Strategi Investasi Terbaik, Market Timing vs Buy and Hold?
Mana strategi investasi terbaik? market timing, yakni beli di harga bawah jual di harga tinggi atau beli dan hold? simak hasil risetnya di sini.
Mikirduit – Secara logika, jika beli saham di harga rendah dan jual di harga tinggi, lalu masuk lagi di harga rendah dan kembali jual lagi di harga tinggi dinilai akan lebih menguntungkan dibandingkan beli dan hold. Namun, faktanya apakah benar seperti itu? berikut hasil riset yang meneliti perbandingan dua hal tersebut.
Ada dua metode investasi yang paling sering digunakan oleh banyak investor, baik ritel maupun fund manager, yakni market timing dan buy and hold.
Market timing adalah strategi investasi di mana menunggu harga saham berada di posisi murah dan menjualnya saat harga sudah tinggi. Ini menjadi strategi yang terlihat mengutungkan karena potensi mendapatkan keuntungan bisa sangat besar jika bisa masuk dan keluar di waktu yang tepat.
Lalu, buy and hold adalah strategi investasi yang hanya melakukan pembelian dan hold dalam jangka panjang. Jika market timing bersifat investasi aktif,sedangkan buy and hold bersifat pasif.
Lalu, dari kedua strategi ini, mana yang lebih menguntungkan?
Market Timing vs Buy and Hold, Mana yang Lebih Menguntungkan?
Pusat penelitian keuangan Schwab melakukan penelitian simulasi terkait kinerja lima investor jangka panjang selama 20 tahun. Jadi, setiap investor diberikan modal 2.000 dolar AS setiap awal tahun sejak 2002 hingga 2022. Begini skema detailnya:
Investor pertama dinamakan Peter Perfect yang menggunakan skema market timing paling sempurna. Jadi, investor pertama ini akan membeli saham setiap berada di titik terrendah. Jadi, Peter hanya akan mulai investasi jika waktunya tepat. Seperti, sejak menerima uang 2.000 dolar AS di akhir 2022, dia baru berinvestasi pada 11 Maret 2023. Waktu itu, posisi indeks S&P 500 memang lagi rendah juga.
Investor kedua dinamakan Ashley Action. Strategi investor kedua sangat sederhana, yakni dia berinvestasi 2.000 dolar AS pada hari perdagangan pertama di tahun tersebut.
Investor ketiga bernama Matthew Monthly. Dia membagi jatah 2.000 dolar AS menjadi 12 bagian yang sama. Lalu, dia menggunakan strategi dollar cost averaging, yakni investasi dengan nominal modal yang sama setiap bulannya.
Investor keempat dinamakan Rosie Rotten. Dia menjadi tipe yang memiliki waktu investasi terburuk karena selalu membeli di harga tinggi. Misalnya, dia baru investasi 2.000 dolar AS saat indeks S&P 500 berada di level tertingginya pada 31 Desember 2003.
Investor kelima bernama Larry Linger. Karakter investor kelima ini adalah melakukan investasi di obligasi negara. Alasannya, Larry selalu takut masuk ke saham karena merasa harga saham masih bisa turun lebih rendah lagi. Akhirnya, seluruh asetnya berada di obligasi.
Sesuai logika, Peter yang menggunakan market timing mencatatkan keuntungan terbesar, yakni 245 persen selama 20 tahun.
Meski begitu, hasil penelitian ini juga menunjukkan fakta menarik, yakni strategi buy and hold tanpa memikirikan harga seperti yang dilakukan Ashley dan Matthew juga mencatatkan kenaikan di atas 200 persen, yakni 218 persen dan 210 persen. Bahkan, hasil yang dimiliki Rossie, investor yang berinvestasi di waktu terburuk juga mencatatkan hasil yang lumayan, yakni 180 persen. Sementara, Larry yang menunda investasi mencatatkan keuntungan terendah, yakni 9,87 persen dalam 20 tahun.
Dengan begitu, strategi buy and hold menjadi pilihan terbaik dibandingkan dengan market timing. Kenapa? bukannya market timing punya peluang kenaikan paling tinggi?
Yaps, peluang kenaikannya memang paling tinggi, tapi simulasi penelitian itu menggunakan data yang sudah tersedia. Sementara itu, realita dalam menggunakan strategi market timing cukup sulit memperkirakan market di bottom hingga bisa membeli di harga terbaik.
Alih-alih bisa beli saham di harga murah, malah nanti bisa seperti Larry Linger yang terus menunda-nunda transaksi karena menunggu harga saham murah. Bisa juga, saat sudah masuk di harga yang dianggap terbaik, ternyata turun lagi, membuat psikologis terpengaruh dan memutuskan cut loss dan sebagainya.
Jadi, dari segi risk to reward, strategi buy and hold dengan skema Ashley atau Matthew menarik. Dengan catatan, skema buy and hold ini membutuhkan analisis saham yang punya prospek bisnis bagus, fundamental oke, saham likuid, dan timeframe jangka panjang sekitar 10-20 tahun.
Dollar Cost Averaging Sebagai Solusi Strategi Investasi Paling Sederhana
Selain membandingkan strategi investasi market timing vs buy and hold, lembaga riset keuangan Schwab juga merekomendasikan strategi dollar cost averaging sebagai pilihan investasi yang tepat untuk investor yang tidak memiliki kesempatan melakukan investasi dengan strategi lump sum. Seperti, pekerja yang bisa investasi dari menyisihkan penghasilan bulanan dan sebagainya.
Alasan dollar cost averaging menjadi strategi investasi terbaik antara lain:
Pertama, mencegah penundaan investasi. Jika ingin mengumpulkan dananya terlebih dulu hingga besar, berarti ada potensi waktu menunggu investasi yang terbuang. Dalam proses menunggu waktu investasi itu biaya yang tersembunyi, seperti tren kenaikan harga yang dilewati sehingga saat mulai lump sum, harga saham sudah tinggi.
Kedua, meminimalkan penyesalan. Salah satu risiko dari market timing adalah penyesalan. Ibarat melakukan trading saham, seorang trader akan diuji psikologisnya saat membeli saham di waktu yang salah. Jika psikologis seorang trader yang sering melakukan market timing kacau setelah membeli saham di waktu salah, itu bisa mengacaukan trading plan-nya. Penyebabnya, bisa jadi ada niat ingin balas dendam untuk menutupi kesalahannya tersebut.
Ketiga, tak perlu pusing memikirikan waktu beli terbaik. Dengan dollar cost averaging, yakni investasi setiap bulan dengan nominal modal yang sama, investor tidak perlu pusing memikirikan apakah waktu beli terbaik. Soalnya, alokasi pembelian akan disesuaikan dengan posisi harga, sehingga harga rata-rata yang dimiliki akan berada di posisi bagus, meski bukan yang terbaik.
Kesimpulan
Strategi buy and hold dan dollar cost averaging menjadi pilihan terbaik karena investor tidak perlu khawatir posisi belinya yang terbaik atau tidak. Soalnya, tingkat kekhawatiran atau ambisi membeli saham di posisi murah terkadang membuat strategi investasi yang dibuat dikacaukan oleh emosi.
Sehingga, peluang keuntungan dari strategi buy and hold dan dollar cost averaging bakal lebih oke dari segi effort yang dikeluarkan untuk menentukan waktu beli dan potensi keuntungan.
Nah, kamu mau mulai investasi buy and hold dan dollar cost averaging di saham dividen? yuk ikuti step di bawah ini.
Musim Bagi Dividen Nih, Mau Tau Saham Dividen yang Oke dan Bisa Diskusi serta Tau Strategi Investasi yang Tepat?
Yuk join Mikirdividen, masih ada promo Berkah Ramadan hingga Rp200.000. Berikut ini benefit yang akan kamu dapatkan:
- Update review laporan keuangan hingga full year 2023-2024 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan (HINGGA Maret 2025)
- Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
- Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
- Siap mendapatkan dividen sebelum diumumkan (kami sudah buatkan estimasinya)
- Publikasi eksklusif bulanan untuk update saham mikirdividen dan kondisi market
Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen dengan klik di sini
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini