Deretan Faktor Penyebab Kenaikan Harga Rumah

Harga rumah yang naik terus bikin kita anak-anak muda kesulitan beli rumah. Pertanyaannya, kenapa sih harga rumah naik terus? begini penjelasannya

Deretan Faktor Penyebab Kenaikan Harga Rumah

Mikir Duit – Harga rumah terus naik membuat banyak generasi muda nekat ambil kredit pemilikan rumah dengan tenor hingga 20 tahun, bahkan mendekati 30 tahun. Masalah harga rumah yang terus naik ini tidak hanya kejadian di Indonesia, tapi seluruh dunia. Kenapa bisa begitu? begini penjelasannya.

Kenaikan harga tanah di Yogyakarta disebut menjadi yang tertinggi ketiga di Indonesia. Bahkan, rata-rata kenaikan harga tanah dan rumah di kota pendidikan itu bisa sekitar 20 persen per tahun. Padahal, upah minimum regional Yogyakarta sendiri terhitung rendah. Hasilnya, generasi muda Yogyakarta terancam tidak bisa memiliki rumah.

Sultan Hamengku Buwono X merespons kenaikan harga rumah di Yogyakarta disebabkan oleh banyaknya orang luar daerah seperti Jakarta, yang beli tanah tanpa adanya tawar-menawar. Hal itu yang membuat harga tanah dan rumah cepat melambungnya.

Pertanyaannya, apakah kenaikan harga rumah hanya sekadar pembeli yang tidak tawar menawar?

Penyebab Kenaikan Harga Rumah

Kami menilai ada empat faktor utama yang membuat harga rumah dan tanah bisa terus meningkat setiap tahunnya.

Pertama, warga kota lain yang memiliki pendapatan lebih besar mencari tanah di kota lain. Harapannya, mereka bisa menemukan harga tanah yang lebih murah sebagai aset investasi. Artinya, ketika di Yogyakarta harga rumha Rp300 juta terhitung mahal, tapi warga Jakarta harga segitu masih standar.

Kedua, sesuai hukum ekonomi, pergerakan harga jual-beli akan tergantung bagaimana kondisi supply dan demand. Dalam sektor properti ini, supply berupa tanah dan rumah tapak cenderung terbatas. Di sisi lain, rumah susun seperti apartemen tidak diminati karena ada biaya bulanan yang mahal dan tidak memiliki sertifikat hak milik. Namun, demand rumah sangat tinggi sesuai dengan tingkat kelahiran.

Dengan begitu, para penjual atau pengembang properti pun berani mematok harga rumah lebih mahal karena perhitungan tersebut. Lalu, perbankan juga menyesuaikan dengan pemberian kredit tenor panjang hingga 30 tahun. Dengan begitu, demand rumah terjaga, harga rumah pun terus naik.

Ketiga, minat investasi properti yang sangat tinggi. Banyak orang ingin mengumpulkan uang untuk beli rumah, tapi bukan untuk ditinggali, melainkan untuk investasi. Harapannya, dia bisa menyewakan rumah dan pendapatan sewa jadi passive income. Sayangnya, pola mindset itu yang membuat supply rumah terbatas.

Orang-orang yang berkantong tebal nekat beli banyak rumah untuk disewakan, sedangkan generasi muda yang baru merintis karier kebingungan mencari tempat tinggal. Lalu, beberapa orang yang berkantong pas-pasan mencoba beli rumah untuk disewakan. Padahal, ada aturan larangan menyewakan rumah yang dibeli dengan kredit.

Keempat, inflasi, di luar teknis permintaan dan pasokan rumah yang tersedia, inflasi juga jadi salah satu penyebab terbesar kenaikan harga pokok jual rumah dan tanah. Bayangkan, rata-rata inflasi di Indonesia dari 1980-2023 itu sekitar 8,38 persen per tahun.

Seberapa besar itu? contoh gampangnya, harga rumah di kawasan Puri Indah, Jakarta Barat dengan luas 96 meter persegi itu senilai Rp42 juta pada 1980. Jika dihitung dengan kalkulator inflasi, harga Rp42 juta pada tahun itu setara dengan Rp1,2 miliar. Artinya, tanpa  adanya masalah supply yang terbatas dan demand naik terus dari ingin tinggal dan investasi, harga rumah sudah naik terlalu tinggi akibat inflasi.

Orang Asing Beli Rumah Bikin Harga Makin Selangit

Selain empat masalah tadi, ada lagi satu faktor yang bisa bikin harga rumah makin melejit, yakni warga negara asing diizinkan membeli rumah di Indonesia. Meski, ada beberapa syarat seperti, hanya boleh dengan sertifikat hak guna bangunan dan hak pakai, tapi perizinan itu membuat demand pembelian rumah di Indonesia makin tinggi.

Bukan apa-apa, warga negara asing berpotensi memiliki daya beli yang lebih tinggi daripada masyarakat Indonesia. Hal itu berarti meningkatkan permintaan properti dengan mengorbankan masyarakat Indonesia sendiri.

Bagi pengembang properti, hal ini justru bagus karena permintaan beli rumah dengan harga tinggi akan tetap terjaga. Namun, bagi masyarakat lokal jelas ini risiko besar untuk berebut tanah dengan warga negara asing.

Hal itu pun sudah terasa di Kanada. Pemerintah Kanada memutuskan untuk melarang orang asing beli properti di negaranya mulai 2023 hingga dua tahun ke depan. Alasannya, harga rumah di Kanada melejit karena kenaikan permintaan yang bukan cuma datang dari dalam negeri, tapi juga warga negara asing. Sehingga, warga lokal Kanada mulai kesulitan untuk punya rumah.

Properti memang dianggap sebagai motor penggerak ekonomi. Ketika ada satu pembelian properti, berarti telah mendorong beberapa sektor bisnis lainnya seperti semen, batu bata, keramik, atap, dan perlengkapan rumah lainnya.

Namun, jika harga properti naik akibat permintaan warga negara asing yang tinggi, sehingga membuat masyarakat lokal kesusahan dan berpengaruh ke daya beli masyarakat secara keseluruhan. Kenaikan permintaan properti untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pun akan menjadi sia-sia.

Apakah Akan Tiba Saatnya Periode Bubble Properti Seperti di AS pada 2008?

Mungkin kita pernah mendengar, ekonomi Amerika Serikat sempat mengalami krisis keuangan pada 2008 akibat bubble properti. Faktanya, penyebab ekonomi Negeri Paman Sam waktu itu runtuh bukanlah properti, tapi akibat banyaknya gagal bayar KPR untuk segmen menengah ke bawah dengan pendapatan yang tidak tetap.

Jadi, ketika suku bunga masih rendah pada medio 2001, tepatnya setelah bubble Dotcom meletus, banyak orang beli properti. Lalu, salah satu jenis pinjaman untuk beli properti bagi masyarakat dengan pendapatan tidak tetap,  yakni Subprime Mortgage, juga laris manis. Tujuannya, bank menilai saat itu waktu yang tepat untuk mendorong pertumbuhan hipotek alias KPR properti karena suku bunga rendah.

Apalagi, waktu itu banyak yang menilai pinjaman properti adalah yang paling aman. Soalnya, jika gagal bayar tinggal jual saja propertinya. Artinya, potensi risikonya hampir 0 persen.

Akhirnya, banyak masyarakat dengan pendapatan tidak tetap memborong properti. Sampai akhirnya, The Fed mulai menaikkan suku bunga pada periode 2004-2006 sebesar 4,25 persen. Jadi, suku bunga The Fed yang awalnya 1 persen pada 2003, tiba naik menjadi 5,25 persen hingga 2006.

Masyarakat yang beli rumah dengan pinjaman Subprime Mortgage pun langsung kalang kabut. Mereka pun gagal bayar hingga akhirnya rumah mereka disita. Masalahnya pun berlanjut, bank dan perusahaan pembiayaan tidak bisa menjual rumah sitaan karena harga rumah sudah terlalu tinggi, apalagi suku bunga tinggi membuat ekonomi juga melambat.

Akhirnya, gagal bayar itu menjadi kredit macet yang mempengaruhi likuiditas bank. Ditambah, banyak juga bank yang bertransaksi menyimpan efek beragun aset dari subprime mortgage tersebut. Efek beragun aset ini adalah aset derivatif yang menjadi tempat bank menempatkan dananya di sana.

Ketika kredit subprime mortgage itu banyak yang gagal bayar, Efek beragun aset milik bank-bank di AS itu jadi tidak berharga. Akhirnya, bank di AS benar-benar kesulitan likuiditas dan membuat ekonominya kacau.

Jadi, masalah dari krisis AS 2008 bukanlah bubble harga properti, tapi kesalahan bank dan perusahaan pembiayaan yang menganggap penyaluran KPR atau hipotek ke masyarakat dengan pendapatan tidak tetap itu aman.

Adapun, jika terjadi bubble harga properti di Indonesia, tampaknya hanya berdampak kepada pergerakan kenaikan harga yang melambat. Hal itu terlihat ketika pandemi Covid-19, harga rumah cenderung tidak naik terlalu banyak, tapi ya tidak turun juga.

Kesimpulan

Lalu, bagaimana dengan kita yang generasi muda untuk membeli rumah? sebenarnya jalan tercepat adalah dengan KPR ke bank. Namun, jika pendapatan kita belum terlalu pasti konsisten setidaknya sampai KPR beres bisa jadi pedang bermata dua.

Pilihan lainnya yang lebih banyak dipilih adalah generasi muda mencari rumah di pinggir kota utama dengan harga yang masih terjangkau. Walaupun, untuk beraktivitas membutuhkan effort yang besar juga.

Selain itu, kita bisa berjuang dengan konsisten berinvestasi di berbagai instrumen yang legal seperti saham. Hingga nantinya keuntungan bergulung dan kita bisa mengumpulkan uang mencapai 80 persen harga rumah. Dengan begitu, cicilan rumah akan lebih ringan.

Jadi, apa langkahmu untuk memiliki rumah? tulis di kolom komentar ya