Kenapa Suku Bunga Kredit Bank di Indonesia Setinggi Langit?

Suku bunga kredit di Indonesia bisa disebut mahal karena net interest marginnya masih tertinggi di Indonesia. Mau tau penjelasan lengkapnya? baca di sini

Kenapa Suku Bunga Kredit Bank di Indonesia Setinggi Langit?

Mikir Duit – Presiden Indonesia Joko Widodo menyindir tingkat net interest margin alias NIM perbankan Indonesia paling tinggi di Asia. Hal itu menandakan tingkat suku bunga kredit di masyarakat masih cukup tinggi. Lalu, kenapa suku bunga kredit bank di Indonesia tinggi? apakah ada peluang turun lebih rendah

NIM perbankan di Indonesia per 2022 disebut sekitar 4,4 persen, sedangkan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) memiliki net interest margin (NIM) hingga 6,8 persen. Apakah angka itu besar?

Kita bisa bandingkan dengan beberapa negara di Asia. Misalnya, China dan India yang punya penduduk besar dan wilayah luas saja NIM perbankannya sekitar 2,16 persen dan 3,18 persen. Begitu juga dengan negara Asia Tenggara seperti, Filipina, Vietnam, Singapura, dan Malaysia yang masing-masing punya NIM sekitar 3,55 persen, 3,34 persen, 1,2 persen, dan 1,95 persen.

Angka NIM perbankan negara Asia lainnya jauh di bawah Indonesia, bahkan Singapura dan Malaysia cuma punya NIM di bawah 2 persen. Lalu, apa sebenarnya NIM ini dan kenapa jadi permasalahan?

Apa Itu Net Interest Margin?

Net interest margin adalah rasio yang mengukur selisih pendapatan bunga bank dari penyaluran kredit dengan beban bunga bank untuk pihak yang menyimpan uangnya. Artinya, NIM menggambarkan seberapa besar keuntungan bank dari bisnis intermediasinya alias penyaluran kredit dan penyimpanan dana pihak ketiga.

Dengan begitu, semakin besar NIM, berarti keuntungan yang diperoleh bank dari bisnis intermediasinya makin besar. Penyebab besarnya NIM ada dua, pertama, suku bunga kredit naik lebih tinggi daripada suku bunga simpanan. kedua, suku bunga simpanan turun lebih dalam daripada penurunan suku bunga kredit.

Berarti, NIM yang tinggi akan menggambarkan selisih bunga kredit yang jauh dibandingkan bunga simpanan. Lalu, kenapa suku bunga kredit di Indonesia tinggi?

Penyebab Suku Bunga Kredit di Indonesia Tinggi

Ada beberapa penyebab suku bunga kredit di Indonesia masih tinggi.

Pertama, inklusi perbankan yang masih belum menyentuh 100 persen dengan literasi yang masih di bawah 50 persen. Inklusi perbankan di Indonesia sampai 2022 baru 74 persen, sedangkan literasi baru 49 persen. Perbedaan inklusi dengan literasi, inklusi artinya sudah menggunakan, sedangkan literasi sudah benar-benar memahami.

Artinya, supply dana pihak ketiga dari seluruh masyarakat belum optimal sehingga risiko pengetatan likuiditas cukup besar. Jika likuiditas ketat alias momen ketika jumlah peminjam lebih banyak daripada yang nabung, bank akan putar otak dengan menaikkan suku bunga deposito.

Kenaikan suku bunga deposito bisa berujung kepada kenaikan suku bunga kredit untuk menjaga tingkat margin keuntungan perbankan.

Kedua, operasional bank di Indonesia masih tidak efisien. Soalnya, Indonesia wilayah kepulauan yang membuat biaya operasional juga cukup tinggi. Untuk itu, beberapa bank dengan target market UMKM di daerah-daerah bakal menawarkan bunga yang cukup tinggi juga.

Ketiga, dengan tingkat literasi yang rendah, membuat risiko kredit ke segmen tertentu seperti UMKM juga dibebankan bunga tinggi. Beban bunga tinggi itu untuk menutup risiko gagal bayar, seperti pepatah lama dalam investasi, high risk high return, meski bank tetap menyalurkan kredit dengan syarat dan ketentuan yang ketat.

Bisakah Suku Bunga Kredit Lebih Rendah?

Jawabannya bisa banget, apalagi dengan kehadiran bank-bank digital yang seharusnya lebih efisien dari segi operasional. Namun, masalahnya, saat ini bank-bank digital masih dalam tahap pengenalan sehingga menawarkan suku bunga deposito yang tinggi.

Hal itu pula yang membuat suku bunga kredit di bank digital malah lebih tinggi daripada suku bunga kredit di bank besar seperti, BBRI, PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BBNI), maupun PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI).

Ditambah, rata-rata bank digital berasal dari bank kecil yang nasibnya tidak begitu baik. Seperti, PT Bank Jago Tbk. (ARTO), berawal dari Bank Artos yang waktu itu sedang terjebak kredit bermasalah yang tinggi. Begitu juga, PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) yang berasal dari bank pensiunan Bank Yudha Bhakti. Bank itu juga sempat kelilit NPL.

Selain harus menyelesaikan masalah di masa lalu, bank-bank digital cenderung memiliki likuiditas yang cukup ketat. Meski, ada yang rasio loan to deposit (LDR) tembus di atas 100 persen. Rata-rata bank digital punya modal tambahan yang tebal karena dikejar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk minimal punya modal Rp3 triliun.

Jika nanti bank-bank digital di Indonesia sudah lebih mature, bukan tidak mungkin mereka berani menawarkan suku bunga kredit lebih rendah dan bersaing dengan bank besar seperti BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI. Kondisi itu yang akan memaksa bank menurunkan tingkat suku bunga kreditnya untuk bertahan hidup.

Suku Bunga Kredit Tinggi Berkah untuk Investor  Saham Bank Besar

Suku bunga kredit yang masih tinggi jelas jadi berkah untuk investor saham bank besar. Pasalnya, dengan suku bunga kredit tinggi dan pasar perbankan di Indonesia yang belum terjangkau sepenuhnya membuat pertumbuhan pendapatan bunga bersih bank tetap terjaga.

Artinya, kinerja keuangan bank besar dengan NIM tinggi serta operasional yang lebih efisien dibandingkan bank yang lebih kecil bisa membuat mereka mencatatkan keuntungan yang besar secara konsisten. Keuntungan yang besar berujung kepada prospek pergerakan harga saham yang konsisten naik.

Hal itu pula yang memancing banyak bank dari Korea Selatan, Jepang, China, Thailand, Malaysia, hingga Singapura berbondong-bondong masuk ke Indonesia.

Misalnya, dari Korea ada PT Bank KEB Hana, PT Bank Kookmin Bukopin Tbk. (BBKP), PT Bank Woori Saudara Tbk. (SDRA), PT Bank IKB Tbk. (AGRS). Lalu, dari Jepang sudah masuk ke PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN) hingga PT Bank Danamon Tbk. (BDMN).

Para investor asing itu tertarik masuk ke saham bank di Indonesia karena masih memiliki tingkat NIM yang cukup tinggi.

Kesimpulan

Suku bunga kredit bank bisa saja turun menjadi lebih rendah di masa depan. Caranya, dengan tingkat tabungan masyarakat di bank sudah lebih banyak sehingga likuiditas bank berluber-luber dan tidak ada alasan untuk mematok suku bunga kredit tinggi. Soalnya, dengan likuiditas bank sangat longgar, berarti bank tidak ada alasan menaikkan suku bunga deposito untuk mencari dana yang siap disalurkan menjadi kredit.

NIM bank yang masih tinggi pun bukan masalah dan menjadi tanda prospek emiten bank di Indonesia masih bagus. Jika tingkat NIM bank di Indonesia sudah setara dengan negara Asia lainnya, berarti hal itu bisa menjadi tanda sektor bank di Indonesia sudah tidak seprimadona sebelumnya.

Nah, saham bank apa nih yang menjadi andalanmu?