Adu Saham vs Obligasi Saat Suku Bunga Tinggi, Siapa yang Terbaik?

Obligasi dianggap instrumen yang menarik saat suku bunga tinggi. Pasalnya, akan ada banyak obligasi menarik dengan harga murah dan berpotensi naik jika suku bunga diturunkan. Pertanyaannya, jika dibandingkan dengan saham, mana yang menarik?

Adu Saham vs Obligasi Saat Suku Bunga Tinggi, Siapa yang Terbaik?

Mikirduit – Saat suku bunga tinggi, lebih menguntungkan mana, investasi saham atau obligasi negara? kami akan ulas secara lengkap di sini hingga strategi investasi konservatif dengan cuan optimal (bukan berarti besar banget). 

Sebelumnya, kami akan mengulas teori dasar hubungan antara suku bunga, obligasi, dan saham. Dalam obligasi ada tiga komponen, yakni kupon, harga, dan yield. 

Kupon itu adalah bunga yang diberikan kepada pemegang obligasi hingga tenor pinjaman selesai. Lalu, harga adalah nilai jual-beli obligasi di pasar sekunder, sedangkan yield adalah hitungan keuntungan yang didapatkan pemilik obligasi dengan membandingkan posisi harga beli dan jual serta tingkat kupon yang diberikan. 

Kupon obligasi sifatnya pasti, dengan ada beberapa skema, yakni fix rate (kupon pasti) hingga floating rate with the floor (bergerak sesuai dengan posisi suku bunga dengan batas minimal terendah). 

Lalu, harga obligasi bergerak sesuai dengan suku bunga acuan bank sentral.Jika, suku bunga diturunkan, harga obligasi akan naik. Soalnya, ada ekspektasi permintaan obligasi sebelumnya akan lebih banyak peminat karena ke depannya tingkat kupon obligasi terbaru bisa lebih rendah. Sebaliknya, saat suku bunga dinaikkan, harga obligasi turun karena ada ekspektasi tingkat kupon obligasi terbaru bisa lebih tinggi. Sehingga peminat obligasi yang lama lebih rendah.

Yield obligasi dipengaruhi dengan posisi harga obligasi. Jika harga obligasi naik, berarti tingkat yield obligasi akan turun. Soalnya, pembeli obligasi dengan harga yang sudah tinggi akan mendapatkan tingkat yield lebih rendah dibandingkan pembeli saat obligasi pertama kali diterbitkan. Lalu, jika harga obligasi turun, berarti tingkat yield obligasi akan naik karena pembelinya akan mendapatkan keuntungan dari penurunan harga obligasi ditambah tingkat kupon yang diberikan. 

Misalnya, BI menaikkan suku bunga acuan pertama kali pada Agustus 2022. Ekspektasi itu sudah muncul sejak awal tahun hingga akhirnya direalisasi, tingkat Indonesia bond yield naik 19,56 persen menjadi 7,62 persen dari Januari-Oktober 2022. 

Begitu juga, dari periode Juli 2023 hingga 8 Mei 2024, tingkat Indonesia bond yield naik 15,16 persen menjadi 7,07 persen. 

Artinya, saat suku bunga tinggi, harga obligasi akan turun dan tingkat yield obligasi juga naik sehingga bisa menjadi lebih menarik. Ibaratnya, jadi peluang beli obligasi di harga lebih murah hingga nanti suku bunga diturunkan. 

Sebenarnya hampir sama dengan kondisi obligasi, saat suku bunga tinggi, akan banyak saham yang mengalami penurunan harga. Alasannya, kenaikan suku bunga bisa menghambat laju pertumbuhan ekonomi yang berpotensi menekan kinerja keuangan emiten dalam jangka pendek. Namun, kondisi pasar saham akan bergerak lebih fluktuatif dibandingkan dengan obligasi karena tingkat risiko yang lebih tinggi. 

Dengan kondisi itu, obligasi yang memberikan tingkat kupon tetap dan dijual dengan harga murah jelas lebih menarik dibandingkan dengan saham yang berpotensi tertekan. Tapi, itu secara teori, bagaimana dengan hitungan realnya?

Saham vs SBN ritel vs FR

Untuk itu, kami akan membandingkan investasi saham vs SBN ritel (dalam hal ini ORI atau SR yang bisa diperdagangkan) vs FR (Fixed Rated alias SBN non-ritel) sejak 2022 hingga saat ini, kira-kira mana yang terbaik ya? 

Untuk saham, kami akan melakukan simulasi di 5 saham yang punya karakter dan skala market cap berbeda seperti, BBCA, TLKM, SMSM, AKRA, dan PTBA. Untuk saham, kami akan menghitung posisi beli dari harga terendah sepanjang 2022. 

Hasilnya, dari kelima saham itu, AKRA mencatatkan keuntungan akumulasi dividen tertinggi sebesar 182 persen, sedangkan TLKM menjadi satu-satunya yang mencatatkan kerugian meski sudah diakumulasikan dengan dividen sebesar 6,64 persen. 

Di sisi lain, untuk ORI dan FR, kami mengambil sample ORI022 dan FR0056. Untuk ORI memberikan tingkat kupon fix 5,95 persen per tahun. Asumsi, jika hold hingga saat ini (digenapkan menjadi 3 tahun) sudah mendapatkan keuntungan 17,85 persen. 

Sementara itu, jika baru membeli ORI ini sekarang, berarti tingkat keuntungan akumulasi dengan harga beli lebih rendah menjadi 6 persen. Adapun, jika baru beli saat ini di harga 98,25 persen, berarti tingkat yield to maturity yang jatuh tempo pada tahun depan sekitar 7,77 persen. 

Yield to maturity adalah tingkat keuntungan yang diekspektasikan jika beli obligasi di harga saat ini dan hold hingga jatuh tempo.

Kemudian, Untuk FR, kami pilih seri FR0102 yang memiliki tingkat kupon 6,87 persen dan harga beli di BCA per 8 Mei 2024 sekitar 99,75 persen. Dengan modal Rp5 miliar, berarti kita bisa mendapatkan pendapatan pasif bersih setelah pajak dari FR012 senilai Rp154,57 juta per 6 bulan. 

Sementara itu, untuk FR, kami membuat simulasi pembelian saat suku bunga tinggi untuk mendapatkan obligasi negara terbaik dengan harga murah. Salah satu yang menarik adalah FR0102 yang memiliki tingkat kupon 6,87 persen per tahun dan harga beli 99,75 persen per 8 Mei 2024.

Dengan tenor hingga 2054, tingkat yield to maturiy-nya sekitar 6,89 persen. Posisi ini cukup menarik karena ada potensi kenaikan harga obligasi yang signifikan (signifikan di obligasi itu gak meroket tinggi banget ya pali 10% udah kenceng banget) saat suku bunga diturunkan.  

Dengan begitu, kesimpulannya investasi saham memberikan keuntungan yang paling besar, tapi juga risiko kerugian. Di sisi lain, obligasi negara hanya memberikan keuntungan yang moderat sekitar 6-8 persen per tahun, tapi risiko kerugian sangat rendah untuk obligasi negara. Namun, obligasi tidak akan membuat nilai pokok investasimu turun dan mendapatkan keuntungan fix selama hold hingga tenor selesai. 

Dividend for Living vs Trading for Living, Mana yang Lebih Oke?
Hidup dari saham, memang bisa? ya bisa jika sudah ada modalnya. Nah, pertanyaannya lebih oke trading for living atau dividend for living?

Strategi Investasi Saham Tanpa Khawatir Nilai Pokok Investasi Tergerus

Jika punya Rp10 miliar, tapi profil risiko moderat, kami bisa berikan solusi cuan optimalnya dengan tingkat risiko rendah seperti minimal nilai pokok investasi tidak berkurang. Caranya adalah kombinasi investasi di obligasi negara dengan saham dividen, serta trading saham jika ingin mengisi waktu luang. 

Dengan dana Rp10 miliar, kami menyarankan untuk menempatkan dana di SBN ritel dan FR dibagi dua secara rata. (masing-masing Rp5 miliar)

Kenapa dibedakan menjadi SBN ritel dan FR? itu karena merunut strategi investasi yang akan digunakan nantinya. 

Nantinya, pendapatan pasif dari SBN ritel akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari, sedangkan pendapatan pasif dari FR digunakan untuk diinvestasikan lagi ke saham. 

Untuk SBN ritel, kami akan gunakan ST012 yang baru saja dirilis pemerintah dengan tingkat kupon 6,55 persen per tahun untuk tenor 4 tahun. Karakter kupon floating with the floor, tapi nggak perlu ekspektasi suku bunga naik lagi dan nggak usah khawatir bakal turun karena minimal kupon yang didapatkan 6,55 persen. 

Dengan modal Rp5 miliar, berarti pendapatan pasif per bulan yang akan diterima sekitar Rp24,56 juta per bulan. Untuk itu, pastikan seluruh pengeluaran bisa ditutupi dari pendapatan kupon SBN ritel tersebut. 

Kemudian, Untuk FR, kami pilih seri FR0102 yang memiliki tingkat kupon 6,87 persen dan harga beli di BCA per 8 Mei 2024 sekitar 99,75 persen. Dengan modal Rp5 miliar, berarti kita bisa mendapatkan pendapatan pasif bersih setelah pajak dari FR012 senilai Rp154,57 juta per 6 bulan. 

Dari modal Rp154,57 juta ini bisa diinvestasikan ke saham dividen dengan cara dollar cost averaging per 6 bulan sekali. Dengan modal itu, kamu bisa pilih konsentrasi minimal 2 saham hingga 5 saham. Lebih sedikit lebih bagus. 

Nantinya, setiap hasil dividen bisa jadi modal untuk reinvestasi lagi ke saham dividen tersebut. Sehingga, aset di saham dividen juga terus bertumbuh. Serta, kamu tidak perlu khawatir dengan penurunan nilai pokok aset investasi, karena kamu berinvestasi dari hasil keuntungan investasi lainnya. 

Jika ingin coba trading, kamu juga bisa sisihkan dari total pendapatan pasif di FR dalam setahun pertama sekitar Rp30,91 juta untuk trading. Kenapa modal trading kecil? agar tidak terjebak risiko psikologis euforia dan kepanikan saat ada fluktuasi market. 

Nantinya, modal untuk trading harus fix senilai Rp30,91 juta saja, tidak perlu ditambah di tahun selanjutnya. Lalu, hasil keuntungan dari trading bisa dioper ke saham investasi sehingga aset saham juga terus bertumbuh. 

Kenapa hasil keuntungan trading tidak digunakan untuk menambah modal trading? agar hasil tradinganmu berasa karena kalau diakumulasikan ke modal trading lagi ada risiko jika mengalami kerugian, keuntungan yang sudah didapatkan malah lenyap. 

Dengan cara ini, aset Rp10 miliar-mu akan tetap aman, dan kebutuhan bulanan bisa terpenuhi, serta investasi terus jalan dengan konsisten. Tantangannya, jika kamu punya Rp10 miliar, apakah kamu cukup dengan pengeluaran Rp24 juta per bulan? itu yang jadi tantangannya.

Mau dapat info saham dividen jumbo serta strategi investasi dan outlook publikasi bulanan?

Pas banget, Mikirduit baru saja meluncurkan Zinebook #Mikirdividen yang berisi review 20 saham dividen yang cocok untuk investasi jangka panjang lama banget.

Kalau kamu beli #Mikirdividen edisi pertama ini, kamu bisa mendapatkan:

  • Update review laporan keuangan hingga full year 2023-2024 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan
  • Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
  • Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
  • Siap mendapatkan dividen sebelum diumumkan (kami sudah buatkan estimasinya)
  • Publikasi eksklusif bulanan untuk update saham mikirdividen dan kondisi market

Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen dengan klik di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini