Semangat De-dolarisasi, Begini Efeknya ke Investasi Dolar AS

Jika banyak negara semangat de-dolarisasi, gimana efeknya dengan dolar AS ya? apakah investasi dolar AS akan tetap menarik? baca penjelasannya di sini.

Semangat De-dolarisasi, Begini Efeknya ke Investasi Dolar AS

Mikir Duit – Pergerakan mata uang dolar AS yang dinilai punya kecenderungan selalu menguat membuat banyak juga tertarik investasi dengan mengendapkan mata uang Amerika Serikat tersebut. Namun, kini banyak negara ingin meninggalkan dolar AS, apakah investasi dolar AS masih menarik?

Ada beberapa jenis investasi dalam dolar AS yang bisa dilakukan masyarakat biasa seperti kita, yakni investasi menukar rupiah ke dolar AS dan disimpan dalam jangka lama, investasi di saham Amerika Serikat dalam dolar AS, investasi di exchange traded fund (ETF) di AS, hingga investasi reksa dana berbasis dolar AS. Terakhir yang paling konservatif, deposito dalam dolar AS di bank di Indonesia. [saya mengecualikan trading forex karena itu tidak bersifat investasi, melainkan trading yang mainnya sangat cepat]

Dalam konteks kali ini, saya akan menceritakan tentang investasi menukar rupiah ke dolar AS untuk disimpan dalam jangka lama. Soalnya, saya sering mendapatkan pertanyaan, mending investasi dolar AS saja apa ya kalau rupiah melemah terus? di sini akan diulas seberapa menarik investasi dolar AS dalam bentuk mata uang ya.

Investasi Uang dolar AS

Investasi uang dolar AS yang dilakukan di sini adalah dengan menukar mata uang rupiah yang kita miliki dengan dolar AS. Harapannya, di masa depan nilai dolar AS terus menguat sehingga kita bisa mengambil keuntungan selisih jual dan beli. Namun, apakah benar begitu?

Jika melihat dalam 5 tahun terakhir, rupiah hanya melemah 5,14 persen menjadi Rp14.678 per dolar AS. Namun, jika kamu pegang dolar AS dengan nilai tukar Rp13.960 per dolar AS pada 5 tahun lalu, dan menjual ketika pandemi Covid-19 periode awal di Maret 2020, bisa untung 18 persen sih. Sayangnya, kalau telat jual yang turun lagi. Bahkan, ada risiko rugi, karena rupiah sempat menguat hingga Rp13.583 per dolar AS pada Januari 2020.

Dengan sekilas melihat fakta ini, apakah kamu tertarik investasi dolar AS? jujur, kalau saya sendiri sangat tidak tertarik. Alasannya, pergerakan mata uang fluktuasinya sangat tinggi, serta dolar AS adalah mata uang yang paling tidak menarik di dunia. Kasarnya, risiko kerugian besar untuk potensi keuntungan yang tidak seberapa.

Apalagi, dolar AS sudah menjadi mata uang yang tidak menarik, meski saat ini posisinya masih dominan di dunia. Alasannya, karena dolar AS sebagai mata uang dominan di dunia sudah tidak dijamin oleh emas sejak 1970-an. Hasilnya, regulator di AS bisa saja melakukan pencetakan uang tanpa mempersiapkan jaminan emas jika dibutuhkan. Artinya, pasokan dolar AS bisa makin tak terbatas, tapi nilainya tetap terjaga karena permintaan yang tinggi dari kebiasaan transaksi dunia menggunakan dolar AS.

Buktinya, indeks dolar AS yang merupakan gambaran kekuatan dolar AS dibandingkan dengan mata uang beberapa negara dominan lainnya cenderung stagnan dan berputar-putar di situ saja. Pergerakan indeks dolar AS paling tinggi terjadi ketika Amerika Serikat (AS) baru melewati double dip recession pada awal 1980-an. Waktu itu, indeks dolar AS melejit hingga 159, sangat tinggi dibandingkan rata-rata setelahnya cuma sekitar di 90-100.

Belum lagi, ada beberapa faktor eksternal yang membuat investasi dolar AS tidak menarik. Seperti, kalau simpan di tabungan bank biasanya bunga simpanannya sangat kecil, tapi kalau mau simpan di deposito rata-rata minimal 1.000 dolar AS atau setara dengan Rp14 juta. Di sisi lain, kalau simpan fisik sendiri di rumah ada risiko rusak, terlipat, hingga serinya berganti dengan cepat di mana semua faktor itu bisa menurunkan nilai dolar AS dibandingkan dengan harga pasarnya.

Untuk itu, saya paling ogah untuk investasi dolar AS. Soalnya, tidak memiliki daya tarik yang kuat.

Tren Dedolarisasi terhadap Daya Tarik dolar AS

Sejak pemerintah AS memutuskan kalau dolar AS tidak lagi dijamin oleh emas, dari situ muncul banyak kritik karena efeknya bisa menganggu ekonomi dunia. Terburuknya, bisa membuat daya tarik dolar AS memudar.

Sebelumnya, saya sempat cerita tentang kebijakan pemerintah AS tidak mau menjamin dolar AS dengan emas lagi membuat banyak krisis keuangan terjadi setelahnya, seperti stagflasi 1970-an, resesi 1980-an, crash market akhir 1980-an, krisis mata uang Asia Timur 1997, bubble dotcom 2000, hingga The Great Recession karena subprime mortgage 2008. Hal itu terjadi karena pasokan dolar AS terus bertambah demi menyelamatkan ekonomi sang negara adidaya.

Puncaknya mulai terjadi ketidakpercayaan dan tertarik penggunaan dolar AS. Misalnya, dari cerita Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan yang mau betransaksi tanpa perlu menggunakan dolar AS. Begitu juga di ASEAN, Indonesia sudah mempelopori transaksi perdagangan tanpa perlu menggunakan dolar AS, jadi langsung menggunakan mata uang lokal masing-masing.

Teranyar, Indonesia meneken kerja sama untuk bertransaksi dengan mata uang lokal masing-masing bersama Korea Selatan.

Apa keuntungan dari kebijakan ini? salah satunya adalah efisien dalam biaya selisih nilai tukar lokal dengan dolar AS. Bayangkan, kalau transaksi dengan dolar AS berarti ada beberapa kali konversi dalam periode waktu. Hal itu pun membuat bisa lebih untung kalau selisihnya positif, tapi rugi kalau ternyata selisihnya negatif.

Efek dari Dedolarisasi Terhadap Daya Tarik Investasi Dolar AS

Salah satu cerita terupdate [yang sebenarnya siklus tahunan] adalah AS terancam gagal bayar utang karena kehabisan uang tunai. Di sini, pemerintah AS akan meminta ke kongres (DPR-nya di sana) untuk menaikkan batas atas plafon utangnya.

Di sini, ketika AS sudah dapat persetujuan untuk menaikkan batas atas plafon kreditnya, berarti pemerintah Negeri Paman Sam bakal mulai meminjam uang dari berbagai pihak lewat surat berharga alias surat utang negara. Pihak-pihak itu antara lain, investor domestik, investasi asing (Terutama kerajaan di Timur Tengah), lembaga keuangan besar di AS, hingga Federal Reserve (The Fed) alias bank sentral AS.

Khusus dari The Fed, mereka bisa bantu pemerintah dengan membeli surat berharga negara yang diterbitkan. Dengan begitu, pemerintah bisa dapat dana segar dari The Fed. Dalam hal ini, The Fed akan ‘mencetak uang’ secara tidak langsung karena menambah peredaran uang di AS. Namun, untuk dana dari The Fed tidak bisa sembarangan karena aksi itu dilakukan jika arah kebijakannya adalah pelonggaran moneter yang disebut quantitative easing (QE).

Nah, menariknya ketika dedolarisasi makin kuat, artinya permintaan penggunaan dolar AS menurun. Hal itu bisa membuat daya tarik investor asing untuk beli surat berharga AS juga lesu. Artinya, AS butuh cara lain untuk bisa memperkuat uang tunainya, salah satunya lewat kebijakan longgar The Fed. Namun, kebijakan longgar The Fed juga tidak bisa lama-lama karena bisa memicu inflasi.

Artinya, jika dedolarisasi menguat ke seluru dunia, berarti ekonomi AS sang negara adidaya bisa carut marut. Masalahnya, ketika ekonomi AS carut marut bakal berefek kepada pasar sahamnya, di mana banyak lembaga keuangan dunia investasi di sana. Jika pasar saham AS anjlok, itu bisa memberikan efek sistemik ke banyak masalah keuangan dunia.

Untuk itu, saya prediksi semangat dedolarisasi ini cenderung terbatas. Alasannya, ya untuk menjaga masing-masing aset tetap aman.

Kesimpulan

Kalau begitu investasi dolar  AS menarik nggak nih? jawabannya tetap tidak menarik. Soalnya, fluktuasi sangat tinggi untuk potensi keuntungan yang tidak terlalu besar juga. Ingat, pergerakan mata uang dikendalikan oleh bank sentral. Sehingga tarik-menariknya bisa jadi sangat cepat dan terarah dengan potensi keuntungan yang rendah.

Ingat, pergerakan mata uang yang terbaik bukanlah rupiah kembali ke Rp2.000 per dolar AS, melainkan rupiah yang bisa selalu bertahan di Rp14.000 per dolar AS. Kenapa? dengan rupiah yang stabil, ekonomi bisa tumbuh lebih stabil juga. Bayangkan, kalau hari ini di Rp2.000, besok di Rp15.000. dan luas balik ke Rp2.000? itu pusing para eksportir dan importir buat atur rencana bisnisnya.

Daripada investasi dolar AS, kita bisa diversifikasi ke investasi berbasis dolar AS seperti reksa dana yang tersedia di Indonesia. Menjajal saham atau ETF AS juga bisa, tapi mayoritas platform di Indonesia sifatnya contract for difference (CFD), jadi kita belinya produk derivatif bukan sahamnya. Artinya, ketika membeli CFD itu, kita tidak memiliki sahamnya, hanya bisa mengincar pendapatan dari selisih kenaikan harga.