Bahlil Ngebet DME Dibangun 2026, 3 Saham ini CLBK dengan Proyek Batu bara Jadi Gas?
Kementerian ESDM kembali bersemangat menggarap proyek DME yang sejauh ini belum ekonomis. Kira-kira, apa saja saham yang relate dengan ini?
Mikirduit – Proyek Dimelthyl Ether atau DME yang digadang-gadang sebagai subtitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG) kembali dibahas. Lalu, bagaimana perkembangan, peluang bisnis, dan siapa saja emiten yang terkait dengan proyek tersebut?
Highlight
- Proyek DME masih menghadapi tantangan keekonomian yang besar karena rantai proses produksi panjang dan beban pajak bertingkat.
- Pemerintah tetap mendorong keberlanjutan proyek demi menekan impor LPG, meski biaya produksi dan harga jual DME jauh di atas LPG impor.
- Emiten terkait seperti PTBA, ADRO, dan BUMI berpotensi mendapat sentimen jangka pendek jika ada insentif fiskal, meskipun prospek fundamental proyek DME masih penuh ketidakpastian.
- Untuk diskusi saham secara lengkap, pilihan saham bulanan, dan insight komprehensif untuk member, kamu bisa join di Mikirsaham dengan klik link di sini
Kami cukup terkejut ketika Menteri ESDM Bahlil Lahadia mengungkapkan lokasi proyek hilirisasi batu bara menjadi DME akan ditentukan pada Desember 2025, lalu pembangunan konstruksi-nya dimulai 2026. Alasannya, masih banyak yang harus dikaji dari proyek DME ini. Apalagi, investor asing yang sebelumnya mau garap proyek ini sempat angkat tangan karena kurang ekonomis pada 2021 silam.
Namun, jika melihat dari segi proses produksi LPG dengan DME, banyak yang mempertanyakan tingkat keekonomiannya. Pasalnya, dalam proses batu bara menjadi metanol untuk diolah menjadi olefin harus melalui rantai proses yang panjang dan cenderung kurang ekonomis.
Ditambah, industri petrokimia juga menyoroti aspek regulasi dan perpajakan ,yang dinilai dapat membebani biaya produksi. Misalnya, dari proses coal to methanol kena pajak, methanol to olefin kena pajak. Sehingga harga akhir DME akan makin kurang menarik atau kurang ekonomis.
Pihak Asosiasi Olefin, aromatik, dan Plastik Indonesia seperti dikutip dari berita Koran Bisnis Indonesia pada 17 November 2025 berjudul Kalkulasi Cuan Proyek DME, justru menyarankan proyek langsung coal to Chemical yang lebih ekonomis.
Sementara itu, dari segi pemerintah, DME menjadi proyek yang bisa menurunkan impor LPG. Apalagi, konsumsi LPG di 2026 diperkirakan tembus 10 juta metrik ton, dengan kapasitas produksi nasional masih di angka 1,3 juta - 1,4 juta metrik ton. Sehingga Indonesia harus impor LPG hingga 8,6 juta ton.
Namun, apa artinya memangkas impor kalau ternyata nantinya produk DME harus disubsidi jumbo dengan kondisi produk akhirnya yang belum ekonomis? Meski begitu, Pihak Kementerian ESDM mengungkapkan roadmap terkait rencana pembangunan DME.
Jadi, mereka cenderung fokus untuk keberlanjutan proyek. Menurut pihak pemerintah, jika terus memikirkan tingkat keekonomiannya berarti proyek konversi LPG tidak akan jalan.
Untuk itu, ekspektasinya mereka akan menggunakan infrastruktur yang existing dan digunakan LPG akan diubah untuk DME. Namun, hal itu jelas tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Sebagai gambaran, East China Engineering Science and Technology Co. Ltd sempat menyampaikan proposal awal coal to DME pada November 2024. Kala itu, mereka mengusulkan processing service fee sekitar 412 - 488 dolar AS per ton. Angka itu lebih besar dari ekspektasi kementerian ESDM yang senilai 310 dolar AS per ton.
Lalu, harga jual DME diperkirakan 911-987 dolar AS per ton juga lebih tinggi dari usulan kementerian ESDM pada 2021 sekitar 617 dolar AS per ton di luar subsidi.
Harga DME itu juga di atas harga impor LPG Indonesia yang sekitar 435 dolar AS per ton pada 2024.
Saham yang Terkait DME
PTBA pernah menggarap proyek senilai Rp30,45 triliun tersebut yang diumumkan pada akhir 2020 dan ekspektasi bisa rampung pada kuartal II/2024. Kala itu, PTBA berkolaborasi dengan Pertamina dan Air Product untuk proyek DME tersebut.
ADRO melalui PT Adaro Power juga sempat menjajaki proyek tersebut. Dalam prosesnya, ADRO juga disebut sudah tanda tangan kerja sama dengan Pertamina.
Selain ADRO, ada BUMI yang juga berencana menggarap proyek ini. BUMI berkolaborasi dengan PT Air Products East Kalimantan (perusahaan patungan antara Air Product dengan PT Bakrie Capital Indonesia Group, dan PT Ithaca Resources). Nantinya, proyek gasifikasi batu bara menjadi metanol yang akan digarap BUMI bersama Air Product tersebut.
Saat itu, ada dua investor proyek DME, yakni Air Product dan Chemical Inc. Sayangnya, keduanya keluar dari proyek dengan alasan belum ekonomis pada 2022. Setelah itu, kabarnya pemerintah melirik mitra dari China, tapi kisah DME tenggelam hingga mulai disuarakan lagi pada akhir 2025 ini.
Bahkan, Adaro Power, anak usaha ADRO, yang awalnya menggarap DME ini cenderung lebih fokus pengembangan bisnis pembangkit listrik tenaga surya dan sistem penyimpanan energi baterai di Batam. (salah satunya untuk kebutuhan ekspor listrik)

Kesimpulan
Cerita DME masih menjadi narasi yang penuh ketidakpastian. Namun, kami menilai jika dijalankan bisa jadi sentimen jangka pendek untuk saham batu bara yang punya keterkaitan erat dengan proyek tersebut.
Apalagi, jika pemerintah akan mengumumkan insentif relaksasi fiskal untuk proyek tersebut (yang jadi masalah adanya pajak bertingkat karena ada beberapa kali proses produk). Namun, secara tingkat keekonomian masih belum bagus sehingga akan menjadi pertanyaan untuk prospek fundamental dari adanya proyek ini.
Kalau mau mendapatkan insight saham sambil diskusi secara real time bersama founder Mikirduit, yuk join Mikirsaham
Kamu bisa mendapatkan insightnya dengan join Mikirsaham Pro.
Benefit Mikirsaham Pro:
- Stockpick investing (dividend, value, growth, contrarian) yang di-update setiap bulan
- Stockpicking swing trade mingguan (khusus member mikirsaham elite jika kuota masih tersedia)
- Insight saham terkini serta action-nya
- IPO dan Corporate Action Digest
- Event online bulanan
- Grup Diskusi Saham
Join ke Member Mikirsaham Pro sekarang juga dengan klik link di sini
Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini

