Pengalaman Cara Memilih Saham Pertama, Cuan Nggak Ya?

Bagaimana cara memilih saham pertama kali? adalah pertanyaan lazim bagi investor pemula. Begini cerita saya memilih saham pertama kali. Mau tau nggak seberapa besar cuannya?

Pengalaman Cara Memilih Saham Pertama, Cuan Nggak Ya?

Mikir Duit – Bagaimana cara memilih saham pertama kali? ini adalah pertanyaan lazim dari investor pemula yang baru memulai investasi saham. Untuk itu, kali ini saya akan berbagi cerita bagaimana saya memilih saham pertama kali saat investasi saham.

Saya ingat, pertama kali membeli saham itu sekitar 2019-an. Baru mulai investasi saham saat itu karena sudah tidak menjadi jurnalis di lapangan secara langsung. Jadi, di kantor media tempat saya kerja dulu, ada aturan jurnalis dilarang untuk trading saham, termasuk investasi juga. Alasannya, karena kami bertemu dengan sumber berita utama dalam penggerak saham, jadi kami berpotensi mendapatkan informasi duluan ketimbang investor publik. Ya, ini masalah etika, sama seperti pekerja di sekuritas dan aset manajemen.

Setelah resmi di kantor untuk mengurusi kebutuhan media sosial, saya mulai coba investasi saham. Berhubung, saya cukup lama menjadi jurnalis di sektor perbankan, saham pertama yang saya beli adalah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (BBTN). Penasaran nggak, kenapa saham pertama yang saya beli justru BBTN?

Cara Memilih Saham Pertama Kali

Cara memilih saham pertama kali yang saya lakukan adalah memilih saham yang saya tahu model bisnis dan sebagainya. Ya, seperti cerita Peter Lynch yang bisa dapat cuan besar dari saham logistik karena dia paham sektornya, begitu juga cara saya memilih saham pertama. Meski, nasibnya tidak semujur Peter Lynch ya.

Saya memilih saham BBTN sebagai saham pertama karena beberapa alasan:

Pertama, bisnis saham BBTN ini cukup spesifik, yakni kredit terkait properti. Di mana, harga properti akan semakin naik sehingga kebutuhan kredit pemilikan rumah juga tinggi. Artinya, secara jangka panjang bisnis BBTN berpotensi berkelanjutan sekali, meski bukan bagian dari kelompok bank besar seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk.

Kedua, mayoritas KPR subsidi disalurkan melalui BBTN. Artinya, pangsa pasar KPR BBTN sulit tergoyahkan.

Ketiga, saat menteri BUMN masih dipegang Rini Soemarno ada wacana pembentukkan holding BUMN perbankan dengan induk usahanya PT Danareksa (Persero). Dalam skema holding BUMN perbankan itu, pemerintah berencana menyuntikkan modal besar ke BBTN agar bank perumahan itu bisa masuk menjadi bank umum kelompok usaha (BUKU) IV dengan ketentuan saat itu minimal modal inti Rp30 triliun.

Penambahan modal untuk meningkatkan modal inti jelas jalan ekspansi besar BBTN dalam jangka menengah. Jika modal itu jadi masuk, bukan tidak mungkin pertumbuhan kinerja keuangan BBTN bisa bagus dalam jangka menengah.

Sayangnya, waktu itu pemilu, Joko Widodo memang menjabat sebagai presiden lagi untuk periode kedua. Namun, posisi menteri BUMN bukan lagi Rini, melainkan Erick Thohir. Di sini, Erick mengkaji ulang rencana holding BUMN perbankan hingga akhirnya batal dan semuanya jadi ambyar.

Pandemi Covid-19 Hingga Akhirnya Cut Loss

Saya ingat sekali, waktu itu beli saham BBTN di harga sekitar Rp2.000-an per saham. Gara-gara holding BUMN perbankan batal, harga BBTN perlahan melorot ke bawah Rp2.000-an per saham setelah pelantikan presiden Joko Widodo.

Ditambah, memasuki 2020 datanglah pandemi Covid-19. Pasar saham mengalami crash hingga terjadi trading halt atau penghentian perdagangan beberapa kali. Harga saham BBTN sempat jatuh hingga ke bawah Rp1.000 per saham. Bayangkan, saya rugi di atas 50 persen waktu itu.

Saya mencoba tidak panik, dan melakukan averaging down hingga rata-rata harga BBTN yang dimiliki menjadi sekitar Rp1.800-an per saham. Sayangnya, saya tidak terlalu sabar menunggu harga BBTN bangkit lagi, sampai akhirnya melepasnya di harga Rp1.400-an per saham. Padahal, jika menahan hingga 4 Maret 2021, ada peluang untuk meraup cuan karena harga BBTN terbang hingga ke Rp2.100 per saham.

Kesimpulan

Mau tau apa kesalahan terbesar saya dalam memilih saham pertama itu? jawabannya adalah masuk di pucuk. Saya terlalu sibuk menganalisis prospek saham BBTN hingga tidak melihat masuk di posisi lagi murah atau mahal.

Harga saham BBTN itu sempat melompat tinggi ke Rp3.600-an per saham pada awal 2018. Setelah itu turun dan bergerak sideways di Rp2.000-an per saham. Jujur, saya benar-benar tidak melihat berapa valuasi saham BBTN dibandingkan historis dan secara sektoral kala itu.

Apakah berarti valuasi saham menjadi yang terpenting dalam membeli saham pertama kali? jawabannya tidak juga. Kita harus seimbang antara melihat fundamental dan prospek bisnis emiten dan posisi valuasi harga sahamnya. Jika harga saham tinggi, meski prospeknya bagus, kita lebih baik jangan nekat masuk karena risiko harga turun.

Untuk itu, kita mencari saham yang prospeknya bagus tapi harga sahamnya lagi murah. Apakah mudah? ya tidak mudah butuh momentum besar. Jika belum menemukan saham itu, lebih baik simpan modalnya di reksa dana pasar uang hingga menemukan saham terbaik untuk pertama kalinya. Tujuannya, untuk meredam risiko kerugian akibat FOMO ingin mulai investasi saham.

Jika merujuk ke strategi Lo Kheng Hong, kita juga bisa menganalisis saham bagus harga murah dengan melihat sektoral. Jadi, jika ada saham di sektoral itu menonjol, pelajari model bisnisnya dan cari saham serupa yang kinerjanya bagus meski tidak sebesar saham utamanya tadi. Jika saham alternatif itu punya valuasi murah, kita bisa masuk ke sana. Dengan cara itu kita bisa lebih memanfaatkan peluang cuan ketimbang nekat beli saham bagus di harga mahal.

Setuju? btw, yang mau baca strategi Lo Kheng Hong beli saham bisa baca di sini ya.