Strategi Menyiapkan Portofolio Saham untuk Investor Ritel ala Peter Lynch

Peter Lynch salah satu fund manager terkenal dan termasuk investor saham panutan sempat sharing soal strategi merancang portofolio saham di buku One Up on Wall Street. Kami mengulasnya dengan membuat lebih relevan dengan market di Indonesia.

peter lynch

Mikirduit – Peter Lynch bisa dibilang salah satu investor dunia yang dianggap punya strategi mencari saham turn-around, fast growing, hingga corporate action untuk mendapatkan multibagger (keuntungan lebih dari 1.000 persen). Lalu, bagaimana Peter Lynch mengatur portofolionya? kami ungkap strateginya di sini.

Highlight
  • Target keuntungan ideal dari saham menurut Peter Lynch adalah 15–20% per tahun, karena angka tersebut sudah mengalahkan imbal hasil obligasi negara dan reksa dana saham, meskipun mencapainya secara konsisten tidak mudah karena fluktuasi pasar.
  • Jumlah saham dalam portofolio investor ritel sebaiknya disesuaikan dengan pemahaman terhadap saham tersebut, di mana strategi konsentrasi cocok jika investor memahami mendalam, sedangkan diversifikasi cocok jika ingin meminimalkan risiko dengan membagi aset ke sektor berbeda.
  • Peter Lynch mengelompokkan saham menjadi tiga tipe utama—slow growth, cyclical, dan multibagger—yang masing-masing memiliki profil risiko dan potensi cuan berbeda, dan disarankan untuk memilih dari sektor yang tidak saling berkorelasi agar diversifikasi benar-benar efektif.
  • Untuk diskusi saham secara lengkap, pilihan saham bulanan, dan insight komprehensif untuk member, kamu bisa join di Mikirsaham dengan klik link di sini

Tulisan ini kami kutip (dengan narasi yang disesuaikan dengan kondisi pasar saham di Indonesia) dari buku One Up on Wall Street yang ditulis oleh Peter Lynch. Dalam bab ke-16 ada materi terkait Merancang Portofolio.

Sebelum membahas saham pilihan, ada dua pertanyaan mendasar:

  • Berapa target keuntungan dari saham yang ideal?
  • Berapa saham yang sebaiknya dimiliki oleh ritel (yang modalnya tidak sebesar fund manager)?

Untuk bahasan pertama, jika membahas saat ini banyak investor yang ingin memburu keuntungan dari saham backdoor listing dengan harapan bisa untung sebesar-besarnya dengan cepat. Bahkan, menilai dalam satu tahun bisa cuan 1.000-an persen itu lebih baik daripada masuk ke saham big bank yang saat ini kondisinya angot-angotan.

Kondisi ini membuat ekspektasi keuntungan di saham meningkat. Apalagi, banyak influencer yang memberikan fear terkait risiko inflasi yang besar sehingga audience-nya terpacu mencari saham backdoor listing agar cuan besar dan mengalahkan inflasi.

Namun, investor harus memahami, keuntungan signifikan dari backdoor listing tidak bisa didapatkan secara rutin. Bahkan, backdoor listing yang benar-benar memberikan keuntungan optimal dengan bisnis yang nyata dalam 5 tahun terakhir hanya PANI dan PACK. Adapun, untuk PACK masih proses pemindahan aset yang belum kunjung terjadi.

Sisanya, saham mencatatkan kenaikan tinggi tanpa memiliki underlying yang jelas. Tapi, kan yang penting cuan? Jika kamu hanya melihat angka persentase mungkin bisa berpendapat seperti itu, tapi karena ekspektasi tinggi banyak juga yang nyangkut di saham-saham corporate action tersebut.

Sebut saja dalam beberapa waktu terakhir saham backdoor listing seperti KARW, FORU, LABA, FUTR, dan lainnya telah mengalami fluktuasi harga saham yang sangat tinggi. Hingga dari pucuk menjadi floating loss. Kami pernah merasakan cuan hampir 150 persen di LABA, tapi juga merasakan floating loss di FUTR karena tidak ekspektasi ultimate beneficial owner-nya meninggal.

Artinya, meski kita bisa dapat 1.000 persen tahun ini, tapi belum tentu tahun selanjutnya bisa cuan serupa. Sehingga jika ditarik dalam jangka panjang, rata-rata keuntungan pun tidak akan konsisten di atas 100 persen. Jadi, berapa keuntungan dari saham yang ideal?

Ini mengacu dari buku Peter Lynch yang diterbitkan pada medio 1980-an akhir. Untuk menentukan keuntungan ideal dari saham bisa menggunakan beberapa indikator seperti:

  • Total keuntungan dari saham harus di atas dari keuntungan dari obligasi negara yang dianggap instrumen bebas risiko. (ada risiko fluktuasi harga di pasar sekunder tapi cenderung rendah)
  • Bisa mendapatkan keuntungan lebih besar dari kinerja reksa dana saham. 

Dalam pengandaian Peter Lynch, rata-rata keuntungan dari obligasi sekitar 6-7 persen per tahun, sedangkan fund manager di reksa dana sekitar 10 persen tahun. Artinya, jika kita mendapatkan keuntungan 15 persen per tahun itu sudah angka yang optimal. 

Tapi, bukannya mudah mendapatkan 15 persen per tahun? bisa dari dividend yield sudah bisa untung banyak? Yaps, dalam periode satu tahun terlihat mudah, tapi untuk menjaganya tetap konsisten 15 persen itu yang menjadi sulit. Pasalnya, dinamika kondisi market yang terus berubah juga berdampak dengan strategi saham yang digunakan.

Kami (Mikirduit bukan Peter Lynch) pernah mengalami beberapa era dari periode bullish 2018-2019 saat suku bunga The Fed mulai diturunkan, 2020 ketika tiba-tiba market crash karena Covid-19, 2021-2022 periode booming saham setelah market crash, akhir 2022 - awal 2024 ketika pasar saham mulai sideways karena suku bunga sangat tinggi dan ekonomi melambat, hingga 2024-2025 ketika pasar saham mulai bearish karena ekonomi melambat dan berbagai sentimen geopolitik serta efek dari kebijakan ekonomi saat covid-19 sebelumnya.

Dalam periode itu, seorang investor harus mengatur strategi investasinya agar bisa menjaga porsi cuannya terjaga. Contohnya, saham batu bara memang memberikan keuntungan dividen yang menarik, terutama saat booming harga komoditasnya pada 2022. Namun, jangan bayangkan bagaimana nasib saham batu bara pada 2015-2017 saat harganya rendah. Harga saham turun, laba turun bahkan ada yang merugi, bagi dividen pun sulit.

Begitu juga yang paling nyata, saham bank yang meroket pada 2020-2024 karena suku bunga rendah dan proses transisi ke suku bunga tinggi membuat tingkat margin keuntungannya bagus. Namun, saat suku bunga bank sentral mentok di atas, ekonomi mulai melambat, bank harus mengeluarkan cost of fund lebih tinggi hingga anggaran pencadangan lebih besar karena ada risiko ekonomi yang mempengaruhi kualitas kredit. 

Akhirnya, harga saham big bank yang berjaya pada awal 2024, tiba-tiba harus runtuh di 2025. Kami pun sempat merasakan hold saham BBRI dari akhir 2021 hingga awal 2024 itu bisa cuan hampir 70 persen, tapi sebagian aset ternyata terlambat dijual karena tidak menyangka penurunan yang terjadi cukup cepat membuat posisi take profit-nya menjadi tipis hanya 5-10 persen. 

Target 15 persen atau bisa dinaikkan hingga 20 persen per tahun ini memang terlihat mudah jika dicapai dalam 1 tahun yang kita sudah memahami pola pergerakan pasar sahamnya. Namun, akan sulit jika ditarik dalam jangka panjang yang mana harus mengatur strategi menyesuaikan dengan dinamika pasar dan makro ekonomi.

Berapa Jumlah Saham yang Harus Dimiliki Seorang Ritel

Dengan target keuntungan 15-20 persen, berapa saham yang harus dimiliki seorang investor ritel?

Dalam bukunya, Peter Lynch mengatakan ada perdebatan panjang antara dua mahzab dari Gerald Loeb yang pro portofolio terkonsentrasi, serta Andrew Tobia yang pro portofolio terdiversifikasi, Jadi, yang mana yang terbaik?

Keduanya sama baiknya, tapi akan tergantung apa saham yang kamu pilih. Jika kamu sudah menganalisis lebih detail terkait sebuah saham, hingga berkomunikasi dengan direksi, memahami model bisnis dan risiko-nya, serta melihat likuiditas saham-nya juga bagus. Apalagi, mendapatkan bocoran momentum seperti aksi akuisisi dan sebagainya, kamu bisa masuk hanya di satu saham tersebut untuk mendapatkan keuntungan optimal.

Namun, jika kamu belum mengetahui detail perusahaannya dan masuk berdasarkan harga saham lagi naik berarti sahamnya bagus dan all in di satu saham tersebut, berarti kamu lagi mau sedekah ke bandar-nya dalam jumlah besar.

Lalu, diversifikasi mungkin akan terlihat bagus dengan teori jika masuk ke 20 saham dan 15 saham cuan besar, sedangkan 5 saham rugi berarti total masih cuan banyak. Namun, hal itu akan tergantung juga dengan bagaimana strategi diversifikasimu.

Diversifikasi portofolio berarti kamu membagi porsi aset saham yang tidak memiliki korelasi secara langsung. Misalnya, diversifikasi ke saham banking, komoditas, dan teknologi. Alasannya, banking masih menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, Komoditas menjadi sektor andalan Indonesia, dan Teknologi yang selalu berubah kerap memberikan kejutan dan inovasi sehingga volatilitas sahamnya lebih tinggi. 

Namun, diversifikasi akan menjadi buruk jika kamu menginvestasikan ke beberapa saham yang memiliki korelasi misalnya, beli 10 saham bank dari bank besar sampai kecil. Artinya, saat suku bunga lagi tinggi, aset-mu bakal mengalami loss semua alias tidak ada yang menang. Pasalnya, pembeliannya hanya mendiversifikasi nama saham bukan bisnisnya.

Peter Lynch membagi beberapa jenis saham untuk dikategorikan sebagai diversifikasi aset:

Pertama, saham slow growth. Biasanya saham-saham ini perusahaannya sudah dianggap matang. Pertumbuhan bisnisnya tipis-tipis, tapi risiko penurunan bisnis juga rendah. Harga sahamnya bergerak lambat, tapi tidak berfluktuasi lebih tinggi. Lynch memberikan contoh saham consumer goods hingga ritel, jika di Indonesia mungkin seperti ICBP, MYOR, ULTJ, SIDO, ACES dan lainnya. (UNVR tidak termasuk ya karena ada risiko fundamental yang belum terpecahkan dari sisi manajemen sehingga tren kinerja bisnis terus mengalami penurunan). 

Untuk saham slow grower ini dinilai memiliki risk-reward yang lebih menguntungkan reward-nya meski geraknya lambat. Misalnya, jika kinerja saham ini kembali bertumbuh, mungkin bisa untung hingga 20 persen (dari harga saham), tapi jika ternyata belum bisa tumbuh bisa koreksi hingga 8-10 persen. (Dengan asumsi pembelian di harga yang sudah murah)

Kedua, saya cyclical seperti di komoditas. Saham ini dinilai bisa memberikan keuntungan yang besar dengan risiko rendah jika masuk saat di siklus terendahnya. Misalnya, beli saham batu bara saat harga komoditas di bawah 100 dolar AS per ton, atau saham nikel saat harga komoditas  di bawah 15.000 dolar AS per ton. Dalam hal ini keuntungan yang didapatkan bisa 100 persen jika mulai masuk siklus puncak, dengan risiko kerugian 10-20 persen jika mulai beli di siklus terendahnya. Namun, ada risiko bisa hold dalam periode yang panjang (Dalam kondisi saat ini kami menilai butuh toleransi hold hingga 2 tahun sebagai skenario terburuk)

Ketiga, saham multibagger berasal dari saham-saham fast-growing, turnaround (kinerja pulih), hingga aksi korporasi (backdoor listing). Ini yang lagi menjadi primadona saat ini. Namun, Lynch mengingatkan saham ini memang memberikan potensi keuntungan yang luar biasa, tapi juga kerugian yang dalam (karena skema circuit breaker di Indonesia dan Amerika Serikat berbeda).

Lynch mencontohkan, dia membeli saham Chrysler yang diprediksi bakal mengalami turnaround dan diperkirakan harga sahamnya bisa naik hingga 400 persen. Namun, ternyata semuanya tidak berjalan balik dan Lynch malah rugi 100 persen. 

Risiko dari saham kategori ini adalah potensi keuntungan dan risikonya sulit diukur. Pasalnya, banyak yang tidak pasti. Apalagi, perkembangan media komunikasi saat ini membuat banyak informasi bias. 

Seperti, rumor saham PANI mau right issue dengan harga pelaksanaan Rp20.000 per saham. Saat rumor itu disebarkan, orang yang ngiler dengan cuan PANI langsung ingin masuk dengan ekspektasi harga sahamnya bisa meroket ke Rp20.000. Padahal, saat itu harga saham PANI sudah di Rp16.000 sehingga potensi upsidenya terbatas hanya tersisa 25 persen dengan risiko yang jauh lebih besar 35-40 persen.

BTN Syariah Siap Spin-off, Industri Bank Syariah Berpotensi Meroket?
Salah satu story kuat dari saham BBTN adalah rencana spin-off unit usaha syariah menjadi BTN Syariah. Hal itu sudah dilakukan dengan akuisisi Bank Victoria Syariah. Dengan begini, akan ada satu bank syariah besar yang menandingi BRIS. Lalu, bagaimana prospek lanskap bank syariah di Indonesia?

Kesimpulan

Jadi, dalam strategi menargetkan keuntungan di saham secara konsisten bisa cukup 15-20 persen per tahun. Jika dikasih lebih dalam periode tertentu bisa jadi itu adalah bayaran untuk menghadapi potensi risiko di masa depan. 

Lalu, strategi yang tepat untuk atur portofolio saham bisa dengan konsentrasi jika memang kita sudah mendapatkan info pendukung prospek kinerja atau diversifikasi untuk membagi risiko untuk kamu yang konservatif atau moderat.

Untuk di Indonesia, jika ingin diversifikasi saham investasi (periode hold hingga lebih 2 tahun) bisa fokus di saham keuangan (banking) dan komoditas. Satu sektor tambahan yang bisa dipilih bisa consumer goods (termasuk ritel), teknologi, atau transportasi. Sisanya, seperti industri, infrastruktur, kesehatan, properti dan lainnya bisa dipilih jika sudah ada analisis matang dengan potensinya. 

Selain lewat sektor, kamu juga bisa mengatur portofolio saham sesuai dengan karakter saham, yakni slow growth, cyclical, atau multibagger. Disarankan, meski memilih dengan karakter tersebut, kamu tetap harus membedakan sektor yang dipilih untuk membuat diversifikasinya menjadi lebih sempurna.

Mau Belajar sambil Praktek Langsung Investasi Saham Bersama Ahlinya?

Join mikirsaham untuk mendapatkan detail plan investasi saham. Kamu juga bisa diskusi saham real-time, insight saham yang menarik, hingga pilihan saham bulanan. Mau dapat list lengkapnya sekaligus konsultasi dengan Mikirduit? yuk join Mikirsaham sekarang juga dengan klik di sini dan dapatkan semua benefit ini:

  • Pilihan saham dividen, value, growth, dan contrarian
  • Kamu bisa tanya lebih detail alasan pemilihan saham tersebut
  • Curhat soal kondisi porto-mu
  • Update perkembangan market secara real-time
  • Konfirmasi isu yang kamu dapatkan dan impact-nya ke saham terkait

Semua itu bisa didapatkan dengan gabung Mikirsaham, Join sekarang dengan klik di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini

💡
Mau Fitur Propicks AI untuk Mendapatkan Stockpick Saham AS yang Menarik, serta data harga wajar saham di Indonesia hingga AS, kamu bisa dapatkan semua itu klik link di sini