Jika Asuransi Gagal Bayar, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Banyak yang terjebak di produk asuransi dan menjadi korban gagal bayar. Kalau itu terjadi kepada kita, apa yang bisa kita lakukan ya?

Jika Asuransi Gagal Bayar, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Mikir Duit - Deretan kasus asuransi gagal bayar dalam beberapa tahun terakhir antara lain, Bumiputera, Jiwasraya, Kresna Life, hingga Wanartha Lilfe. Kondisi itu mencoreng industri asuransi sehingga banyak masyarakat yang khawatir klaim manfaat asuransi malah tidak bisa dibayarkan. Muncul pertanyaan, jika asuransi gagal bayar, memang apa yang bisa dilakukan nasabahnya?

Industri asuransi memang salah satu yang penuh dengan intrik. Misalnya, kasus unitlink AIA, AXA Mandiri, hingga Prudential, permasalahannya bukan di produk, tapi bagaimana para pemasar produknya menawarkan janji manis tanpa menjelaskan risiko besarnya. Akhirnya, nasabah berasumsi produk unitlink itu adalah investasi, tapi ketika uangnya mau dicairkan malah berkurang.

Berbeda lagi dengan kasus Bumiputera, perusahaan asuransi legendaris, yang ternyata punya masalah dalam tata kelola asetnya. Akhirnya, ketika nasabah ingin mengklaim manfaat asuransinya malah jadi gagal bayar.

Untuk kasus Jiwasraya, Kresna Life, hingga Wanartha Life, ketiganya mengalami masalah di produk saving plan. Sebenarnya, produk saving plan di industri asuransi Indonesia sudah ada cukup lama. Saving plan adalah produk asuransi jiwa yang ditambah manfaat premi bisa dikembalikan di akhir periode, beberapa juga memberikan keuntungan dari premi yang sudah disimpan. Biasanya, produk saving plan sering dikemas dalam asuransi pendidikan.

Namun, ketiga perusahaan asuransi itu mengemas produk saving plan dengan lebih manis seperti memberikan keuntungan investasi fix dengan bunga di atas deposito bahkan mendekati 10 persen per tahun.

Hasilnya, ketika masuk jatuh tempo, ternyata hasil investasi tidak mencapai 10 persen per tahun, malah mengalami penurunan. Akhirnya, ketiga asuransi itu gagal bayar manfaat yang sudah dijanjikan ke nasabahnya.

Jika Gagal Bayar, Apa yang Dilakukan Nasabah?

Sayangnya, ketika perusahaan asuransi gagal bayar, posisi nasabah cenderung menjadi lemah. Perusahaan asuransi bisa berlindung di berbagai pasal dalam perjanjian, dari risiko investasi dalam unit link menjadi tanggung jawab nasabah hingga berlindung dibalik istilah force majure atau hal-hal yang tidak terduga sehingga perusahaan asuransi jadi gagal bayar.

Untuk itu,nasabah bisa menempuh dua jalur jika ingin menyelesaikan permasalahan dengan perusahaan asuransi.

Pertama, jalur hukum, di sini nasabah bisa mengajukan pailit perusahaan asuransi yang gagal bayar melalui pengadilan. Namun, proses pengajuan pailit tidak mudah karena harus mendapatkan rekomendasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal itu jelas akan sulit jika para korban gagal bayar tidak bersatu untuk mengurusnya.

Belum lagi, setelah pailit, para korban juga harus menunggu penjualan aset-aset perusahaan asuransi yang dinilai oleh kurator. Penjualan aset itu bisa membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Kedua, jalur alternatif non-hukum melalui Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Jasa Keuangan (LAPS-SJK).

LAPS-SJK sendiri baru mulai beroperasi pada 2021. Jika dilihat dari visi misinya, posisi LAPS-SJK hanyalah menjadi mediator untuk penyelesaian sengketa antara perusahaan jasa keuangan,termasuk asuransi dan nasabahnya.

Namun, belum ada rekam jejak keberhasilan LPAS-SJK dalam membantu korban-korban asuransi gagal bayar.

Dari laporan Badan Mediasi Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI) pada 2018, rata-rata hasil mediasi dan arbitrase dimenangkan oleh perusahaan asuransi. Penyebabnya, nasabah kerap lalai dalam membaca polis di asuransi dan ada beberapa pasal jebakan yang membuat mereka kalah.

Kesimpulan

Namun, ingat, setelah membaca ini bukan berarti semua produk asuransi buruk. Tujuan adanya produk asuransi adalah untuk meredam risiko tak terduga di masa depan. Misalnya, asuransi kesehatan untuk membantu biaya pengobatan jika suatu hari nanti di masa depan mengalami sakit. Lalu, asuransi jiwa untuk memberikan biaya hidup jika kepala keluarga terpaksa berpulang lebih dulu.

Jadi, ketika memilih produk asuransi, tujuannya adalah ya untuk meredam risiko tadi bukan mencari keuntungan. Jika ditawarkan produk asuransi dengan iming-iming keuntungan hingga di atas bunga deposito per tahun, jelas itu sudah tidak logis dan bukan produk asuransi yang sehat.

Soalnya, logikanya begini, ketika perusahaan asuransi menjanjikan keuntungan fix 10 persen per tahun. Berarti, perusahaan itu harus mendapatkan keuntungan investasi setidaknya di atas 10 persen untuk mengambil keuntungan. Masalahnya, janji keuntungan fix jelas susah dipenuhi karena investasi yang berisiko seperti saham sifatnya naik-turun fluktuatif. Bagaimana mereka bisa yakin kalau di akhir periode polis bisa memenuhi janjinya?

Begitu juga asuransi jenis unitlink. Fokus asuransi unitlink bukan investasinya, tapi manfaat asuransinya. Nah, jika ada kelebihan keuntungan investasi, itu hanya sebagai bonus.

Misalnya, untuk unitlink asuransi kesehatan, jika kita sakit dan klaim asuransi ternyata tidak bisa tercover secara penuh. Nah, kita bisa menggunakan uang investasi di unitlink untuk menutupi sisanya sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya sama sekali.

Jadi, mindset-nya adalah asuransi itu untuk meredam risiko bukan mencari keuntungan.