Mengenal Backdoor Listing, yang Bikin PANI Meroket

Harga saham PANI melejit karena dia telah menjadi entitas backdoor listing Agung Sedayu sejak 2021. Lalu, apa itu backdoor listing dan efeknya ke investor ritel seperti kita?

Mengenal Backdoor Listing, yang Bikin PANI Meroket

Mikir Duit – Backdoor listing menjadi salah satu alternatif perusahaan tertutup untuk bisa memanfaatkan skema pendanaan dari pasar modal. Hal itu yang terjadi pada perusahaan PT Pratama Abadi Nusa Industri Tbk. alias PANI. Memang apa itu backdoor listing dan apa efeknya ke perusahaan dan juga investor?

Backdoor listing adalah aksi merger atau akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan tertutup terhadap perusahaan terbuka yang tercatat di bursa efek dalam jumlah yang signifikan hingga menjadi pengendali.

Aksi itu disebut backdoor listing karena membuat perusahaan bisa memanfaatkan skema pendanaan di pasar modal tanpa harus melakukan initial public offering (IPO) atau menerbitkan saham baru untuk publik.

Kelebihan melantai di bursa dari pintu belakang atau backdoor listing ini antara lain, bisa mempercepat proses melantai di bursa, lebih hemat biaya dibandingkan dengan IPO, serta pemegang saham pengendali tidak ingin informasi detail tentang perusahaannya dibongkar semua dalam prospektus IPO, serta laporan keuangan yang diterbitkan setiap kuartalnya.

Untuk biaya, kenapa backdoor listing lebih murah? karena tinggal memilih perusahaan terbuka kecil untuk diakuisisi dengan nilai kecil juga. Ketimbang IPO yang butuh konsultan huku, hire appraisal, bayar underwriter hingga fee pencatatan, sampai iklan di koran.

Namun, ada juga risiko backdoor listing seperti, jika merger bisnis kedua perusahaan berjalan kurang baik, bisa saja efeknya ke harga saham maupun kinerja emiten menjadi kurang bagus.

Berikut 5 kejadian backdoor listing di BEI.

Agung Sedayu Group Akuisisi PANI

Seperti dalam konten sebelumnya yang kami bahas tentang Bahaya Saham PANI, jadi Agung Sedayu Group mengakuisisi PANI pada 2021. Kalau dilihat, Agung Sedayu adalah perusahaan properti, sedangkan PANI adalah perusahaan produsen kemasan kaleng dan jasa pendinginan. Lalu, kenapa Agung Sedayu mau akuisisi perusahaan yang bisnis 180 derajat berbeda?

Ya, karena sebenarnya Agung Sedayu tidak butuh bisnisnya, melainkan butuh statusnya sebagai perusahaan terbuka untuk backdoor listing.

Untuk itu, setelah Agung Sedayu akuisisi 80 persen saham PANI pada 2021. PANI langsung mengakuisisi perusahaan properti yang terafiliasi dengan Agung Sedayu Group.

Secara bertahap setelah akuisisi Agung Sedayu, PANI pun melepas bisnis lamanya. Teranyar, pada Juni 2023, PANI melepas 20 persen saham anak usahanya PT Windu Blamangan Sejati senilai Rp5,67 miliar.

Bahkan, PANI dikabarkan akan berganti nama menjadi entitas properti di bawah Agung Sedayu dan Salim.

Air Asia Indonesia Backdoor Listing via CMPP

PT Indonesia Air Asia Tbk. atau saham CMPP juga adalah hasil dari backdoor listing. Sebelumnya, CMPP adalah PT Rimau Multi Putra Pratama Tbk. dengan bisnis batu bara dan pelayaran.

Namun, pada 2017, CMPP melakukan rights issue jumbo dengan harga pelaksanaan Rp250 per saham dan rasio dilusi hingga 97,97 persen. Total dana yang dihimpun senilai Rp3,41 triliun. Di sini, induk Air Asia di Malaysia melalui PT Fersindo Nusaperkasa dan Air Asia Investment Ltd. menjadi pembeli siaganya. Serta, pengendali CMPP saat itu memutuskan tidak ambil haknya.

Dari situ, Air Asia Investment dan Fersindo Nusaperkasa menjadi pemegang saham pengendali CMPP yang baru. Setelah aksi rights issue selesai, dananya digunakan untuk akuisisi Air Asia Indonesia.

Lalu, pada 2018, CMPP pun berubah nama menjadi PT Indonesia AirAsia Tbk.

Backdoor Listing Perusahaan Properti Antah Berantah via RIMO

Cerita backdoor listing sebuah perusahaan properti PT Hokindo Mediatama milik Benny Tjokro lewat PT Rimo International Lestari Tbk. (RIMO) menjadi salah satu kisah legendaris.

Kala itu, RIMO tiba-tiba ingin melakukan rights issue dalam jumlah jumbo senilai Rp8,1 triliun. Padahal, bisnis RIMO di bidang department store sedang lesu-lesunya.

Setelah membaca prospektus, aksi rights issue itu memang mengarah kepada backdoor listingnya Hokindo ini.

Menariknya, aksi dana rights issue RIMO senilai Rp8 triliun itu hanya untuk membeli perusahaan Hokindo yang cuma punya tanah kosong.

Aksi rights issue jumbo RIMO ini butuh proses yang lama dan agak alot. Sampai akhirnya, aksi rights issue itu baru rampung pada 2017 alias 3 tahun setelah rencana muncul. Nilai rights issue juga menciut dari Rp8 triliun menjadi RP4,1 triliun. Penggunaan dananya tetap untuk akuisisi entitas properti Hokindo.

Backdoor Listing Indomaret via DNET

Siapa yang penasaran kenapa PT Indoritel Makmur Internasional Tbk. ini sering disebut Indomaret? ya karena secara tidak langsung Indomaret listing via eks saham sektor teknologi tersebut.

Sebelumnya, nama DNET adalah PT Dyviacom Intrabumi Tbk. Namun, perseroan melakukan rights issue jumbo senilai Rp7 triliun pada 2013 dengan harga pelaksanaan Rp500 per saham.

Dari sini, ada dugaan entitas Grup Salim masuk karena dana hasil rights issue digunakan untuk membeli tiga perusahaan bos Indofood tersebut, yakni PT Fast Food Indonesia Tbk. (FAST), PT Nippon Indosari Corpindo Tbk. (ROTI), dan PT Indomarco Prismatama yang lebih dikenal Indomaret.

Pihak manajemen DNET sebelum rights issue mengungkapkan, perseroan memang berniat mengalihkan bisnis dari sektor teknologi ke ritel dengan alasan bisnisnya cenderung stagnan. Meski, maknanya adalah perusahaan itu dijual ke Grup Salim.

Backdoor Listing Peter Sondakh di Saham BWPT

Salah satu aksi backdoor listing legendaris lainnya adalah aksi Peter Sondakh masuk ke PT BW Plantation Tbk. (BWPT). Skemanya, Peter Sondakh membeli 21,54 persen saham BWPT pada akhir 2014. Hingga secara bertahap kepemilikannya naik menjadi menjadi 65,5 persen setelah BWPT melakukan rights issue dan perusahaan Peter Sondakh sebagai pembeli siaganya.

Peter Sondakh pun mengubah nama BW Plantation menjadi PT Eagle High Plantation Tbk. Namun, hanya 5 bulan setelah menjadi pemegang saham pengendali mayoritas, Peter Sondakh melepas 30 persen sahamnya ke perusahaan BUMN Malaysia, Felda, melalui FIC Properties Sdn Bhd.

Aksi akuisisi BWPT oleh Peter Sondakh seolah membuka jalan untuk perusahaan BUMN Malaysia itu masuk ke bisnis perkebunan di Indonesia.

Di sisi lain, aksi korporasi itu justru berbuntut negatif untuk BWPT. Pasalnya, aksi korporasi itu ada unsur politis kedekatan Peter Sondakh dengan Najib Rajak.

Setelah itu, 37 persen kepemilikan Felda di BWPT benar-benar menjadi masalah antar negara. Pemerintah Malaysia menuntut pengembalian uang sekitar Rp6,99 triliun untuk akuisisi saham BWPT.

Hal itu disebut memungkinkan karena ada klausul put option di mana Malaysia bisa menjual kembali saham dengan biaya bunga 6 persen per tahun ditanggung oleh pihak Indonesia.

Namun, jika melihat kondisinya saat ini, Felda tidak sepenuhnya melepas saham BWPT. Toh, FIC Properties Sdn. Bhd masih menjadi pemegang saham 37 persen di BWPT.

Nasib Saham yang Backdoor Listing

Adapun, nasib saham yang melakukan backdoor listing rata-rata berujung tidak likuid, buruknya malah jadi memburuk. Seperti, dalam kasus RIMO dan PT Hanson International Tbk. (MYRX), dua saham itu malah makin terpuruk setelah di-backdoor listing oleh Benny Tjokro. Ditambah, sang bos malah terseret skandal Jiwasraya dan Asabri hingga kena hukuman penjara seumur hidup.

Lalu, saham lainnya seperti CMPP dan DNET cenderung tidak aktif. Untuk BWPT, kadang-kadang memang kerap melejit, tapi ya harga sahamnya juga tidak terlalu likuid.

Kenapa bisa begitu? ada beberapa alasannya, seperti rata-rata emiten yang di-backdoor listing adalah emiten yang kecil. Harga saham secara historis sebelum backdoor listing cenderung stagnan.

Sampai akhirnya, ketika rumor backdoor listing mengemuka, harga sahamnya melejit tidak karuan seperti yang terjadi di PANI. Alhasil, secara valuasi harga saham cenderung terlalu mahal dan minat untuk transaksi di sana sangat kecil.

Sejauh ini, salah satu backdoor listing yang paling sukses dalam 10 tahun terakhir itu DNET. Harga sahamnya tidak anjlok parah setelah backdoor listing, melainkan terus naik setiap tahunnya. Meski, sahamnya masuk dalam golongan yang kurang likuid juga.

Nah, pertanyaannya, apakah saham PANI bisa seperti DNET, apalagi sama-sama ada hubungan dengan Salim Grup atau malah seperti saham backdoor listing lainnya?