Peluang dan Risiko Saham WIFI Setelah Menang Lelang Frekuensi 1,4 Ghz

Akhirnya, saham WIFI memenangkan lelang frekuensi 1,4 Ghz region 1 untuk Jawa, Maluku, dan Papua. Lalu, bagaimana peluang dan risiko nasib saham WIFI selanjutnya?

saham WIFI

Mikirduit – WIFI telah memenangkan lelang frekuensi 1,4 Ghz untuk Fixed Wireless Access yang diumumkan pada pekan lalu. Namun, pasca pengumuman lelang, harga saham WIFI langsung jeblok hingga akhirnya kembali menguat pada 20 Oktober 2025. Jadi, bagaimana nasib saham WIFI selanjutnya?

Highlight
  • WIFI melalui PT Telemedia Komunikasi Pratama berhasil memenangkan lelang frekuensi 1,4 GHz untuk wilayah Jawa, Maluku, dan Papua dengan nilai penawaran Rp403 miliar, mengalahkan TLKM dan Grup Sinarmas.
  • Meski potensi pendapatan dari bisnis Fixed Wireless Access (FWA) besar, tantangan utama WIFI adalah terbatasnya ekosistem dan suplai chipset, serta biaya operasional per pengguna yang masih belum transparan.
  • Salah satu sentimen positif bagi saham WIFI ke depan adalah rencana mendapatkan global rating yang bisa membuka akses pendanaan baru, namun keberhasilan bisnis FWA akan sangat menentukan prospek jangka panjangnya.
  • Untuk diskusi saham secara lengkap, pilihan saham bulanan, dan insight komprehensif untuk member, kamu bisa join di Mikirsaham dengan klik link di sini
  • Dapatkan Tools Analisis Saham Paling Cocok Untuk Investor Ritel serta Pilihan Saham Indonesia hingga AS dengan AI bersama Investing Pro. Dapatkan Promo Spesial Dari Mikirduit dengan Klik di sini

WIFI melalui PT Telemedia Komunikasi Pratama memenangkan lelang pita frekuensi 1,4 GHz region satu yang mencakup Pulau Jawa, Maluku, dan Papua dengan penawaran Rp403 miliar. WIFI mengalahkan TLKM yang menawarkan Rp399 miliar, serta Grup Sinarmas yang menawar Rp331 miliar.

Sementara itu Grup Sinarmas menang lelang regional II meliputi Sumatra, Bali, dan Nusa Tenggara senilai Rp300 miliar, serta regional III dengan penawaran Rp100 miliar.

Setelah menang lelang, para pemenang harus membayar 3 kali nilai penawaran pada tahun pertama, artinya jika WIFI memberikan penawaran Rp403 miliar, berarti harus menyetor Rp1,2 triliun. Lalu, setelah itu selama 9 tahun ke depan akan membayar sesuai nilai penawaran senilai Rp403 miliar.

Setelah memenangkan lelang, WIFI mengajukan klasifikasi baku lapangan usaha (KBLI) baru, yakni terkait perdagangan besar telekomunikasi, aktivitas telekomunikasi tanpa kabel, dan aktivitas penyewaan dan sewa guna usaha tanpa hak opsi mesin, peralatan, dan barang berwujud lainnya. Kami menilai penambahan KBLI ini terkait dengan hasil pemenangan lelang frekuensi tersebut.

WIFI menargetkan rencana launching produk FWA-nya pada kuartal I/2026, dan mulai soft launching pada akhir 2025.

Nantinya, produk yang dijajakan dengan skema FWA ini akan ditawarkan WIFI dengan harga Rp100.000 per bulan secara pre-paid (jadi bukan post-paid). Angka itu sudah termasuk biaya sewa alat Customer Premise Equipment (CPE).

Namun yang jadi pertanyaannya, seberapa cuan bisnis Fixed  Wireless Access ini?

Risiko Supply Chip dan Misteri Biaya per Homepass

Setelah menang lelang, pertanyaannya selanjutnya apakah produk FWA WIFI ini menguntungkan? 

Dalam public expose insidentil yang digelar perseroan pada 21 Oktober 2025, manajemen WIFI mengungkapkan salah satu tantangan FWA ini adalah belum ada ekosistem yang mendukung karena merupakan frekuensi pertama yang digunakan di Indonesia. Hal ini juga yang disuarakan oleh pihak asosiasi terkait rencana pemerintah lebih dulu melelang frekuensi 1,4 Ghz ketimbang 700 Mhz, 2,6 Ghz, dan 26 Ghz. 

Manajemen WIFI mengungkapkan, salah satu masalahnya adalah penggunaan chipset yang berhubungan dengan perusahaan semikonduktor. Jadi, supply chipset ini terbatas sehingga ada risiko supply terbatas.

Untuk mengatasinya, WIFI mengungkapkan telah bekerja sama dengan Qualcom untuk membuat chipset yang sesuai, yang mana dalam pembuatannya butuh dibuat oleh TSMC di Taiwan.

Dengan ekosistem yang belum sepenuhnya tersedia, hal yang menjadi pertanyaannya bagaimana dengan biaya operasional serta belanja modal setiap home pass? 

Sayangnya, dalam public expose tersebut tidak dijelaskan secara rinci. Kami hanya mendapatkan informasi berupa belanja modal perseroan adalah menyewa 1 tower, yang mana nantinya di tower itu akan ditempatkan 3 base transciever station (BTS). Nantinya, setiap 1 BTS akan melayani 300 pengguna, sehingga 1 tower melayani sekitar 900 pengguna. Jika diasumsikan harga sewa tower itu sekitar Rp10 juta - Rp15 juta, kami menggunakan angka terendah, berarti biaya untuk tower per 1 pengguna sekitar Rp11.000.  

Terkait menara telekomunikasi, WIFI bekerja sama dengan Grup TBIG (TBIG dan PKP) serta CENT dengan total menara sekitar 50.000. Lalu, WIFI membuka peluang dapat tambahan tower dari MTEL maupun TOWR.

Namun, angka Rp11.000 per pengguna ini baru asumsi sewa menara-nya. Belum termasuk biaya perangkat BTS, serta perangkat lainnya, termasuk CPE yang disewakan secara gratis ke pengguna. Manajemen WIFI hanya mengatakan, mereka mendapatkan harga terbaik dari para mitranya seperti Huawei, Nokia, hingga Orex Sai. Serta, belum menghitung biaya frekuensi sesuai skema tahun pertama 3 kali harga penawaran, dan tahun selanjutnya sesuai harga penawaran.

Ditambah, jika pengguna dari satu menara (yang terdiri dari 3 BTS masing-masing 300 pengguna) ternyata tidak optimal penuh, berarti biaya yang dikeluarkan berpotensi lebih besar. 

Direktur WIFI Shannedy Ong juga hanya memberikan spekulasi cost untuk FWA tidak jauh beda dengan FTTH-nya dengan asumsi gross profit margin sekitar 60 persen. Secara sederhana, dia menyebutkan hitungan potensi revenue WIFI jika mencapai 5 juta homepass yang 100 persen-nya menjadi home connect.

“5 juta dikali saja dengan Rp100.000, berarti 1 bulan itu sekitar Rp500 miliar. Jika dikali 12 menjadi Rp6 triliun per tahun,” ujarnya.

Dengan asumsi gross profit margin 60 persen, berarti laba kotor Rp3,6 triliun. Nah, masalahnya berapa biaya operasional dan net profit margin maupun operation profit margin yang masih enggan dijawab oleh manajemen.

Skenario ini terlihat oke jika target 5 juta home pass tercapai di tahun depan dan 100 persen terkonversi. Jika yang terkonversi setengahnya berarti pendapatan sekitar Rp3 triliun dengan posisi laba kotor Rp1,8 triliun. Bahkan, skenario terburuk jika yang laku hanya 30 persen-nya berarti pendapatan Rp1,8 triliun dengan laba kotor Rp1,08 triliun.

Secara catatan, WIFI memang sempat mencatatkan take-up rate mencapai 84 persen pada 2024. Hal itu disebabkan dari total home pass masih sedikit, yakni 220.000. Sehingga dengan pencapaian home connect 185.000 angka konversi terlihat tinggi.

Namun, ketika jumlah home pass meningkat di September 2025 menjadi 1,51 juta, tingkat konversi turun menjadi 55 persen (Di bawah target perseroan sebesar 59 persen) dengan home connect sekitar 831.000. Artinya, semakin besar home pass tidak berkorelasi lurus dengan tingkat home connect.

Ada Rotasi Saham Konglo ke Fundamental? Begini Cara Manajemen Porto Agar Tetap Cuan
Mulai ada narasi kalau berpotensi terjadi rotasi sektoral dari saham konglomerat, backdoor, dll ke saham fundamental. Lalu, bagaimana cara kita menyikapi kondisi tersebut?

PR WIFI Sebagai Pemenang Lelang Region 1

Salah satu tantangan WIFI sebagai pemenang lelang region 1 adalah juga harus membangun infrastruktur untuk area Maluku dan Papua. Hal ini menjadi tantangan jika WIFI masih sulit bersaing optimalkan pendapatan dari region Pulau Jawa yang memang jumlah calon customer-nya banyak, tapi persaingannya juga ketat.

Namun, pihak WIFI belum menjelaskan lebih detail bagaimana strategi mereka bisa menjangkau ke area Maluku dan Papua. Hanya saja, salah satu bocoran yang disampaikan oleh Presiden Direktur WIFI, Yune Marketatmo, mereka bekerja sama dengan Bakti untuk akses kabel laut hingga ke Papua. 

Bakti adalah Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI Kominfo) yang merupakan badan non-eselon di bawah Kementerian Kominfo yang bertugas membangun infrastruktur telekomunikasi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar.

Momentum saham WIFI Selanjutnya

Kami menilai salah satu momentum saham WIFI adalah rencana perseroan mengurus global rating. Hal itu membuat perseroan harus mengaudit laporan keuangan kuartal III/2025. Nantinya, laporan keuangan kuartal III/2025 akan dirilis pada akhir November 2025.

Global rating adalah penilaian standar terkait gambaran kemampuan membayar utang untuk sebuah perusahaan atau negara. Nantinya, global rating ini bisa menjadikan validasi terkait risiko utang sebuah emiten.

Artinya, global rating yang lagi diajukan oleh WIFI ada hubungannya dengan kebutuhan pendanaan non-bank yang akan dilakukan. Mulai dari obligasi hingga global bond. Dengan global rating yang hasilnya bagus, harapannya bisa mendapatkan eksposure investor obligasi yang lebih besar hingga kupon yang lebih rendah.

Hingga kuartal II/2025, WIFI memiliki total utang berbunga sekitar Rp1,37 triliun. Dengan asumsi ekuitas sebelum right issue sekitar RP2,1 triliun, berarti tingkat DER sekitar 0,62 kali. Jika asumsi setelah right issue total ekuitas menjadi Rp8 triliun berarti tingkat DER sekitar 0,17 kali. Sehingga ruang untuk mendapatkan pendanaan masih cukup besar.

Dari segi interest coverage rasio (ICR) juga masih cukup oke sebesar 4,8 kali (angka twelve trailing month per kuartal II/2025).

Ditambah, WIFI sangat butuh tambahan dana segar, apalagi jika jadi untuk akuisisi LINK.

Kesimpulan

Kami menilai salah satu sentimen WIFI selanjutnya adalah mendapatkan global rating tersebut. Dengan angka-angka eksisting, tingkat rating yang didapatkan harusnya masih cukup oke. Namun, setelah itu perlu lihat bagaimana perkembangan bisnis FWA yang secara cost masih cukup misteri (karena tidak cukup banyak yang diungkap manajemen dalam pertemuan terakhir).

Mau Belajar Cari Saham Cuan Secara Mandiri dan Dapat Insight Saham Pilihan dari Mikirsaham?

Pas banget, kami juga lagi ada promo bundling mikirsaham pro dengan event mini bootcamp Stockverse: Mencari Cuan Secara Mandiri.

Di sini, kamu bisa praktek cari saham sendiri dan mendapatkan insight untuk mempermudah pembelajaran hingga nantinya kamu bisa menganalisis saham secara mandiri.

Benefit Mikirsaham Pro:

  • Stockpick investing (dividend, value, growth, contrarian) yang di-update setiap bulan
  • Insight saham terkini serta action-nya
  • IPO dan Corporate Action Digest
  • Event online bulanan
  • Grup Diskusi Saham

Benefit Stockverse:

  • Video edukasi Lifetime
  • Event online, 1 November 2025 (belajar teknikal), 8 November 2025 (menciptakan strategi investasi saham sendiri), 9 November 2025 (Market Outlook)

Kamu bisa beli paket bundling ini cuma Rp950.000 dari harga sebelum diskon Rp2,1 juta dengan klik di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini