Redenominasi Mata Uang Tidak Potong Nilai tapi Bisa Naikin Inflasi?

Wacana rencana redenominasi kembali jadi bahan obrolan. Memang apa efek redenominasi kepada hidup kita? baca pengalaman Turki dan Argentina di sini.

Redenominasi Mata Uang Tidak Potong Nilai tapi Bisa Naikin Inflasi?

Mikir Duit – Wacana redenominasi rupiah makin di depan mata. Kami mendengar pertama kali rencana itu sekitar 8 tahun lalu. Kira-kira jika mata uang rupiah nol-nya dikurangi tiga itu bisa berefek seperti apa ke ekonomi? bagaimana nasib negara-negara yang pernah melakukan redenominasi?

Daftar Isi

Konsep Redenominasi Rupiah

Redenominasi berbeda dengan memotong nilai uang. Banyak orang yang menilai redenominasi itu bisa memangkas uang yang dimiliki. Padahal, redenominasi hanya menghapuskan jumlah nol yang dianggap mubazir. Tujuannya, agar dalam proses transaksi bisa lebih efisien dan mengurangi risiko kesalahan.

Misalnya, Indonesia berencana mengurangi tiga nol di belakang rupiah. Jadi, kalau nilai uang Rp1.000 akan menjadi Rp1.

Secara hitung-hitungan matematika, harusnya efek redenominasi ini sangat minim. Soalnya, nilai terakhir yang bisa ditransaksikan di Indonesia saat ini Rp100. Jadi, harusnya tidak ada kenaikan harga dan semacamnya.

Namun, kenaikan harga bisa terjadi jika ada psikologis dari penjual yang menaikkan harga dan membuat inflasi menjadi naik.

Di sisi lain, Bank Indonesia sudah menyoapkan kajian untuk penerapan redenominasi sejak 2010. Bahkan, rencana redenominasi sudah masuk ke rencana strategis Kementerian Keuangan 2020-2024.

Sayangnya, kondisi ekonomi global memang tidak baik-baik saja sejak pandemi Covid-19. Hal itu yang membuat redenominasi rupiah urung dilakukan sampai saat ini.

Bahkan, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Abdurohman mengatakan pelaksanaan redenominasi harus menunggu momentum yang tepat.

Ekonomi global sampai saat ini dianggap masih belum pulih dan sangat berisiko jika nekat melakukan redenominasi. Belum lagi, sebentar lagi akan ada Pilpres 2024 yang membuat kondisi politik sangat dinamis.

Pengalaman Keberhasilan Turki Melakukan Redenominasi

Turki dianggap menjadi salah satu negara yang sukses melakukan redenominasi mata uangnya. Turki melakukan redenominasi mata uang pada 1 Jannuari 2005. Turki melakukan penyerderhanaan atau redenominasi hingga enam angka nol di belakang mata uangnya. Jadi 1 juta lira turki akan berubah menjadi 1 lira turki.

Tahapannya, Turki melakukan redenominasi di awal tahun anggaran dengan tujuan agar semua catatan pembukuan keuangan negara dan perusahaan langsung menggunakan mata uang baru dengan angka yang lebih kecil.

Lalu, seluruh mata uang lama pun dikonversikan ke mata uang baru. Saat periode transisi redenominasi, Turki membuat mata uang baru dengan simbol YTL (yeni turki lira), yeni artinya baru.

Untuk mengakomodir pecahan kecil, pemerintah Turki juga membuat uang koin sen seperti 50.000 lira turki lama menjadi 0,05 lira turki baru. Angka 0,05 lira turki baru itu akan menjadi 5 sen lira turki baru.

Dalam memulai transisi redenominasi, Turki memberikan waktu untuk penukaran mata uang turki lira lama dengan turki lira baru. Jadi, selama periode transisi itu, uang yang beredar di turki ada dua, yakni turki lira lama dan baru.

Setelah seluruh masyarakat memiliki uang lira turki baru, nama lira turki baru dikembalikan lagi menjadi lira turki.

Namun, fakta menariknya, Turki butuh waktu sekitar 7 tahun untuk mentransisi penggunaan lira turki lama menjadi baru.

Turki dianggap sukses melakukan redenominasi karena dilakukan saat kondisi ekonomi sedang stabil. Lalu, salah satu kesuksesan redenominasi Turki ini juga didorong oleh pemerintah negara yang aktif melakukan stabilisasi harga dan mendorong pertumbuhan ekonomi saat masa transisi tersebut.

Cerita Kegagalan Redenominasi

Namun, bukan berarti seluruh aksi redenominasi berakhir sukses. Ada beberapa aksi redenominasi yang gagal dan memperburuk kondisi ekonomi.

Beberapa negara yang gagal melakukan redenominasi antara lain, Brasil, Zimbabwe, Argentina, Rusia, dan Korea Utara.

Khusus Brasil dan Zimbabwe mengalami kegagalan karena memang secara indikator ekonomi makronya, kedua negara itu dalam kondisi yang tidak sehat ketika ingin melakukan redenominasi.

Di sisi lain, untuk Rusia, Argentina,dan Korea Utara gagal menerapkan redenominasi karena stok uang baru tidak mencukupi saat warga negaranya ingin meukarkan uang.

Selain itu, setelah redominasi diterapkan, ada beberapa oknum warga yang menaikkan harga jual barang jualannya. Hal itu terjadi di Argentina ketika berencana melakukan redenominasi pada 2002. Jadi, para pedagang sengaja membulatkan barang dagangannya dari 7,8 menjadi 8. Memang kelihatannya naik sedikit, tapi gara-gara itu terjadilah inflasi yang besar-besaran.

Kesimpulan

Redenominasi tidak akan dilakukan dalam waktu dekat mengingat kondisi ekonomi global masih menantang. Hal itu berpotensi berpengaruh terhadap kondisi perekonomian Indonesia. Apalagi, saat ini tingkat suku bunga juga sudah cukup tinggi.

Namun, pemerintah dan Bank Indonesia harus benar-benar menyiapkan teknis redenominasi yang matang jika ingin menghilangkan 3 nol di belakang rupiah. Serta harus mengatur harga jual barang, terutama sembako dengan ketat. Jangan sampai kejadian di Argentina ada oknum penjual yang sengaja naikkan harga untuk pembulattan yang berujung kepada risiko inflasi.

Di sisi lain, kami jadi penasaran, jika rupiah di redenominasi tiga nol belakangnya, bagaimana nasib saham gocap? berarti harga sahamnya jadi Rp0,05? lalu bagaimana yang harga sahamnya mendekati Rp1? jadi 0,001? itu menarik juga sih.

Satu lagi tantangannya, ketika melakukan redenominasi, berarti ada risiko analisis laporan keuangan secara manual bakal lebih sulit. Soalnya, format laporan keuangan yang lama dan baru menjadi berbeda.

Menurutmu, apa lagi tantang untuk melakukan redenominasi rupiah? kamu setuju nggak dilakukan redenominasi?