BREN dan AMMN Newbie di 10 Big Caps, Bisa Sampai Kapan?

Saham AMMN dan BREN menjadi dua pendatang baru di kelompok 10 saham big caps. Kira-kira apa keuntungan punya market cap besar? lalu bisa tahan seberapa lama ya?

BREN dan AMMN Newbie di 10 Big Caps, Bisa Sampai Kapan?

Mikirduit – Lanskap 10 besar saham Big Caps di Bursa Efek Indonesia berubah setelah PT Barito Renewable Energy Tbk. (BREN) dan PT Amman Mineral Tbk. (AMMN) naik menjadi saham terbesar ke-5 dan 6 di Indonesia. Pertanyaannya, apakah ini akan menjadi pertanda kedua saham itu bagus untuk investasi jangka panjang? apakah BREN dan AMMN bisa setara dengan ASII hingga BBCA? 

Untuk menjawab pertanyaannya itu, kita akan memahami apa makna dari 10 saham big caps, serta apa yang membuat saham-saham itu bisa mencapai level big caps. 

Arti 10 Saham Big Caps

Dulu, sebelum ada skema bobot IHSG dihitung juga dengan rasio free float, 10 saham big caps ini digambarkan sebagai motor penggerak IHSG. Hal itu membuat akan banyak big fund, terutama dari manajer investasi akan melakukan transaksi saham big caps agar pergerakan produk reksa dana atau investasinya bisa sejalan dengan IHSG. Ditambah, investasi di saham 10 saham big caps dikenal lebih rendah risiko karena bakal susah gorengnya karena skala kapitalisasi pasarnya sudah sangat besar. 

Namun, pada medio pertengahan 2021, BEI mengubah skema perhitungan bobot saham ke IHSG dengan menambahkan formula free float. Sehingga 10 big caps yang ada saat ini belum tentu semuanya berpengaruh besar ke bobot IHSG.  

Misalnya, dari data BEI per September 2023, 10 saham dengan market cap terbesar antara lain, BBCA, BBRI, BYAN, BMRI, AMMN, TLKM,ASII, TPIA, BBNI, dan UNVR. Namun, secara bobot yang mempengaruhi pergerakan IHSG justru ada, BBCA, BMRI, BBRI, TLKM, BYAN, ASII, BBNI, GOTO, AMRT, dan AMMN. Bobot kesepuluh sahama itu berkontribusi sekitar 49 persen IHSG. 51 persen sisanya digerakkan oleh 880 saham yang telah melantai di BEI. 

Menariknya, dari 10 saham big caps dan 10 saham dengan bobot terbesar ke IHSG, nama TPIA dan UNVR terlempar dari 10 besar, sedangkan GOTO dan AMRT masuk menjadi 10 besar. Untuk itu, kita sering dengar ketika GOTO turun cukup dalam, IHSG pun terbebani jadi koreksi juga. 

Kenapa TPIA dan UNVR tidak termasuk saham dengan bobot terbesar ke IHSG? TPIA punya free float cuma sekitar 7,94 persen dari total sahamnya, sedangkan UNVR sekitar 14,46 persen dari total sahamnya. 

Di sisi lain, GOTO yang market capnya cukup besar punya sekitar 70 persen free float. Lalu, AMRT punya sekitar 45 persen free float. AMMN sendiri sebagai pendatang baru memiliki sekitar 18 persen free float atau lebih tinggi dibandingkan dengan UNVR. 

Lalu, apakah nanti BREN juga akan mempengaruhi pergerakan IHSG? menurut kami tidak terlalu alasannya free float BREN cuma sekitar 3 persen. 

Faktor yang Membuat Sebuah Saham Bisa Masuk Big Caps

Dalam 17 tahun terakhir alias sejak 2006, komposisi 10 big caps ini memang rutin berubah. Namun, ada komposisi inti big caps yang tidak pernah berubah, yakni TLKM, BBRI, BBCA, ASII, dan BMRI. Di luar itu, sebenarnya ada nama UNVR, tapi kini saham consumer goods yang pernah jadi primadona itu sudah terlempar dari 10 big caps. 

Lalu, apa yang membuat sebuah saham bisa menuju 10 big caps. 

Faktor terbesarnya adalah adanya kenaikan harga saham yang signifikan dalam jangka pendek, menengah, hingga panjang. Sehingga nominal kapitalisasi pasarnya meningkat. Nah, yang menarik ditelisik adalah apa penyebab kenaikan harga saham yang bisa membuat sebuah emiten tembus 10 big caps di BEI. 

Kami menghimpun pola yang terjadi di BEI sejak 2006 sampai saat ini. Berikut ini deretan faktor yang bisa menggerakkan saham bisa menuju 10 big caps:

Pertama, saham-saham cyclical seperti komoditas masuk ke siklus tertingginya. Hal itu membuat prospek kinerja keuangan mereka berpotensi tumbuh agresif. Akhirnya dengan prospek itu dari big fund hingga ritel meningkatkan demand beli saham komoditas. 

Akhirnya, harga saham komoditas, terutama yang skala besar, terkerek naik dan membuatnya berada di posisi 10 big caps. 

Hal itu terlihat ketika BUMI masuk 10 big caps pada 2006 dan 2007. Di mana, saat itu Indonesia terus meningkatkan ekspor batu bara, serta tren harga batu bara perlahan mulai naik. Sementara, saham batu bara di Indonesia masih terbatas karena beberapa seperti ADRO dan ITMG baru IPO sekitar 2008-an.

Akhirnya, saham BUMI sempat menjadi yang terbesar kedua di 2007, serta bertahan 3 tahun di kelompok 10 besar. 

Begitu juga ketika terjadi lonjakan harga batu bara pada 2022. Kala itu, saham batu bara seperti BYAN dan ADRO merangsek masuk kelompok 10 besar saham big caps di BEI.

Kedua, bisnis yang lagi trending. Untuk bisnis yang lagi trending ini bisa disebabkan dua hal, yakni bisnis trending karena adanya kenaikan kinerja signifikan. Lalu, bisnis trending karena sektor bisnisnya dinilai punya prospek jangka panjang, meski kinerja saat ini biasa-biasa saja malah masih rugi. 

Hal itu terlihat dari pergerakan harga saham consumer goods pada medio 2009 ketika GGRM masuk menjadi salah satu saham big caps menemani UNVR. Lalu, HMSP juga ikut masuk pada 2011, serta ICBP yang terhitung pendatang baru di BEI masuk ke kelompok 10 saham big caps pada 2014.

BACA JUGA: Saham Consumer Goods Bisa Naik di Era Pemilu? 

Sampai akhirnya, deretan saham consumer goods itu sudah tidak bertengger di 10 besar lagi saat ini. 

Di luar fenomena saham consumer goods, ada juga tren saham digital yang membuat ARTO dan EMTK masuk jadi 10 saham big caps pada 2021. Sebenarnya, pada medio 2021 itu ada juga DCII dan BBHI, tapi keduanya tidak bertahan lama di 10 saham big caps. 

Selain itu, pada 2022, sebenarnya ada GOTO yang setelah IPO masuk ke deretan 10 besar. Sayangnya, harga saham GOTO terjun bebas hingga terlempar dari 10 besar. 

Ketiga, ada faktor aksi korporasi yang membuat harga saham naik tinggi. Seperti, ketika BRPT mengakuisisi Star Energy, yang menjadi cikal bakal BREN saat ini, pada 2018. Hal itu membuat harga saham BRPT beserta anak usahanya TPIA naik tinggi sehingga masuk ke dalam 10 besar geng big caps di BEI. 

Ketiga hal itu yang membuat sebuah saham tiba-tiba bisa masuk ke 10 besar big caps. Lalu, kenapa bisa banyak yang tumbang dan ada yang tetap bertahan?

Penyebab Pasang Surut Saham Big Caps

Jika tadi kami mencatat hanya ada 5 saham yang bertahan di level big caps, yakni BBCA, BBRI, BMRI, TLKM, dan ASII. Lalu, kenapa banyak saham yang tumbang dari geng 10 big caps di BEI? 

Beberapa faktornya masih berkaitan dengan faktor yang membawa mereka masuk. Seperti: 

Pertama, jika saham-saham itu masuk karena lonjakan kinerja keuangan yang tinggi yang membuat harganya meroket. Mereka pun berpotensi keluar karena pertumbuhan kinerja keuangannya mulai melambat. Sebenarnya, yang terjadi bukan harga sahamnya turun drastis, tapi gara-gara kinerja keuangannya mulai tumbuh lambat, pergerakan harga sahamnya juga tidak secepat sebelumnya. Akhirnya, saham ini dilampaui oleh saham lain yang punya pertumbuhan kinerja keuangan yang tinggi. 

Contohnya ada di saham consumer goods seperti, HSMP, GGRM, ICBP, serta UNVR. Meski, dalam kasus HMSP, GGRM, dan UNVR disebabkan penurunan yang perlahan tapi masif, untuk ICBP lebih disebabkan pergerakan harga sahamnya yang cenderung sideways dalam beberapa tahun terakhir. 

Kedua, jika saham-saham itu masuk karena siklus bisnisnya lagi bagus seperti saham komoditas. Nah, mereka juga akan keluar ketika siklus bisnisnya lagi turun seperti ketika harga komoditas turun. Hal itu membuat jarang ada saham cyclical seperti pertambangan yang betah bertahan di 10 big caps. 

Ketiga, jika saham-saham itu masuk karena bisnisnya lagi tren, meski fundamental keuangannya masih jelek. Berarti, mereka juga akan keluar ketika tren bisnisnya usai, seperti saham teknologi yang tumbang setelah suku bunga mulai dinaikkan. Hal itu disebabkan fundamental yang ada tidak mampu menggoda investor untuk betah atau memborong saham tersebut. 

Lalu, bagaimana BBCA, BBRI, BMRI, TLKM, dan ASII, serta TPIA (yang sudah bertahan 5 tahun terakhir) bisa betah di 10 big caps?

Alasan BBCA, BMRI, BBRI, TLKM, ASII, dan TPIA Bisa Bertahan

Ada dua alasan kuat kenapa saham seperti BBCA, BMRI, BBRI, TLKM, dan ASII bisa bertahan di 10 big caps selama hampir 17 tahun. Begitu juga dengan TPIA yang cukup konsisten bertahan dalam 5 tahun terakhir. 

Pertama, pertumbuhan bisnis BBCA, BMRI, dan BBRI bisa dibilang konsisten bertumbuh. Ketiganya adalah pemimpin pangsa pasar industri perbankan. Hal itu terlihat jika dibandingkan dengan BBNI, meski salah satu bank besar, tapi bank pelat merah ini selalu keluar masuk di kelompok 10 big caps. Penyebabnya, pertumbuhan kinerja BBNI tidak se-konsisten tiga bank besar lainnya. 

Begitu juga dengan TLKM, yang menjadi pemimpin pangsa pasar di industri telekomunikasi. Meski, kami bisa bilang kinerja TLKM ini cenderung stagnan, tapi dengan statusnya sebagai BUMN di bidang telekomunikasi yang paket lengkap dari telepon, internet, operator seluler, data center, dan sebagainya membuat daya tariknya tetap ada. 

Kedua, bisnisnya terdiversifikasi dengan baik yang dilakukan oleh ASII. Banyak yang berpikir ASII ini saham otomotif, padahal ASII ini adalah perusahaan konglomerasi yang membawahi banyak sektor usaha mulai dari otomotif, alat berat dan pertambangan, perkebunan, infrastruktur, teknologi, properti, dan lainnya. Ditambah, beberapa anak usaha ASII juga memiliki pangsa pasar yang cukup besar di masing-masing bisnisnya. Hal itu yang membuat ASII tetap menarik minat para investor. 

Ketiga, untuk TPIA ini kasus khusus karena dia bertahan cenderung disokong oleh pemegang saham pengendali dan koleganya. Sehingga dari 2018 sampai saat ini bisa bertahan. Sebenarnya, induk TPIA, yakni BRPT sempat masuk 10 big caps pada 2018 dan 2019, tapi sayangnya tidak bertahan lama. 

Kenapa kami bilang harga sahamnya dikendalikan sehingga cenderung stabil dan mampu bertahan di 10 saham big caps BEI? 

Ada beberapa faktor seperti, jumlah free float yang cenderung kecil sebesar 7,94 persen. Lalu, Prajogo Pangestu selaku pemilik rajin melakukan aksi beli (walaupun juga ada aksi jual) di saham TPIA dengan akun Prajogo Pangestu maupun Barito Pacific. 

BACA JUGA: Begini Strategi Prajogo Pangestu Beli Saham

Kesimpulan: Lalu Bagaimana Nasib BREN dan AMMN?

Balik lagi, harga saham BREN dan AMMN ini meroket karena apa? apakah kinerjanya ciamik? industrinya lagi tren? atau disokong oleh pihak pengendali maupun kesepakatan dengan underwriter IPO-nya? 

Jika melihat transaksi oleh pemegang saham di atas 5 persen, keduanya memiliki catatan transaksi pemegang saham besarnya setelah IPO. Seperti AMMN, Setelah harga sahamnya bergerak cenderung sideways pasca IPO, tiba-tiba mulai melejit di hari ke-11 dan sejak itu terus melejit hingga ke level Rp6.450 per saham. 

Adapun, kenaiakn harga saham AMMN pada akhir Juli 2023 itu didorong oleh aksi beli beberapa pemegang saham jumbonya seperti, Alpha Investasi Mandiri yang borong 5,15 miliar lembar saham, dan Pesona Sukses Cemerlang borong 4,72 miliar lembar saham. 

Sebagai catatan, Alpha Investasi Mandiri adalah entitas yang dimiliki oleh presiden direktur AMMN, yakni Alexander Ramlie. Lalu, Pesona Sukses Cemerlang adalah entitas yang dimiliki bos pengelola KFC di Indonesia, yakni FAST bersama Edie Herjadi yang terafilaisi dengan Grup Salim. 

Transaksi jumbo selanjutnya dilakukan oleh Sumber Gemilang Persada yang borong 23,33 miliar lembar saham pada 8 Agustus 2023. Sumber Gemilang Persada sendiri diketahui sebagai entitas yang dimiliki oleh Grup Salim. 

Lalu, di awal Oktober 2023 juga ada transaksi jumbo dari entitas Ap Investment sebesar 5,74 miliar lembar saham. Ap Investment ini adalah entitas yang bersama Medco mengambil alih tambang Newmont. Diketahui, AP Investment ini milik Agus Projosasmito yang disebut punya afiliasi dengan Salim. 

Begitu juga dengan BREN, Prajogo Pangestu via Barito Pacific dan Green Era Energy tercatat borong 31,57 miliar lembar dan 86,51 miliar lembar saham BREN saat periode distribusi saham IPO di 6 Oktober 2023, dan BREN listing di 9 Oktober 2023. Diketahui, kedua entitas itu juga dimiliki oleh Prajogo. 

Artinya, lonjakan harga saham AMMN dan BREN akan tergantung sampai kapan para pemegang saham jumbonya mau bantu menahannya. Jika mereka sudah perlahan taking profit, ya bisa jadi harga sahamnya amblas dan keluar dari kelompok 10 big caps. 

Kami pesimistis para pemegang saham jumbonya mau jaga saham-sahamnya itu bertahan di 10 big caps. Sehingga ada risiko penurunan harga saham yang signifikan pada akhir 2023 atau awal 2024. 

Gimana, masih mau hold keras investasi jangka panjang di saham newbie yang masuk 10 big caps BEI?

Mau dapat guideline saham dividen 2024?

Pas banget, Mikirduit baru saja meluncurkan Zinebook #Mikirdividen yang berisi review 20 saham dividen yang cocok untuk investasi jangka panjang lama banget.

Kalau kamu beli #Mikirdividen edisi pertama ini, kamu bisa mendapatkan:

  • Update review laporan keuangan hingga full year 2023 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan
  • Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
  • Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
  • Siap mendapatkan dividen sebelum diumumkan (kami sudah buatkan estimasinya)

 Yuk langsung join Mikirdividen DISKON LANGSUNG Rp100.000 klik di sini ya

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini