuju transformasi dari perusahaan telekomunikasi menjadi digital. Apalagi, pada Januari 2023, BTEL mendapatkan pengakuan persetujuan perjanjian damai PKPU dari pengadilan Amerika Serikat (AS). Dari sini, BTEL dapat persetujuan resmi untuk melakukan restrukturisasi utang perusahaan.

Kini, BTEL bak membuka lembaran baru. Per semester I/2023, rugi bersih BTEL tinggal Rp51 miliar. Lalu, sumber pendapatannya kini berasal dari pendapatan infrastruktur media, pendapatan jasa telekomunikasi business to business, digital media agency, dan jasa konsultasi IT.

Dalam kasus BTEL itu, apakah kita bisa bilang sudah bangkrut lalu bangkit? atau cuma sekadar pailit? meski lini bisnis berubah 180 derajat.

Tragedi Saham SIAP

Kamu pernah dengan PT Sekawan Intipratama Tbk. (SIAP)? jika melihat laporan keuangan perseroan pada 2013, awalnya lini bisnis saham ini antara lain, alat kesehatan dan industri, kebutuhan rumah tangga, dan percetakan.

Jika melihat laporan keuangan 2013, SIAP memang memiliki utang yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan ekuitasnya. Utang bank SIAP jangka pendek dan jangka panjang mencapai Rp118 miliar, sedangkan ekuitasnya Rp100 miliar. Apalagi, SIAP juga mengalami kerugian Rp3,7 miliar pada saat itu, sedangkan arus kas operasional negatif Rp37 miliar.

BACA JUGA: Mengenal Backdoor Listing dan Deretan Rekam Jejak Nasib Sahamnya

Dari segi kesehatan perusahaan memang memburuk, tapi saat itu perseroan belum mengalami pailit.

Dengan kinerja keuangan yang lagi tertekan, harga saham SIAP yang konsisten bergerak di bawah Rp100 per saham, tiba-tiba perlahan naik di atas Rp100 per saham. Bahkan, pada 30 Desember 2014, harga saham SIAP meroket hingga Rp465 per saham.

Hal ini berkaitan dengan rencana perseroan mengganti lini bisnis menjadi perusahaan batu bara. Adapun, aksi perubahan lini bisnis itu disebut merupakan langkah backdoor listing PT Indo  Wana Bara Mining Coal.

Menariknya, PT Indo Wana Bara Mining Coal ini sempat ingin backdoor listing via PT Perdana Karya Perkasa Tbk. (PKPK), sayangnya rencana itu ditolak oleh OJK.

Sampai akhirnya, SIAP berencana rights issue besar dengan target dana Rp4,68 triliun untuk melanggengkan aksi backdoor listing tersebut.

Nantinya, dengan dana itu, SIAP akan mengakuisisi RITS Ventures Limited yang secara tidak langsung memengang saham PT  Wana Bara Prima Coal. Saat itu, Wana Bara Prima Coal punya izin operasional tambang batu bara 5.00 hektare di Kutai Barat, Kalimantan Timur, dan direncakan mulai produksi komersial pada Agustus 2014.

Namun, tiba-tiba SIAP melaporkan aktivitas kegiatan batu baranya dihentikan terlebih dulu akibat masalah perizinan. Dari sini mulai menjadi titik penurunan kinerja saham SIAP. Hingga posisi ekuitas mengalami level negatif. Bahkan, pendapatan SIAP pada 2017 hanya Rp920 juta.

Hingga akhirnya, sampai 2019 dan 2020, saham SIAP tidak memiliki pendapatan sama sekali alias 0 dengan tingkat kerugian hingga 2020 mencapai Rp126 miliar.

Sampai akhirnya SIAP didepak dari BEI pada 2019 setelah disuspensi selama 2 tahun lamanya.

Selain itu, ada juga kasus yang melibatkan transaksi gagal bayar repo SIAP yang dulu diduga ada tindak pidana, meski ceritanya menguap begitu saja.

BACA JUGA: Deretan Skandal Gagal Bayar Saham Repo

Dengan kondisi begitu, apakah kita bisa sebut SIAP bangkrut? sejauh ini website-nya masih aktif, tapi ya karena sudah didepak dari BEI, kita tidak bisa mengetahui lebih jauh apakah perusahaan ini sudah bangkrut atau masih beroperasi.

Kesimpulan

Bicara perusahaan bangkrut itu bukan berarti perusahaannya akan tamat, kalau pekerjanya ya potensi tamat. Seperti, BTEL yang sempat kolaps hingga jumlah karyawannya bisa dihitung dengan jari bisa mulai bangkit lagi secara bertahan. Bahkan, tetap beroperasi.

Di sisi lain, ada SIAP yang awalnya cuma ada masalah utang dan bisnis yang kurang menguntungkan, tapi setelah menerima pinangan backdoor listing dari perusahaan batu bara, akhirnya malah berujung lebih tragis lagi.

Lalu, RICY dengan tingkat kesehatan keuangan BERISIKO, bukan bangkrut ya, sejauh ini masih beroperasi seperti biasa dan mencatatkan omzet dengan baik. Namun, tetap, saham RICY bisa dibilang cukup berisiko, sekali ada goyangan seperti ketika PT  Sri Rezeki Ismani Tbk. (SRIL) saat pandemi Covid-19, ya bisa selesai.

Jadi, hal yang bisa kita lakukan agar tidak terjebak di saham yang mau bangkrut atau terancam pailit adalah dengan melihat tingkat kesehatan keuangan untuk bayar utang.

Formula dari kami mudah saja, cek jumlah utang berbunga yang dimiliki, bisa dari utang bank jangka pendek, utang bank jangka panjang dan obligasi jatuh tempo dalam setahun, utang bank dan obligasi jangka panjang. Setelah dijumlahkan, hitung dengan total ekuitasnya untuk mengetahui tingkat debt to equity ratio (DER) yang benar-benar dari utang berbunga. Lalu, cek arus kas operasionalnya.

Jika, DER-nya tinggi lebih dari 1 kali, tapi kas operasionalnya sangat tebal dan bisa menyelesaikan minimal utang jangka pendeknya. Ya, saham itu masih aman, meski harus dipantau terus.

Jika, DER-nya tinggi lebih dari 1 kali, tapi kas operasionalnya masih positif, meski tidak tebal-tebal banget. Dengan nominal di bawah total utang jangka pendek, lebih baik berhati-hati karena risikonya tinggi.

Jika, DER-nya tinggi lebih dari 1 kali dan kas operasionalnya negatif minimal setahun berturut-turut. Yaudah, skip aja saham ini, cari yang lain.

Coba sekarang cek kesehatan keuangan saham investasi jangka panjangmu. Masih oke atau sudah ada tanda-tanda yang buruk?

Cerita tentang BTEL dan SIAP akan dibahas lebih lengkap dirubrik Notasi setiap Jumat ya.

Referensi