Pelajaran Bisnis dari Tupperware yang Terancam Bangkrut

Tupperwar, produk sejuta ibu-ibu ternyata terancam bangkrut. Apa penyebabnya? apakah bisa terselamatkan dan terus produksi?

Pelajaran Bisnis dari Tupperware yang Terancam Bangkrut

Mikir Duit – Apa yang kamu pikirkan tentang Tupperware? pasti sebuah tempat minum dan makan yang dimiliki ibu-ibu di mana jika anak menghilangkan produk itu pasti bakal dicoret dari kartu keluarga. Ya, itu adalah lelucon tentang Tupperware di Indonesia, sebuah produk berharga bagi ibu-ibu. Namun, perusahaan Tupperware ini kini terancam bangkrut. Kok bisa?

Tupperware terkenal sebagai perusahaan produsen tempat makan dan minum dari plastik berkualitas. Cara jualan Tupperware pun tergolong unik, mereka berjualan dengan masuk ke komunitas ibu-ibu. Hal itu yang membuat kita jarang melihat Tupperware dijual di tempat terbuka seperti supermarket maupun toko serba ada.

Untuk itu, kamu yang penasaran kenapa ibu-mu bisa saja dapat produk Tupperware padahal tidak ada yang jual, jawabannya mereka beli dari para reseller dalam konsep multi-level marketing di komunitas ibu-ibu tersebut. Dengan begitu, brand Tupperware dikenal dekat dengan ibu-ibu.

Sayangnya, strategi itu bak pedang bermata dua. Ketika mencapai pertumbuhan bisnis tertinggi, Tupperware butuh perluasan pasar  untuk menjaga momentum pertumbuhan bisnis. Sayangnya, brand Tupperware sedikit jauh dari kalangan muda. Meski, di Indonesia, anak-anak muda dibekali dengan Tupperware dari ibunya, tapi mereka tidak tahu bagaimana dan di mana tempat beli tempat makan dan minum bermerek Tupperware.

Memang sekarang sudah ada toko online, masalahnya brand Tupperware ini sudah seperti merek air mineral kemasan Aqua. Para penjual menjajakan tempat makanan dan minuman dengan menggunakan frasa Tupperware, padahal mereknya bukan Tupperware.

Ditambah, kompetitor makin banyak sehingga persaingan produsen tempat makan dan minum itu makin ketat sekali. Konsumen yang sensitif dengan harga pun bisa dengan mudah beralih ke brand yang lain.

BACA JUGA: Bisnis Pakaian Bekas Diminta Tutup, Jadi Kambing Hitam Lesunya Bisnis Tekstil Domestik?

Lalu, bagaimana nasib keuangan Tupperware?

Kinerja Keuangan Tupperware 2022

Sebenarnya, masalah Tupperware sudah menjadi perhatian banyak investor saham di Amerika Serikat (AS) jauh sebelum 2023. Setelah ada penurunan margin keuntungan hingga perlambatan penjualan dan penurunan pangsa pasar, banyak yang menilai Tupperware sudah tidak baik-baik saja.

Apalagi, produk jualan Tupperware bisa dibilang tidak memiliki nilai yang kuat untuk bertahan lebih lama. Produk Tupperware digerakkan oleh tren di mana setiap ibu-ibu memiliki produk tersebut. Sayangnya, seperti banyak perusahaan multi level marketing, ada titik jenuh penjualan dan pergantian tren.

Bayangkan, untuk tempat minum premium saja sekarang sudah ada beberapa produk yang lebih tren seperti Corkcicle, yang sempat viral juga di Indonesia beberapa waktu lalu.

Hasilnya, bisa terlihat dari kinerja keuangan Tupperware pada 2022, perusahaan itu mencatatkan penurunan penjualan sebesar 18 persen menjadi 1,3 miliar dolar AS. Meski pendapatan terkesan turun tidak terlalu drastis, tapi beban operasional dan umum, serta utang membuat produsen kemasan plastik ini merugi 14,2 juta dolar  AS dibandingkan dengan laba 16,8 juta dolar AS pada 2021.

Bahkan, arus kas operasional Tupperware juga sudah negatif 53,2 juta dolar AS dibandingkan dengan positif 111 juta dolar AS pada 2021. Meski, secara umum, Tupperware masih punya arus kas setara kas sekitar 120,2 juta dolar AS di akhir 2022, tapi kondisi arus kas operasional yang negatif membuktikan bisnis Tupperware tidak mampu menghasilkan uang segar untuk diputar kembali.

Di sisi lain, kondisi ekuitas Tupperware juga negatif 187 juta dolar AS. Permasalahannya, ekuitas Tupperware sudah mulai negatif sejak 2021 atau sebelum mengalami rugi. Hal ini pula yang memicu pernyataan kalau Tupperware bisa saja bangkrut setiap saat.

Deretan Perusahaan Terkenal yang Bangkrut

Selain Tupperware, sebelumnya Crocs, produsen sendal karet yang sempat tren di 2000-an awal hingga 2007 mulai goyah pada 2009. Penyebabnya, konsumen mulai bosan dengan produk Crocs yang monoton, serta ada campaign kalau tali sendal Crocs bahaya bagi kaki.

Akhirnya, Crocs mulai efisiensi dan melakukan PHK untuk pasar di Amerika Serikat (AS). Untungnya, pasar di luar AS yang masih agresif membuat Crocs masih bisa bertahan setelah tren penjualan di negeri paman sam mulai turun sejak 2009. Sampai akhirnya, tren penjualan terus menurun dan Crocs menutup pabrik manufaktur terakhirnya pada 2018.

Tantangan Crocs selain konsumen yang bosan dengan modelnya, keberadaan produk palsu yang harganya jauh lebih murah juga menjadi sebuah tantangan tersendiri.

produk kebangkitan crocs
ketika Crocs memproduksi produk dengan lebih berwarna dan kembali menjadi tren di masyarakat AS. / sumber: SocialFactor

Namun, nasib Crocs justru menjadi salah satu kisah perusahaan yang mengalami turnaround story. Salah satunya adalah upaya mengubah produk menjadi relevan sehingga kembali diminati. Dari citra Crocs yang cuma monoton menjadi lebih berwarna. Hal itu secara perlahan mengubah citra Crocs yang diejek menjadi kembali trending. Sampai akhirnya produsen sendal itu bisa bertahan hingga saat ini.

Kesimpulan

Jika kita pelajari dari kasus Tupperware, Crocs, maupun beberapa produk lainnya seperti, Nokia dan Blackberry, dalam sebuah bisnis, masalah terbesar adalah mempersiapkan produk yang selalu relevan dengan pasar.

Misalnya, Nokia dan Blackberry tenggelam karena dikalahkan oleh Smartphone Android yang memiliki ekosistem lebih luas. Begitu juga dengan Crocs dan Tupperware yang penjualannya turun karena adanya tren fashion terbaru yang lebih menarik.

Di sisi lain, Crocs berhasil mengubah brandnya dari produsen sendal karet monoton menjadi berwarna dan bangkit dari kubur. Namun, Tupperware pun sudah berupaya membuat inovasi untuk mendekatkan diri ke segmen yang lebih mudah. Sayangnya, brand Tupperware terlalu kuat melekat di segmen ibu-ibu sehingga proses Re-branding pun gagal.

Untuk itu, solusi bisnis untuk membuat produk yang relevan sesuai dengan permintaan pasar pun akan selalu berbeda. Solusi yang digunakan Crocs mungkin tidak relevan digunakan Tupperware. Jadi, jika kita ingin menjadi entrepreneur atau wirausaha, berarti kita harus siap memecahkan masalah membuat produk yang selalu relevan untuk konsumen.