ADMF Umumkan Akuisisi MFIN, Masih Bisa Beli Sahamnya?

Harga saham ADMF dan MFIN melejit setelah pengumuman akuisisi. Kira-kira masih bisa beli untuk investasi atau sekadar trading ya?

ADMF Umumkan Akuisisi MFIN, Masih Bisa Beli Sahamnya?

Mikir Duit – Isu saham yang diakuisisi atau mengakuisisi sering menjadi pendorong harga saham naik tinggi. Kini, PT Adira Multifinance Tbk. atau ADMF menggulirkan isu akuisisi saham PT Mandala Multifinance Tbk. atau MFIN, serta Home Credit yang lagi diproses. Pertanyaannya, apakah saham yang lagi proses akuisisi itu menarik untuk diboyong meski harganya tinggi?

Daftar Isi Konten

Cerita Akuisisi ADMF dan MFIN

Sepanjang 2023, ADMF bersama induk usahanya MUFG lumayan agresif melakukan aksi akuisisi perusahaan pembiayaan. Hal ini selaras dengan misi ADMF untuk diversifikasi bisnis di luar segmen non-otomotif, yakni seperti pembiayaan multiguna untuk pembelian peralatan elektronik dan lainnya.

Seperti, Home Credit Group B.V mengumumkan perjanjian untuk menjual dua bisnisnya di Asia dalam satu kesepakatan senilai 615 juta euro pada 24 November 2022. Dua bisnis Home Credit yang dilepas antara lain, Home Credit Filipina dan Indonesia.

Pembeli dua bisnis Home Credit di Asia itu adalah Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) bersama Krungsri Bank asal Thailand.

Konsorsium pembeli dua bisnis Home Credit itu juga terdiri dari beberapa anggota seperti, ADMF dan salah satu investor lokal Indonesia. Transaksi itu nantinya akan menunggu keputusan pemegang saham Krungsri yang ditargetkan rampung pada semester II/2023.

Selain masuk ke dalam konsorsium yang mengakuisisi Home Credit Filipina dan Indonesia, ternyata ADMF juga mengakuisisi PT Mandala Multifinance Tbk. (MFIN).

MFIN ini adalah perusahaan pembiayaan yang bisnisnya terdiversifikasi antara pembiayaan motor, multiguna, dan peralatan elektronik. Artinya, akuisisi MFIN dan Home Credit akan memperkuat bisnis ADMF di luar pembiayaan kendaraan bermotor.

Dalam transaksi ini, ADMF hanya akan memiliki MFIN secara langsung sebesar 10 persen. Modal yang dikeluarkan ADMF untuk ambil alih 10 persen saham MFIN senilai Rp870 miliar. Lalu, sisanya akan diambil alih oleh MUFG, pemegang saham pengendali BDMN, yang merupakan induk usaha ADMF.

Terkait aksi akuisisi itu, harga saham ADMF melejit 35 persen sejak akhir 2022 hingga saat ini. Di sisi lain, harga saham MFIN sudah merangkak naik secara perlahan sejak pertengahan 2022. Sampai saat ini, harga saham MFIN sudah naik 144 persen. Adapun, harga saham MFIN sudah bergerak naik sebesar 58 persen sejak April 2023 hingga isu akuisisi oleh ADMF ini mencuat.

Pertanyaannya, sejauh apa harga saham yang mengakuisisi dan diakuisisi ini melejit? bagaimana strategi investasi saham yang baru akan diakuisisi?

Studi Kasus Saham BDMN yang Diakuisisi Grup MUFG

Isu akuisisi dan merger menjadi salah satu penggerak harga saham yang luar biasa. Untuk itu, kami akan mengambil contoh aksi akuisisi saham dalam satu grup MUFG juga sehingga polanya mungkin tidak jauh berbeda.

Jadi, pada medio 2016-an, PT Bank Danamon Tbk. (BDMN) sudah diisukan bakal diakuisisi oleh beberapa investor. Saat itu, pemegang saham pengendali BDMN asal Singapura, Temasek, memang sudah ingin menjual kepemilikannya.

Sampai akhirnya, kabar mengejutkan datang kalau perusahaan asal Jepang MUFG akan akuisisi BDMN. Berhubung MUFG memiliki kepemilikan di PT Bank Mestika Tbk. (BBMD), akhirnya proses akuisisi membutuhkan waktu karena BBMD harus dimerger ke BDMN terlebih dulu.

Dari situ, harga saham BDMN melejit 197 persen dalam periode akhir 2016 sampai April 2019. Kenaikan harga saham juga menular ke anak usaha BDMN, yakni ADMF. Ya, aksi akuisisi ini jelas akan mempengaruhi strategi bisnis anak usaha juga.

Malah, saham ADMF bergerak lebih dulu ketimbang BDMN, saham ADMF menguat 140 persen dari pertengahan 2016 sampai Februari 2019.

Namun, harga saham ketika akuisisi tidak akan selamanya naik. Buktinya, saham BDMN langsung runtuh 65 persen dalam 9 bulan atau tepat sebelum market crash Covid-19 pada Maret 2020.

Menariknya, meski saham BDMN turun dalam, harga saham ADMF masih tetap terjaga. Salah satu asumsinya, ADMF ini adalah tipe saham dividen yang rutin bagi dividen jumbo. Sehingga penurunannya terhadang dari beberapa holder yang mau hold hingga bagi dividen atau terkena sentimen pembagian dividen.

Hal itu terbukti, ketika April 2020, ADMF tetap membagikan dividen jumbo senilai Rp1.054 per saham dengan tingkat dividen yield kala itu sekitar 13 persen. Hal ini yang diperkirakan menjadi penahan penurunan saham ADMF.

BACA JUGA: 5 Saham Dividen Jumbo yang Bisa Diborong Mulai Dari Sekarang

Lalu bagaimana dengan saat ini? sebenarnya posisi ADMF saat ini sebagai pihak yang mengakuisisi. Untuk pergerakan harga saham pihak yang mengakuisisi akan ada pertimbangan beberapa hal yang bisa mendorong harga sahamnya terus naik:

  • Seberapa in-line perusahaan yang diakuisisi terhadap pengembangan bisnis perusahaan yang mengakuisisi, apakah bisa memperluas skala bisnis, meningkatkan diversifikasi bisnis, dan hal yang mendorong pertumbuhan bisnis lebih agresif lainnya?
  • Modal akuisisi dari mana? dari utang? atau dari kas internal? hal ini akan mempengaruhi persepsi kesehatan kinerja keuangan emiten. Jika dengan utang, artinya ada asumsi beban utang perusahaan akan meningkat dan malah jadi sentimen negatif.

Kisah ICBP Akuisisi Pinehill Berujung Koreksi

Faktanya, nasib saham emiten yang melakukan akuisisi tidak selalu bagus. Hal itu pernah terjadi di PT Indofood CBP Sukses Makmur TBk. (ICBP) pada Mei 2020.

Waktu itu, perseroan mengumumkan akan mengakuisisi pihak terafiliasi, yakni Pinehill Company senilai Rp33,55 triliun.

Si Pinehhill ini adalah perusahaan yang produksi Indomie di pasar Timur  Tengah dan Afrika. Alasan ICBP melakukan akuisisi Pinehill dalihnya ingin memperkuat volume penjualan di luar negeri.

Masalahnya di sini, aksi akuisisi jumbo itu sebagian besar dibiayai oleh utang bank.

Kondisi itu langsung membuat harga saham ICBP turun 18,31 persen dalam 4 hari perdagangan. Lalu, isu Pinehill ini kerap menjadi batu sandungan harga saham ICBP setiap rilis laporan keuangan karena dianggap membebani kinerja perseroan.

Meski, jika dilihat setahun setelah akuisisi, penjualan Indomie segmen TImur Tengah dan Afrika melejit 111 persen menjadi Rp13 triliun pada 2021. Lalu, lanjut bertumbuh menjadi Rp14,94 triliun pada 2022. Artinya, aksi akuisisi ini secara catatan angka mempengaruhi kinerja ICBP secara positif.

Walaupun, patut diakui, strategi Grup Salim ini hanya untuk memperlihatkan pertumbuhan bisnis ICBP tetap terjaga di tengah berbagai tekanan persaingan. Soalnya, Pinehill sendiri adalah pihak terafiliasi perseroan juga.

Kesimpulan

Bagaimana nasib saham ADMF selanjutnya? kita akan menunggu data detailnya dan realisasi transaksi akuisisi.

Lalu, apakah bisa gas beli atau gimana nih? atau malah serunya beli yang mana ya? jika melihat valuasi price to book valuenya (PBV), posisi ADMF tetap menjadi yang lebih menarik karena PBV-nya saat ini sebesar 1,04 kali masih di bawah rata-rata 5 tahunnya yang berada di 1,13 kali. Walaupun angka valuasi itu juga tidak menggambarkan posisi yang murah banget, tapi lebih baik dibandingkan dengan MFIN yang sudah cukup mahal dengan PBV 1,46 kali di atas rata-rata 5 tahunnya yang berada pada level 1,28 kali.

Apalagi, saham ADMF maupun MFIN ini adalah saham dividen. Artinya, jika konsolidasi bisnisnya berhasil dan meningkatkan laba bersih, berarti potensi dividen ke depannya juga cukup prospek. Hanya saja, jangan kaget di tengah-tengah mengalami floating loss ya karena itu jadi risiko dari investasi.

Ditambah, dengan masih menyusul satu aksi akuisis Home Credit yang ditargetkan rampung semester II/2023, ADMF jelas lebih menarik. Namun, dengan catatan, ada risiko tinggi juga jika transaksi batal terjadi. Pengingat risiko ini agar kamu tidak berekspektasi harga saham pasti naik juga ya.

Soalnya, saat ini masih dalam tahap tanda tangan perjanjian jual-beli bersyarat di mana jika tidak terjadi transaksi hingga tanggal yang sudah ditentukan, bisa jadi batal. Meski, kalau melihat MUFG dan ADMF sebagai pihak pengakuisisi peluang transaksi batal sangat kecil terjadi. Tidak seperti kejadian Reliance yang mau akuisisi PT WOM Finance Tbk. (WOMF) dari PT Bank Maybank Indonesia Tbk. (BNII) yang sudah tanda tangan perjanjian jual-beli bersyarat pada 2017, tapi ujungnya batal.