Nasib Pasar Saham Indonesia di Tengah Gempa Kuantitatif China

Pasar saham se-Asia sempat kompak merah saat awal-awal perdagangan 23 Februari 2024. Bukan the Fed, tapi ada cerita gempa kuantitatif di China. Apa itu? simak penjelasannya di sini

Nasib Pasar Saham Indonesia di Tengah Gempa Kuantitatif China

Mikirduit – Lagi-lagi muncul cerita ada risiko krisis keuangan 2008 terulang setelah ada gejolak di pasar saham China. Semua ini bermula dari adanya aksi jual para hedge fund dengan metode kuantitatif yang menggunakan program komputer untuk bertransaksi saham berkapitalisasi pasar kecil. Gara-gara itu, regulator China mengawasi ketat para hedge fund kuantitatif, tapi apakah kondisi ini membahayakan pasar saham Indonesia juga?

Pasar saham Asia sempat kompak memerah pada awal perdagangan 23 Februari 2024. Bahkan, IHSG sempat turun hingga 1 persen. Padahal, pasar saham Amerika Serikat (AS) pada 22 Februari 2024 naik hingga di atas 1 persen. Lalu, apakah gempa Quant, istilah untuk aksi jual hedge fund dengan model kuantitatif di pasar saham China, itu penyebabnya? simak kronologinya di sini. 

Semua bermula dari adanya aksi jual saham-saham berkapitalisasi kecil di Shanghai Stock Exchange pada akhir Januari 2024 sampai 5 Februari 2024. Gara-gara itu, dalam sepekan bursa saham Shanghai turun 7 persen.

Ziang Fang, analis dari Man Group, mengatakan dalam sebuah catatan minggu ini (dari publikasi yang dirilis pada 22 Februari 2024) ada aksi jual yang besar sehingga membuat harga saham berkapitalisasi pasar kecil menjadi anjlok dalam level terendah sepanjang sejarah. Aksi jual itu dilakukan oleh para hedge fund dengan kuantitatif model di mana mereka masuk ke saham-saham kecil dan melakukan transaksi dan analisis dengan sistem komputer.

💡
Memahami hedge fund kuantitatif model: Strategi kuantitatif ini melakukan transaksi saham berkapitalisasi pasar kecil yang dianggap berpotensi adanya kesalahan harga dibandingkan dengan harga wajarnya. Oleh karena itu, peluang mendapatkan keuntungan dari saham berkapitalisasi pasar kecil sangat besar dan bisa dieksploitasi oleh program komputer.

Masalahnya, gara-gara aksi jual secara otomatis dengan sistem komputer itu, para hedge fund kuantitatif model mendapatkan pengawasan ketat dari regulator di China. Bahkan, salah satu raksasa hedge fund kuantitatif di China, yakni Lingjun Investment dianggap melanggar aturan perdagangan. Hasilnya, hedge fund tersebut dilarang bertransaksi selama 3 hari. 

Kondisi ini membuat banyak investor di hedge fund itu mulai panik. Pasalnya, banyak produk dari hedge fund kuantitatif ini mengalami penurunan hingga 15 persen dalam seminggu. 

UBS mencatat dari kebijakan pemerintah China yang lebih ketat terhadap para hedge fund kuantitatif ini, China harus siap menghadapi risiko kerugian dan tekanan likuidasi. "Jika para hedge fund kuantitatif ini mengurangi aktivitas perdagangan, hal itu bisa mempengaruhi tingkat likuiditas pasar untuk saham berkapitalisasi pasar kecil," tulis UBS seperti dikutip dari Reuters. 

Penyebab Aksi Jual Otomatis Di Hedge Fund Kuantitatif

Pemerintah China memang sempat mengutarakan niat mengintervensi pasar modal dengan dana BUMN-nya di luar negeri. Hal itu terlihat dari adanya kenaikan cukup tajam di saham-saham berkapitalisasi menengah dan besar di China. 

Sayangnya, aksi intervensi pemerintah China itu membuat komputer hedge fund kuantitatif bereaksi untuk menjual saham-saham berkapitalisasi kecil. Hasilnya, saham-saham berkapitalisasi kecil di China pun anjlok.

Hal itu terlihat dari indeks yang merepresentasikan saham berkapitalisasi mikro mencatatkan penurunan hingga 31 persen dalam 5 hari perdagangan pertama Februari 2024.

Lagi-lagi Dejavu Krisis Keuangan 2008

Pasca Covid-19, dunia berkali-kali khawatir kalau krisis keuangan 2008 yang dialami Amerika Serikat (AS) bisa terulang. Awalnya, dari kasus gagal bayar utang Evergrande yang dikaitkan dengan bubble properti seperti penyebab krisis keuangan di AS pada 2008. 

Lalu, kolapsnya beberapa bank yang memberikan memiliki segemen startup dan perusahaan teknologi pada awal 2023. Hal itu juga mengingatkan kejadian krisis keuangan 2008 saat terjadinya masalah di likuiditas bank akibat bubble properti. 

Teranyar, kejadian gempa Quants [gejolak hedge fund kuantitatif di China] juga dikaitkan dengan dejavi krisis Keuangan 2008. Dikutip dari South China Morning Post, artikel berjudul Quant quake: Man Group Says China Stock Market Rout Mirrors 2007 US Meltdown mengaitkan kejadian di China saat ini mirip seperti di AS pada 2007. 

Jadi, kondisi pasar subprime mortgage mulai memburuk pada Agustus 2007. Beberapa hedge fund jangka panjang dan pendek dengan metode kuantitatif mulai mengalami kerugian besar secara tiba-tiba. 

Kala itu, kerugian yang dialami hedge fund di AS diperkirakan karena beberapa peristiwa yang membuat komputer kuantitatif melakukan aksi jual. 

Berdasarkan asumsi kerugian tiba-tiba dari para hedge fund kuantitatif di China itu langsung dianggap sebuah dejavu ke risiko krisis keuangan 2008 akan terulang. 

Efek ke Pasar Saham Indonesia

Jika kejadian ini berefek kepada pasar saham China kekeringan likuiditas serta gangguan di sistem keuangan dan berefek ke perlambatan ekonomi, hal itu jelas bisa berefek signifikan ke Indonesia dan dunia. Efeknya bukan hanya ke pasar saham, tapi juga ke perekonomian secara keseluruhan. 

Tidak bisa dipungkiri lagi, saat ini China adalah negara dengan salah satu konsumsi dan produksi terbesar di dunia. Jika ekonominya melambat akan ada masalah terhadap permintaan dan produksi barang-barang. Hal itu membuat ketidakseimbangan mulai dari harga komoditas dan sebagainya. 

Artinya, jika itu terjadi butuh waktu paling cepat selama 1 tahun untuk pemulihan dari kondisi ekonomi yang buruk. Dengan kondisi itu, investor akan mulai mengamankan aset ke instrumen rendah risiko seperti obligasi dan emas, bahkan dalam bentuk tunai. Pasar saham pastinya akan tertekan sementara seperti saat pada medio 2008, meski secara umum pasar saham Indonesia di 2008 turun karena adanya tekanan dari Grup Bakrie yang kolaps gara-gara utang repo saham. 

Namun, ada satu hal yang harus dipahami, krisis keuangan tidak datang setengah-setengah, melainkan tiba-tiba semuanya terjadi. Kejadian yang sering dianggap pertanda krisis seperti 2008 pun bisa dibilang belum tentu pasti menjadi krisis. 

“Kalau krisis datangnya bilang-bilang, ya nggak jadi krisis,” ujar Perry Warjiyo yang kini menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia pada medio 2017 dalam sebuah pertemuan di Bali. 

Jadi, apa yang harus kita lakukan saat ini? ya berjalan seperti biasa saja, tidak perlu ada yang ditakutkan. Untuk itu pentingnya melakukan aset alokasi dari aset likuid rendah risiko sampai aset yang risiko tinggi untuk mencatatkan pertumbuhan aset.

DISKON UNTUK PEMBURU SAHAM DIVIDEN DI BULAN PENUH CINTA

Kami berikan promo untuk member baru dengan potongan harga hingga Rp200.000 langsung hingga Akhir Februari 2024. (kuota promo terbatas siapa cepat dia dapat)

baru saja meluncurkan Zinebook #Mikirdividen yang berisi review 20 saham dividen yang cocok untuk investasi jangka panjang lama banget.

Kalau kamu beli #Mikirdividen edisi pertama ini, kamu bisa mendapatkan:

  • Update review laporan keuangan hingga full year 2023-2024 dalam bentuk rilis Mikirdividen edisi per kuartalan
  • Perencanaan investasi untuk masuk ke saham dividen
  • Grup Whatsapp support untuk tanya jawab materi Mikirdividen
  • Siap mendapatkan dividen sebelum diumumkan (kami sudah buatkan estimasinya)
  • Publikasi eksklusif bulanan untuk update saham mikirdividen dan kondisi market

Tertarik? langsung saja beli Zinebook #Mikirdividen dengan klik di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini