Begini Efek Jika Tidak Ada Lagi Negara yang Pakai Dolar AS

Kelompok negara Rusia, China, dkk berencana bikin mata uang baru agar tidak ketergantungan dengan dolar AS. Kalau semua negara begini, apa efeknya ke ekonomi dunia ya?

Begini Efek Jika Tidak Ada Lagi Negara yang Pakai Dolar AS

Mikir Duit – Kelompok Negara Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan alias BRICS mau membuat mata uang cadangan sendiri agar tidak tergantung dengan dolar AS. Begitu juga di ASEAN, bank sentral mewacanakan meningkatkan kerja sama local currency settlement alias penyelesaian transaksi dengan mata uang lokal tanpa melibatkan dolar AS. Pertanyaannya, jika dunia sudah tidak menggunakan dolar AS lagi, apa yang akan terjadi?

Rusia dikabarkan membicarakan prospek pengembangan mata uang baru untuk kelompok negara BRICS.

Wakil ketua Duma, Majelis Negara Federal Rusia, Alexander Babakov mengatakan pentingnya bagi Rusia dan India untuk menuju sistem pembayaran dengan mata uang baru, termasuk menambahkan pembayaran digital yang lebih menjanjikan.

"Dengan mata uang baru itu, bisa menguntungkan China dan anggota BRICS, tapi tidak untuk negara barat," ujarnya seperti dikutip dari Cointelegraph.com.

Nantinya, mata uang baru kelompok negara BRICS ini akan dijaminkan dengan emas dan komoditas logam lainnya. Jelas, hal itu berbeda dengan dolar AS yang kini sudah tidak dijamin dengan emas.

Sebenarnya, mata uang BRICS bukanlah konsep baru. Sebelumnya, BRICS sempat membicarakan persiapan membuat mata uang digital baru untuk sistem pembayaran terpadu pada 2019.

Adapun, negara-negara BRICS juga sudah melakukan kesepakatan transaksi bilateral dengan mata uang masing-masing. Seperti, China dan Brasil telah sepakat berdagang dengan mata uang masing-masing dan mulai menjauhkan diri dari mata uang cadangan dunia, yakni dolar AS.

Dengan begitu, transaksi antar negara akan menjadi lebih efisien tanpa perlu tergerus oleh selisih kurs dengan dolar AS.

BACA JUGA: Cerita Cuan dari Saham ITMG 38 persen, Tapi Malah Nyesel

ASEAN Juga Meningkatkan Transaksi Bilateral

Negara-negara ASEAN pun mulai merencanakan untuk memperluas transaksi bilateral dengan mata uang lokal demi mengurangi ketergantungan dengan dolar AS. Hal itu menjadi salah satu perbincangan dalam pertemuan para bank sentral di negara tersebut.

Sejauh ini, Indonesia juga sudah membuat kesepakatan bilateral untuk bertransaksi dengan mata uang lokal seperti dengan Jepang, Thailand, Malaysia, dan China.

Llau, lima negara ASEAN juga sudah sepakat untuk menghubungkan pembayaran lintas batas pada akhir 2022. Kelima negara itu antara lain, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina. Dengan kesepakatan pembayaran lintas batas ini, kita bisa pergi ke luar negeri tanpa perlu tukar uang. Kita bisa bertransaksi menggunakan QRIS dan fast payment.

Kesepakatan bank sentral di ASEAN untuk mengurangi ketergantungan dengan dolar AS sehingga risiko finansial lebih bisa diredam. Misalnya, saat bank sentral AS Federal Reserve menaikkan suku bunga terus menerus hingga berefek kepada pelemahan kurs mata uang lokal di ASEAN.

Pelemahan mata uang itu akan berefek kepada transaksi impor. Jika biaya impor membengkak, artinya harga barang dengan bahan baku impor bisa naik. Inflasi dalam negeri juga naik. Efeknya ke pertumbuhan ekonomi lebih lambat.

Risiko itu bisa diredam jika aksi impor antar negara bisa tanpa menggunakan dolar AS. Sehingga, transaksi lebih efisien dan terkendali.

Alasan Dunia Ingin Lepas dari Ketergantungan Dolar AS

Sebenarnya, alasan dunia untuk lepas dari kecanduan dolar AS ini masuk akal. Semua itu dimulai ketika Amerika Serikat (AS) sedang terdesak karena defisit anggaran pasca perang Vietnam pada 1960-an.

Saat itu, posisinya sistem moneter dunia menjadi dolar AS sebagai mata uang dominan yang dijamin emas. Jadi, setiap bank sentral negara lain yang memiliki dolar AS bisa menukarnya dengan emas. Harga tukarnya pun dibuat fix 35 dolar AS per ounce.

Masalah terjadi, ketika AS membutuhkan dana untuk menutup defisit yang berujung aksi printing money. Namun, dengan jumlah supply dolar AS makin banyak, berarti nilai tukarnya terhadap emas berpotensi turun.

Di sini, beberapa bank sentral dunia mulai khawatir kalau nilai dolar AS yang mereka miliki akan makin melemah karena aksi printing money tersebut. Ditambah, ketika pergantian presiden AS ke Richard Nixon, aksi printing money terus dilanjutkan untuk meredam risiko ekonomi dan defisit anggaran di AS.

Masalah makin memuncak ketika ternyata cadangan emas yang dimiliki The Fed tidak cukup untuk membayar semua dolar AS di luar negeri alias yang dipegang bank sentral negara lain.

Dari sini, Richard Nixon membuat dekrit yang memutuskan dolar AS tidak dijamin lagi dengan emas. Hal itu langsung berefek kepada ekonomi AS dan dunia. Stagflasi alias pertumbuhan ekonomi stagnan, tapi inflasi tinggi pun terjadi sepanjang 1970-an. Sampai puncaknya terjadi resesi ekonomi 1982 yang menjadi terbesar setelah The Great Depresion 1930-an bagi AS. [status ini akhirnya dikalahkan oleh The Great Recession pada 2008].

Nah, keputusan Richard Nixon dengan melepas penjaminan dolar AS terhadap emas itu memang menuai kritik. Soalnya, dengan melepas penjaminan dolar AS terhadap emas, berarti pergerakan dolar AS akan sangat fluktuatif. Hal itu bisa memicu krisis di masa depan setelah 1970-an. Hasilnya memang begitu, termasuk krisis moneter Asia 1997.

Soalnya, dengan dolar AS yan fluktuatif, tapi sistem pertukaran mata uang bank sentral di negara Asia masih menggunakan fix exchange rate maupun managed floating exchange rate. Hasilnya, ketika dolar AS menguat terlalu drastis akibat kenaikan suku bunga, mata uang Asia, termasuk rupiah berfluktuasi.

Namun, dengan sistem pertukaran mata uang yang masih fix exchange rate dan managed floating exchange rate, bank sentral negara Asia, termasuk Indonesia, melakukan intervensi besar-besaran hingga cadangan devisa seret.

fix exchange rate adalah kebijakan penetapan mata uang yang tetap. Misalnya rupiah terhadap dolar  AS ditetapkan Rp1.000, berarti nilai tukarnya akan tetap segitu terus. Managed floating exchange rate, kebijakan nilai tukar mata uang yang bergerak, tapi sesuai dengan rentang yang sudah ditentukan setiap periode tertentu, seperti sebulan sekali.

Ketika cadangan devisa seret, akhirnya bank sentral mengubah sistem pertukaran mata uang menjadi floating exchange rate, yang artinya pergerakan mata uang dibiarkan bergerak sesuai pasar. Hasilnya, pelemahan mata uang secara drastis yang memicu kegagalan sistem bank dan kenaikan inflasi tinggi.

Bahkan, keputusan Nixon itu juga disebut menjadi penyebab terjadinya bubble dotcom 2000 hingga krisis keuangan AS pada 2008.

Efek Jika Dunia Meninggalkan Dolar AS

Salah satu keuntungan yang terlihat jika negara-negara mengurangi ketergantungan dengan dolar AS adalah ekonomi yang lebih stabil. Soalnya, transaksi bisa dilakukan dengan mata uang antar negara, atau membuat mata uang baru seperti kelompok BRICS.

Lalu, ekonomi negara di luar AS juga tidak perlu khawatir jika ekonomi AS bermasalah atau adanya kebijakan The Fed yang agresif seperti kenaikan suku bunga dan sebaliknya bisa berpengaruh ke perekonomian mereka.

Namun, masalahnya, skema ini adalah skema moneter baru di dunia yang tidak pernah ada yang mengalaminya. Hal ini sama seperti yang dilakukan Nixon pada 1968-an ketika memutus jaminan dolar AS ke emas. Tidak ada yang tahu apa efek ke depannya, mungkin bisa lebih baik, tapi bisa jadi ada gejolak ekonomi yang belum pernah dialami sebelumnya.

Kira-kira, apakah dengan meninggalkan dolar AS ekonomi dunia bisa lebih stabil?