Faktanya, Harga Properti Sudah Susah Naik, masih Mau Investasi?

Investasi properti sering dinilai aset tradisional yang bisa kasih cuan besar. Ironinya, fakta yang ada justru bicara kebalikannya. Nggak percaya? cek datanya di sini

Faktanya, Harga Properti Sudah Susah Naik, masih Mau Investasi?

Mikirduit – Investasi properti memang menjadi salah satu aset tradisional yang digemari kalangan Baby Boomers dan milenial awal. Namun, apakah saat ini investasi properti masih menarik? menurut saya tidak. Berikut ini beberapa alasan investasi properti tidak menarik lagi.

Konteks investasi properti dalam artikel ini adalah beli rumah, terus tidak ditinggali. Jadi, rumah ini dijadikan investasi dalam bentu sewa rumah maupun jual-beli rumah setelah harganya naik.

Investasi properti selalu disebut salah satu pilihan investasi jangka panjang yang paling oke. Ada beberapa alasan yang dianggap mendukung pernyataan tersebut.

Pertama, investasi properti bisa memberikan pemiliknya pendapatan pasif dari sewa rumah atau apartemen.

Kedua, permintaan rumah akan selalu ada, sedangkan tanah terbatas, sehingga secara teoritis harga tanah pasti selalu naik.

Ketiga, perkembangan infrastruktur dan kemudahan akses di area hunian bisa meningkatkan harga jual juga.

Sekilas semua itu tampak benar bukan? namun, saya akan spill beberapa data yang membuat kamu berpikir kalau properti itu sudah menjadi aset investasi yang sulit melejit lebih tinggi lagi.

BACA JUGA: Investasi Properti di Apartemen Rugi atau Untung?

Tantangan Investasi Properti

Ketiga fakta harga properti akan suit tadi itu tidak 100 persen salah. Namun, ketiganya tidak memperhitungkan beberapa risiko dari investasi properti seperti:

Pertama, tingkat daya beli masyarakat ada batasnya. Jika pertumbuhan harga properti lebih cepat daripada pendapatan dan inflasi. Artinya, akan ada posisi di mana permintaan mulai turun. Harga properti boleh tinggi, tapi tidak ada yang bisa membeli. Akhirnya, para penjual terpaksa menurunkan harga jual atau ada peralihan transaksi properti ke daerah yang lebih jauh lagi dari pusat kota atau yang lebih dijangkau masyarakat.

Kedua, properti ini aset yang sangat tidak likuid, dalam arti susah dijual. Alasannya, ya karena harga sudah terlalu tinggi sehingga pembeli akan berpikir ribuan kali sebelum deal.

Ketiga, mendapatkan pendapatan pasif dari properti itu tidak sekadar mendapatkan penyewa rumah. Namun, juga harus mengurus renovasi rumah hingga PBB. Namun, biaya yang paling besar jelas renovasi dan perawatan rumah yang bisa terjadi minimal sekali setahun. Pertanyaannya, apakah dari biaya renovasi dan perawatan rumah dengan peluang dapat okupansi sewa sudah bisa menutup bahkan untung dari modal beli properti?

Dari pertanyaan tadi, pasti ada yang berpikir, yaudah kalau sewa kan setidaknya kita masih memiliki aset. Ya, kita memiliki aset, tapi kalau aset itu susah dijual apa gunanya?

Keempat, kenaikan harga properti sudah mulai melandai. Saya membandingkan indeks harga properti hunian dari data Bank Indonesia pada periode 2013 dan 2023. Per kuartal III/2013, harga properti masih bisa naik 13,5 persen per tahun. Namun, per Maret 2023, harga properti hanya tumbuh 1,79 persen per tahun. Melihat dari kenaikan harga properti menandakan saat ini properti sudah mencapai titik jenuh beli, di mana harga memang sulit turun, tapi tingkat permintaan terus melambat.

Pelajaran dari Amerika Serikat

Dalam tulisan Yahoo Finance pada 25 April 2023 berjudul Real Estate Investors aren't Making Money Like They Used to, Study Finds, menggambarkan kalau investor real estate dalam kondisi yang tidak baik-baik saja saat ini.

Kenapa? dalam laporan Redfin, sebuah agen properti di Amerika Serikat mencatat 13,5 persen investor real estate melakukan jual-rugi rumahnya pada Maret 2023. Bahkan, sebelumnya 14,5 persen investor real estate terpaksa jual-rugi rumahnya pada Februari 2023. Memang, angka Maret lebih rendah, tapi keduanya masih mencatatkan rekor tertinggi para investor properti cut loss rumahnya sejak 2016.

Para Flippers, investor yang beli dan jual rumah dalam waktu sembilan bulan, bernasib lebih buruk. Flippers mencatatkan jual-rugi 20,8 persen dari total rumah yang dijual pada Maret 2023. Sampai disimpulkan, trading properti ala Flippers sudah tidak menguntungkan seperti dulu.

Bukan hanya bicara kerugian, keuntungan investor yang menjual rumah di Maret 2023 pun mencatatkan penurunan. Per Maret 2023, rata-rata keuntungan investor real estate sekitar 45,9 persen dari harga beli. Persentase itu turun dibandingkan dengan periode sama pada tahun lalu yang sebesar 55,3 persen.

Lalu, rata-rata keuntungan 45,9 persen itu juga adalah keuntungan kotor. Artinya, keuntungan itu belum memperhitungkan biaya perawatan dan renovasi yang harus dikeluarkan oleh investor.  

Salah satu agen properti Redfin Van Welborn menceritakan, ada investor real estate beli rumah senilai 450.000 dolar AS atau Rp6,75 miliar  dan menjualnya senilai 480.000 dolar AS atau Rp7,2 miliar. Namun, harga jualnya itu di bawah harga yang ditentukan di awal, yakni 550.000 dolar AS atau Rp8,25 miliar. Lalu, akhirnya penjualan itu terhitung rugi juga, karena harga itu belum termasuk biaya jasa agen properti senilai Rp750 juta. Jadi total uang yang diterimanya cuma Rp6,45 miliar dari harga beli Rp6,75 miliar.

Kesimpulan

Secara teoritis, sektor properti lesu saat ini dinilai cukup wajar karena tingkat suku bunga masih cukup tinggi. Dengan begitu permintaan properti cenderung melambat, bukan hanya dari segmen bawah, tapi juga segmen menengah atas.

Namun, jika mengacu pergerakan suku bunga, teori itu mulai terbantahkan. Seperti, ketika suku bunga BI7DRRR Bank Indonesia di leevl 4,25 persen - 4,55 persen pada kuartal III/2017, harga properti pun hanya mampu tumbuh 3 persen pada periode tersebut.

Dan memang pada periode itu, BI mati-matian berupaya dari segi moneter untuk meningkatkan permintaan properti dengan menurunkan loan to value (LTV) yang menjadi acuan berapa uang muka yang harus dibayar oleh konsumen untuk pengajuan KPR.

Adapun, kejenuhan pasar properti tidak hanya terjadi di Amerika Serikat (AS) atau ada gejalanya di Indonesia saja, melainkan di beberapa negara seperti Kanada dan sebagainya. Hingga beberapa negara melarang warga asing beli rumah untuk menurunkan permintaan, sehingga harga rumah bisa lebih terjangkau dan pasar real estate kembali sehat.

Walaupun, di Indonesia malah baru mulai mengizinkan secara perlahan orang asing beli rumah dengan beberapa persyaratan. Di sini, cukup aneh dan agak terlambat.

Selain itu, ada satu penyebab investasi real estate mulai lesu antara lain, tingkat inklusi aset investasi lainnya seperti, saham, SBN ritel, EBA ritel, peer to peer lending, hingga crypto meningkat atau lebih mudah dijangkau dibandingkan harus mencari properti. Di sini, permintaan dari segmen menengah atas pun secara perlahan mulai terbagi ke aset investasi tersebut.

Nah, kalau menurutmu, apakah investasi properti masih menarik untuk jangka panjang?


Referensi