Burden Sharing BI-Pemerintah, Begini Risikonya ke Pasar Saham
Kejutan datang setelah BI dan pemerintah sepakat melakukan burden sharing. BI pun sudah borong SBN dari pasar sekunder senlai Rp200 triliun. Apa risikonya ke pasar saham?

Mikirduit – BI disebut akan melakukan burden sharing atau skema pembagian beban bunga surat berharga negara (SBN) dengan Kementerian Keuangan. BI pun sudah memborong SBN senilai Rp200 triliun di pasar sekunder. Lalu, apa hubungannya dengan risiko di pasar saham?
Highlight
- Burden Sharing antara BI dan pemerintah dilakukan dengan skema pembagian beban bunga SBN 50:50 untuk membiayai proyek rumah rakyat dan koperasi merah putih.
- Meski memberi likuiditas murah bagi bank BUMN seperti BBRI, BBTN, BMRI, dan BBNI, kebijakan ini berisiko memicu inflasi, pelemahan rupiah, dan outflow asing.
- Risiko terbesar muncul jika suntikan Rp200 triliun tidak produktif, sehingga bisa menimbulkan stagflasi dalam 2–5 tahun ke depan dan menekan pasar saham.
- Untuk diskusi saham secara lengkap, pilihan saham bulanan, dan insight komprehensif untuk member, kamu bisa join di Mikirsaham dengan klik link di sini
BI mengumumkan rencana melakukan Burden Sharing dengan pemerintah untuk membiayai program Koperasi Merah Putih dan Perumahan Rakyat. Lalu, apa skema Burden Sharing ini?
Jadi, dalam skema Burden Sharing, BI sebagai bank sentral dan pemerintah akan berbagi beban terkait bunga. Kesepakatan pembagian beban bunga SBN tersebut adalah 50:50.
Gubernur BI Perry Warjiyo seperti dikutip dari Tirto pada 3 September 2025 dalam artikel berjudul BI Akan Burden Sharing untuk Bantu Asta Cita Prabowo menjelaskan, dalam pendanaan proyek perumahan rakyat nantinya BI dan pemerintah akan berbagi beban masing-masing 2,9 persen, sedangkan untuk koperasi merah putih sebesar 2,15 persen.
Lalu, apa masalahnya?
Secara historis, Burden Sharing menjadi skema darurat jika negara memang membutuhkan dana dalam kondisi sulit. Secara historis, BI dan pemerintah pernah dua kali menggunakan skema Burden Sharing.
Pertama, saat terjadi krisis moneter 1997-1998. Kala itu, BI mengucurkan BLBI dengan skema penerbitan surat utang yang beban bunganya dibagi antara BI dengan pemerintah.
Kedua, saat pandemi Covid-19 di 2020. Kala itu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No.1/2020 tentang kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 atau Perekonomian Nasional atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Kala Covid-19, skema burden sharingnya cukup signifikan. Seperti, ada bagian yang BI menanggung seluruh beban, ada yang BI menanggung beban dengan skema selisih antara suku bunga SBN dengan suku bunga reverse repo rate 3 bulan BI dikurangi 1 persen.
Secara ringkas, bisa disimpulkan aksi burden sharing pada 1998 dan 2020 terjadi karena ada kondisi darurat atau luar biasa. Di sisi lain, kali ini Burden Sharing dilakukan untuk membiayai proyek Presiden yang belum tentu produktif mendorong pertumbuhan ekonomi.
Risiko Burden Sharing dan Efeknya ke Pasar Saham
Burden Sharing menjadi kebijakan yang punya dua sisi mata uang.
Manfaat dari Burden Sharing, pemerintah bisa menghemat anggaran. Apalagi, jika ada kebutuhan dana besar dan dalam kondisi ekonomi yang cukup genting.
Namun, Burden Sharing juga memiliki dampak negatif, yakni bisa meningkatkan inflasi dan melemahkan nilai tukar mata uang. Dengan dampak negatif itu, ada risiko investor asing juga mencatatkan outflow sehingga menekan nilai tukar mata uang.
Misalnya, pada Juni 2020 ketika pemerintah melakukan Burden Sharing dengan BI, Indonesia mencatatkan arus modal keluar senilai Rp8,39 triliun dari SBN dan pasar saham. Sepanjang Juni 2020, rupiah juga melemah 1,8 persen.
Hal itu juga terjadi dalam 1-3 September 2025, asing mencatatkan arus modal keluar senilai Rp16,85 triliun. Total terbanyak dari SBN dan SRBI yang mencapai hampir Rp13 triliun, sedangkan di pasar saham mencapai Rp3,87 triliun.
Terlepas ada kejadian demonstrasi, tapi kami menilai salah satu yang mendorong asing keluar adalah risiko kebijakan Burden Sharing untuk proyek pemerintah yang belum tentu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Efek Jangka Pendek
Jika dilihat, dalam jangka pendek ada potensi dana masuk ke emiten bank BUMN yang akan menjadi perantara penyaluran pembiayaan untuk proyek 3 juta rumah dan kopdes merah putih. Kami menilai hal itu yang membuat BI membeli SBN dari pasar sekunder (bukan primer) karena bisa jadi membeli SBN yang dimiliki oleh bank-bank BUMN terkait.
Terkait kopdes merah putih, BBRI berpotensi menjadi yang memiliki porsi terbesar, sedangkan untuk perumahan berpotensi masuk ke BBTN. Sementara itu, BMRI dan BBNI berpotensi mendapatkan porsi juga tapi besarannya mungkin di bawah BBRI dan BBTN.
Kami belum mengetahui detail margin bunga kredit yang diberikan akan masuk ke big bank BUMN dan BBTN atau tidak. Namun, jika hitungan bunganya tetap masuk meski kecil, hal itu bisa membantu perbaikan kinerja bank BUMN pada tahun ini. Alasannya, mereka mendapatkan likuiditas tambahan yang murah dan tetap mendapatkan margin keuntungan meski tipis.
Tantangannya, jika proyek dari suntikan pencetakan uang BI via burden sharing ini tidak mendorong ekonomi berarti akan menambah likuiditas uang beredar, yang berpotensi membuat kenaikan inflasi. Meski, kali ini, Burden Sharing tidak menggunakan skema quantitative easing, yakni dengan cara BI membeli di pasar primer.
Jika BI dalam mode untuk memasang kebijakan moneter ekspansif, seharusnya ada cara yang mampu meningkatkan likuiditas secara umum. Risiko dari burden sharing kali ini bukan skemanya, tapi tujuannya untuk membantu program presiden. Sehingga, ada pertanyaan besar terkait independensi Bank Sentral dalam memutuskan kebijakan tersebut.

Kesimpulan
Sebenarnya, risiko burden sharing saat ini tidak akan terasa dalam jangka pendek. Namun, setelah nanti ada suntikan likuiditas Rp200 triliun untuk proyek Presiden, ternyata hasilnya tidak produktif dalam 2-5 tahun, baru akan terasa inflasi naik, tapi pertumbuhan ekonomi stagnan.
Hal ini yang dikhawatirkan juga banyak ekonom dengan melakukan kebijakan burden sharing bukan dalam kondisi darurat dan hal yang penting. Bukan berarti 3 juta rumah dan kopdes merah putih tidak penting, tapi dilihat urgensinya saat ini apakah tepat mengorbankan tambahan likuiditas untuk proyek tersebut.
Toh, sejak zaman SBY hingga Jokowi, program rumah murah sulit tepat sasaran. Serta, skema koperasi merah putih menjadi kekhawatiran terkait risiko gagal bayar. Meski, bagi bank BUMN, risiko gagal bayar koperasi merah putih bukan resiko tinggi karena dijamin APBN. Namun, jika likuiditas untuk mendanainya dari burden sharing ini yang menjadi risiko.
Apakah akan terjadi market crash dan sebagainya? belum tentu dan jika terjadi mungkin tidak dalam jangka dekat. Jika ada risiko ekonomi seperti potensi stagflasi di masa depan bisa memicu penurunan pasar saham, minimal sahamnya sideways seperti sejak 2022 hingga saat ini (yang baru all time high pas 17 Agustus 2025 kemarin).
"Krisis dan market crash itu datangnya tiba-tiba, tidak bisa diprediksi,kecuali dispekulasikan seperti yang rutin dilakukan beberapa orang,"
Pilihan Saham Bulanan Mikirsaham untuk September 2025 Sudah Rilis Nih, Mau Tau Apa Aja yang Menarik Dilirik?
Join mikirsaham untuk mendapatkan detail plan investasi saham. Kamu juga bisa diskusi saham real-time, insight saham yang menarik, hingga pilihan saham bulanan. Mau dapat list lengkapnya sekaligus konsultasi dengan Mikirduit? yuk join Mikirsaham sekarang juga dengan klik di sini dan dapatkan semua benefit ini:
- Pilihan saham dividen, value, growth, dan contrarian
- Kamu bisa tanya lebih detail alasan pemilihan saham tersebut
- Curhat soal kondisi porto-mu
- Update perkembangan market secara real-time
- Konfirmasi isu yang kamu dapatkan dan impact-nya ke saham terkait
Semua itu bisa didapatkan dengan gabung Mikirsaham, Join sekarang dengan klik di sini
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini