Alasan Benny Tjokrosaputro Pilih Cari Untung di Pasar Saham

Benny Tjokrosaputro kini lebih dikenal sebagai terdakwa kasus Jiwasraya. Namun, jauh sebelum itu, Benny adalah investor saham yang punya banyak pengikutnya. Kamu pernah punya kenangan dengan Benny Tjokro?

Alasan Benny Tjokrosaputro Pilih Cari Untung di Pasar Saham

Mikirduit – Benny Tjokrosaputro, sosok investor saham yang sangat dikenal cukup lama. Namun, namanya tenggelam sejak dijadikan terdakwa kasus Asuransi Jiwasraya. Jika kamu adalah investor pasar saham sejak lama, pasti akan merindukan sosok Benny Tjokro yang sering disebut Bentjok. Memang siapa dia sebenarnya?

Nama Benny Tjokrosaputro makin melejit setelah pada 2018, dia termasuk menjadi 50 orang terkaya di Indonesia. Bentjok disebut memiliki kekayaan sekitar Rp10 triliun dan menjadi orang terkaya ke-43 di Indonesia.

Sejak awal, Benny ini memang bukan orang sembarangan. Dia adalah cucu dari pendiri Batik Keris di Solo, yakni Kasom Tjokrosaputro.

Lalu, Benny memulai petualangannya di pasar saham sejak kuliah pada 1989. Dia investasi dengan uang jajannya saat itu yang sekitar puluhan juta. Saham pertama yang dibelinya adalah PT Bank Ficorinvest Tbk. Benny membelinya sejak perusahaan itu IPO. Setelah itu, Benny mengaku berburu saham IPO sangat sulit diperiode 1990-an. Bukan cuma sulit dapat jatah, bahkan untuk dapat formulir pengajuan pembelian saham IPO juga sulit karena habis terus. Salah satu IPO yang diincar Benny, tapi dia gagal dapat adalah PT United Tractors Tbk.

Namun, hobi Benny di saham ini sempat ditentang oleh ayahnya, Handoko Tjokrosaputro, generasi kedua Batik Keris. “Awalnya dia [ayah Benny] berpikir kalau saham itu judi. Akhirnya, saya dimarah-marahi. Tapi, abis itu dibiarkan, mungkin merasa anaknya punya bakat kali ya?” cerita Benny.

Melanjutkan Bisnis Keluarga

Sebagai bagian dari dinasti pemilik Batik Keris Group, Benny mengaku sempat dicoba oleh ayahnya ke beberapa sektor bisnis milik keluarganya tersebut. Benny pernah disuruh mengurusi Keris Gallery, sektor pertanian, dagang semen sampai ke Timor-timor (Timor Leste), bangun rumah, bikin pom bensin, hingga bebasin tanah. Sebenarnya, ayah Benny memberikan kesibukan kepada anaknya itu agar tidak fokus ke saham. "Namun, dasarnya doyan di saham, ya akhirnya saya dibiarkan bapak untuk investasi saham," cerita Benny.

Alasan Benny tetap menyukai saham meski sudah dikasih kesibukan adalah perhitungan keuntungan antara keduanya.

Benny menceritakan sederhananya gini. Kalau kerja normal sebagai pebisnis, ketika perusahaan tekstil setahun untung Rp10 miliar. Berarti, nanti tinggal diputuskan saja dividennya berapa mau Rp3 miliar atau Rp5 miliar terserah.

"Nah, enaknya pasar saham itu sifatnya multiplier effect. Misalnya, ada perusahaan dengan price to earning ratio 20 kali, artinya jika keuntungan Rp10 miliar, berarti nilai perusahaan menjadi Rp200 miliar. Jika jual 40 persen saham [IPO] sudah bisa dapat Rp80 miliar," ujarnya.

Jika tidak IPO, untuk dapat uang Rp80 miliar itu butuh waktu hingga 8 tahun, sedangkan di pasar saham bisa lebih cepat.

Dari sini, Benny memang beberapa kali melakukan backdoor listing dan IPO beberapa perusahaannya. Jika melihat dari catatan kami, Benny Tjokro telah membawa 1 perusahaannya IPO dan 2 backdoor listing.

Kisah Backdoor Listing MYRX

PT Hanson Internasional Tbk. (MYRX) ini adalah saham pesakitan. Awalnya, bisnis perusahaan yang sempat bernama PT Meyertex, makanya kode sahamnya MYRX, ini adalah tekstil. Namun, harga katun yang turun pada 2007 membuat MYRX beralih bisnis menjadi tambang batu bara. Apalagi, waktu itu komoditas batu bara lagi panas-panasnya.

Namun, MYRX berganti haluan bisnis lagi pada 2013 menjadi properti. Hal itu dilakukan setelah Benny Tjokro masuk sebagai pemegang saham MYRX pada 2012. Lalu, membuat MYRX melakukan rights issue senilai Rp4,59 triliun, yang mayoritas dananya digunakan untuk akuisisi PT Mandiri Mega Jaya, yang juga merupakan punya Benny Tjokro sendiri. Nilai transaksi akuisisi itu disebut Rp4 triliun.

MYRX pun berjalan menjadi perusahaan properti semestinya.Bahkan, saham MYRX sempat masuk indeks LQ45 pada periode 2016-2018.

Kini, komposisi pemegang saham MYRX tanpa ada pengendali. Porsi terbesar adalah publik sebesar 66 persen, Kejaksaan agung 22 persen, dan Asabri 10,48 persen.

Drama Backdoor Listing RIMO

Awalnya, RIMO adalah perusahaan yang bergerak di sektor ritel seperti PT Matahari Department Store Tbk. (LPPF). Namun, bisnis ritelnya tidak berjalan cukup baik sehingga pada 2015 RIMO berencana melakukan rights issue jumbo senilai Rp8 triliun yang sebagian dananya digunakan untuk akuisisi PT Hokindo Property. Ternyata, di sini Benny Tjokro sudah mulai masuk, dan Hokindo itu adalah perusahaan terafiliasi keluarganya Benny.

Namun, proses rights issue RIMO agak alot karena masuk pantauan regulator OJK. Hingga akhirnya, rights issue baru bisa dijalankan pada 2017 dengan nilai dana rights issue senilai Rp4,1 triliun.

Selaras dengan dimulainya rights issue RIMO, harga sahamnya juga perlahan naik. Bahkan, sempat ada yang melempar rumor saham RIMO bisa ke Rp1.000 per saham. Namun, harga saham RIMO mentok di Rp700-an per saham pada 27 Oktober 2017. Saat itulah, pesta pora saham RIMO berakhir hingga kini terjerembab ke Rp50 per saham setelah Benny menjadi terdakwa kasus Jiwasraya.

Saat ini, komposisi pemegang saham RIMO antara lain, sebanyak 78 persen oleh publik, dan pengendali Teddy Tjokrosaputro memegang 5,67 persen. Sisanya, Asabri 5,44 persen dan NBS Client 10,58 persen.

IPO Saham NUSA

Seharusnya, ada dua perusahaan milik Benny Tjokro yang IPO. Pertama, PT Sinergi Megah Internusa Tbk. (NUSA) dan kedua PT Harvest Time yang akhirnya batal IPO.

NUSA IPO pada 12 Juli 2018 dengan menghimpun dana sekitar Rp180 miliar. Di sini, Benny Tjokro adalah pemilik mayoritas dan pengendali saham tersebut. Menurut prospektus, Benny memiliki sekitar 99 persen saham NUSA sebelum IPO.

NUSA adalah emiten perhotelan yang mengelola Lafayette Boutique Hotel di Yogyakarta. Sebelum IPO, NUSA sempat akuisisi PT Mulia Manunggal Karsa yang memiliki aset tanah di Batam seluas 20 hektar. Rencananya, lahan itu akan dijadikan hunian eksklusif yang dilengkapi private pool dan mini holf, serta seluruh fasilitas penunjang. Nama hunian itu adalah Batam Bay.

Setelah IPO dengan harga penawaran Rp150 per saham pada Juli 2018, dalam 4 bulan harganya melejit ke Rp540 per saham atau naik 260 persen. Namun, setelah itu saham NUSA terus turun hingga mentok di Rp50 per saham.

Di sisi lain, komposisi kepemilikan saham NUSA saat ini, Bentjok yang pengendali tinggal 3 persen, sedangkan publik sebesar 80,71 persen.

Investasi Pembelian Saham

Adapun, selain ketiga saham itu, Benny Tjokro juga aktif membeli beberapa saham seperti, PT Marga Abhinaya Abadi Tbk. (MABA), PT Siwani Makmur Tbk. (SIMA), PT Andira Agro Tbk. (ANDI), PT Hensel Davest Indonesia Tbk. (HDIT), PT Hotel Mandarine Regency Tbk. (HOME), PT Sky Energy Indonesia Tbk. (JSKY), PT Kota Satu Properti Tbk. (SATU), dan PT Bliss Properti Indonesia Tbk. (POSA).

Mayoritas, saham yang dibeli Benny Tjokro ada kaitannya dengan sektor properti, termasuk perhotelan. Paling, ada beberapa saham yang di luar properti seperti, JSKY di sektor produsen panel surya, SIMA yang memiliki bisnis manufaktur kemasan, HDIT di teknologi, dan ANDI di sektor perkebunan kelapa sawit.

Hobi Melakukan Transaksi REPO

Dalam wawancara dengan Kontan.co.id pada Februari 2019, Benny Tjokro sempat mengungkapkan kalau dirinya sering melakukan repo.

💡
Repo atau repurchase agreement adalah transaksi gadai saham. Jadi, yang menggadaikan saham kepemilikannya bisa mendapatkan dana segar. Namun, transaksi repo juga ada jatuh temponya. Di mana, jika gagal bayar repo akan ada aksi jual paksa saham tersebut yang membuat harganya turun.

Benny menceritakan, Hanson itu punya investornya banyak sekali bisa lebih 10.000-an. Beberapa ada yang repo, ada juga yang trading harian, ada juga yang margin.

BACA JUGA: BEBS Gagal Bayar Repo, Begini Deretan Skandal Gadai Saham Lainnya

"Kalau ada transaksi besar, sampai nge-blok, itu biasanya repo. Kalau trading, biasannya volume kecil-kecil, tapi banyak. Saya ngomong apa adanya, saya memang sering melakukan Repo," ujarnya.

Benny menceritakan, dirinya bahkan sempat ditanya OJK kenapa kepemilikannya bisa berubah-ubah.

"Ya, saya jawab kalau sedang ngutang (REPO) ya porsi kepemilikannya turun, kan lagi saya jaminkan sahamnya. Lalu, yang ngutangin kan mau pegang sahamnya, otomatis di balik nama jadi atas nama pemberi utang. Ketika sudah saya lunasi, ya sahamnya jadi milik saya lagi. Hanya begitu saja, tidak ada yang aneh," ceritanya.

Setahun sebelumnya, Benny Tjokro juga buka-bukaan seperti dalam wawancaranya dengan CNBC Indonesia pada 1 Februari 2018 terkait volume transaksi RIMO dan MYRX yang sangat aktif.

Benny mengatakan transaksi yang dilakukannya kepada dua saham itu bukan transaksi jual-beli biasa, melainkan REPO.

Sengketa Saham Repo dengan Goldman Sach

Di sisi lain, dari hobi transaksi Repo-nya itu, Benny pernah bersitegang dengan Goldman Sachs pada 2017.

Semua bermula dari Benny sebagai direktur Newrick Holdings Ltd. mengaku pinjam uang senilai 7 juta dolar AS dari Platinum Partners asal AS pada Agustus 2014. Pinjaman itu menggunakan jaminan saham MYRX. Jatuh tempo pertama terjadi pada Agustus 2015.

Benny mengaku untuk proses utang pada tahun pertama tidak ada masalah. Namun, masalah muncul pada tahun kedua yang jatuh tempo pada Desember 2016.

Ternyata, Goldman Sach membeli 425 juta saham MYRX dari Platinum dalam 3 kali transaksi, yakni Februari 2015, Maret 2015, dan Desember 2015. Di sini, Goldman melakukan pembelian saham MYRX tanpa tahu masalah transaksi repo Newrick alias Benny dengan Platinum.

Masalah terjadi ketika Benny ingin melunasi utangnya kepada Platinum. Ternyata, sahamnya sudah ada di Goldman Sach. Ketika ingin ditagih sahamnya, Benny harus membeli dengan nominal harga pasar, sehingga totalnya naik menjadi 28 juta dolar AS. Padahal, utangnya cuma 7 juta dolar AS.

Kemudian, Benny  Tjokro menggugat Goldman Sach  karena mentransaksi saham MYRX miliknya yang digadai di Platinum. Akhirnya, Benny menuntut ganti rugi immaterial Rp15 triliun dan materil Rp320,87 miliar. Hasil sidangnya, Goldman Sach diminta bayar ganti rugi Rp320,87 miliar, sedangkan gugatan immaterial tidak digubris persidangan. Dalam kejadian ini, pihak Goldman Sach masih bingung, kenapa pihaknya yang tidak mengetahui adanya transaksi repo antara Platinum dengan Newrick malah jadi yang kena hukuman.

Berikut kisah perjalanan singkat Benny Tjokrosaputro sepanjang periode 2012 hingga 2019-an sebelum kasus Jiwasraya terungkap. Kami akan hadirkan serial Benny Tjokro lainnya setiap pekan selama beberapa pekan ke depan.  

Berikut ini series tentang Peter Lynch yang dibuat sejak Maret-Mei 2023:

Referensi