Arah Saham BUMI, DEWA, dan KETR yang Dijual Pemegang Saham Jumbo, Tapi Harga Naik

Saham DEWA, BUMI, dan KETR memiliki kesamaan, yakni sahamnya lagi dijual pemegang saham di atas 5 persen, hingga pengendali, tapi harga sahamnya lanjut meroket. Ada apa dibaliknya? dan bagaimana arah selanjutnya?

saham KETR

Mikirduit – Ada beberapa saham yang mengalami kenaikan saat ada distribusi dari salah satu pemegang saham di atas 5 persen-nya. Lalu, bagaimana prospek saham-saham yang naik saat ada yang distribusi? apa yang sebenarnya terjadi? kami merangkum ada 3 saham yang mengalami ini.

Highlight
  • BUMI, DEWA, dan KETR mengalami kenaikan harga saham meski ada aksi jual bertahap dari pemegang saham besar, yang mayoritas berasal dari hasil konversi utang atau mandatory tender offer.
  • Kenaikan harga saham tetap terjadi karena ditopang narasi bisnis dan perbaikan kinerja, seperti ekspansi akuisisi BUMI, perbaikan margin dan ekspansi alat berat DEWA, serta dorongan isu internet murah pada KETR.
  • Meski masih berpotensi dijaga selama proses distribusi berlangsung, saham-saham ini lebih cocok untuk trading jangka pendek karena berisiko turun setelah aksi jual pemegang saham jumbo selesai.
  • Untuk diskusi saham secara lengkap, pilihan saham bulanan, dan insight komprehensif untuk member, kamu bisa join di Mikirsaham dengan klik link di sini

Jika kami telisik, ketiga saham ini memang memiliki momentum bagus secara narasi, tapi di saat bersamaan ada pemegang saham yang melakukan distribusi secara bertahap. Beberapa aksi distribusi dilakukan oleh pemegang saham yang dulunya adalah kreditur dan utang-nya dikonversi menjadi saham, serta ada saham yang mengalami pergantian pengendali secara tidak langsung (pengendalinya diakuisisi oleh pihak lain) dan melakukan mandatory tender offer, lalu dia menjual saham kepemilikan hasil mandatory tender offer tersebut.

PANI Revisi Right Issue, Ada Potensi Free Float Meningkat, Begini Penjelasannya
PANI merevisi aksi right issuenya, hal paling signifikan harga pelaksanaan di Rp12.975 per saham dari sebelumnya Rp15.000 per saham. Lalu, bagaimana efeknya ke saham PANI?

Berikut ulasannya

Saham BUMI

Pertama, saham BUMI. Kamu pasti sudah tidak asing dengan Chengdong Investment Corp yang terus menjual saham BUMI selaras dengan tren kenaikan harga saham-nya sejak akhir 2024.

Chengdong Investment Corp. adalah anak usaha China Investment Corporation (CIC) yang merupakan salah satu kreditur BUMI sejak 2009. Kala itu, BUMI meminjam sekitar 1,9 miliar dolar AS dari BUMN China tersebut dengan tenor 4-6 tahun.

Lalu, BUMI melakukan private placement untuk menjadi jalan konversi utang CIC menjadi saham pada 2022. Saat itu, utang CIC dikonversi menjadi Rp80 per saham untuk 27,47 miliar lembar saham. Total nilainya mencapai Rp2,19 triliun.

Sebelumnya, BUMI sudah melakukan beberapa konversi utang CIC seperti:

1. 2013-2014: BUMI mengalihkan sebagian utang CIC menjadi saham KPC dan BRMS, anak usaha perseroan sebagai bagian dari debt settlement awal

2. 2017: sisa utang CIC direstrukturisasi menjadi instrumen baru, yakni obligasi wajib konversi tranche C berdurasi 7 tahun

3. 2022: BUMI melakukan private placement untuk konversi utang CIC tersebut

Kini, Chengdong masih memiliki 26,07 miliar lembar saham BUMI, yang mana jika seluruhnya dikonversi di harga Rp242 per saham berarti perusahaan China itu mendapatkan Rp6,32 triliun.

Selaras dengan aksi jual Chendong, BUMI memang melakukan beberapa narasi aksi akuisisi seperti:

  • Akuisisi tambang emas Jubilee Metals hasil konversi piutang
  • BUMI akuisisi tambang emas Wolfram
  • BUMI akuisisi tambang Bauksit PT Laman Mining

Saham DEWA

Kedua, Saham DEWA. Perusahaan yang juga terafiliasi dengan Grup Bakrie ini juga baru melakukan private placement untuk konversi utang usaha di awal 2025. Para pemegang saham hasil konversi utangnya mulai menjual sahamnya, tapi harga sahamnya lanjut naik.

Ada tiga entitas yang mengonversi ke saham DEWA, yakni PT Madhani Talatah Nusantara, PT Andhesti Tungkas Pratama, dan PT Antareja Mahada Makmur. Ketiganya memborong 18,83 miliar lembar saham baru DEWA dengan harga Rp75 per saham. Transaksi ini dilakukan untuk konversi utang menjadi saham dengan total nilai transaksi sekitar Rp1,4 triliun.

Adapun utang DEWA terhadap ketiga entitas itu adalah utang usaha dan pinjaman. Dengan detail:

  • Utang kepada Madhani sekitar Rp756 miliar terkait jasa penambangan 
  • Utang pokok kepada Andhesti senilai Rp358 miliar yang memiliki jatuh tempo 18 bulan dengan bunga 12 persen per tahun
  • Utang kepada Antareja sekitar Rp296 miliar 

Dari sini, ketiganya sudah mulai menjual sahamnya secara bertahap.

Pertama, Madhani Talatah yang awalnya pegang 10,09 miliar lembar saham DEWA dengan harga Rp75 per saham, kini tersisa 2,36 miliar lembar.

Kedua, Andhesti Tungkas Pratama yang awalnya pegang 4,78 miliar lembar, kini tersisa 3,8 miliar lembar.

Ketiga, Antareja Mahada Makmur yang awalnya pegang 3,95 miliar lembar, kini tersisa 3 miliar lembar.

Di luar aksi jual bertahap dari pemegang saham tersebut, DEWA juga memperbaiki kondisi bisnisnya.

Prospek saham DEWA sendiri disorot menarik karena perseroan mau fokus langsung menjadi kontraktor tambang dibandingkan dengan sebelumnya memberikan pengerjaan ke subkontraktor. Untuk memenuhi itu, perseroan sudah berinvestasi Rp942 miliar untuk membeli alat berat dari XCMG Group Indonesia pada Mei 2025.

Teranyar, DEWA juga baru tanda tangan kredit sindikasi dengan BBCA, Bank Papua, Bank Sulteng, BCIC, SDRA, Bank Sumselbar, Bank Kaltim dan Kaltara senilai Rp260 miliar dengan tenor 3 tahun hingga 31 Juli 2027. Namun, belum ada kabar lagi terkait tujuan penggunaan kredit sindikasi tersebut.

Jika melirik historisnya, DEWA sempat menandatangani kredit sindikasi dengan bank-bank tersebut senilai maksimal Rp2,6 triliun. Lalu, perseroan juga baru saja update jaminan fidusia atas mesin dan peralatan senilai Rp2,88 triliun sebagai jaminan kredit sindikasi pada 2024 di Mei 2025. Artinya, kredit sindikasi yang siap cair Rp260 miliar bagian dari kredit sindikasi pada 2024 tersebut. Meski tenornya agak berbeda (dalam total kredit tersebut 60 bulan alias 5 tahun).

Dari perkembangan ini, DEWA tengah melakukan perbaikan kinerja. Hal itu juga terlihat dari kinerja DEWA per kuartal II/2025

Jika dilihat, DEWA mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 1079 persen menjadi Rp167 miliar. Namun, kenaikan itu bukan didorong oleh kenaikan pendapatan yang signifikan. Malah, pendapatannya hanya naik 6,44 persen menjadi Rp3,1 triliun. Kenaikan terjadi karena perbaikan dari segi biaya di beban pokok pendapatan yang lebih efisien saat pendapatan naik, serta biaya operasional juga lebih efisien.

Hasilnya, gross profit margin DEWA naik menjadi 15,33 persen dibandingkan dengan 7,44 persen, serta net profit margin naik menjadi 5,4 persen dibandingkan dengan 0,49 persen.

Namun, tantangan DEWA adalah ekspansi untuk memperbesar pendapatan dari pihak ketiga. Pasalnya, 99 persen pendapatan DEWA berasal dari BUMI, yang diperkirakan memiliki posisi di Zurich Asset, yang merupakan pengendali DEWA. Jika DEWA tidak mendapatkan kontrak baru pada tahun depan, ada potensi pertumbuhan kinerja akan stagnan. Pasalnya, pertumbuhan kali ini didorong oleh perbaikan margin keuntungan.

💡
Dapatkan Tools Analisis Saham Paling Cocok Untuk Investor Ritel serta Pilihan Saham Indonesia hingga AS dengan AI bersama Investing Pro. Dapatkan Promo Spesial Dari Mikirduit dengan Klik di sini

Saham KETR

Ketiga, saham KETR. Kali ini tidak ada hubungan dengan Grup Bakrie, tapi saham yang bisnisnya terkait infrastruktur telekomunikasi ini terus menanjak saat pengendalinya, PT Bahtera Bintang Nusantara terus melakukan aksi jual di pasar. Lalu, apa yang terjadi dengan transaksi jual oleh pengendalinya tersebut?

Dari keterbukaan informasi, perseroan menyebutkan keputusan aksi jual pengendali atas saham KETR itu bertujuan untuk pembiayaan operasional. Namun, tidak diketahui apakah biaya operasional KETR atau biaya operasional pengendalinya itu sendiri.

Namun, untuk bisa memahami aksi jual pengendali KETR kita bisa menelisik historis dari pengendalinya tersebut.

KETR melakukan IPO pada 2022, kala itu pengendali akhirnya adalah Galumbang Menak yang menjadi pemegang saham PT Gema Lintas Buana. Struktur pemegang saham KETR pre-IPO antara lain Gema Lintas Benua pegang 31,68 persen, serta PT Fajar Sejahtera Mandiri Nusantara, yang juga anak usaha Gema Lintas Benua pegang 66,5 persen, serta Petrus Sartono pegang 1,8 persen.

Galumbang Menak sendiri dikenal sebagai pengendali KETR dan juga salah satu pemegang saham MORA pre-IPO melalui PT Gema Lintas Benua. Dari berita per November 2023, Galumbang Menak divonis 6 tahun penjara akibat keterkaitan dengan kasus korupsi BTS.

Bersamaan dengan kasus tersebut, KETR mengumumkan keterbukaan informasi terkait perubahan pengendali secara tidak langsung pada Desember 2023. Jadi, PT Fajar Sejahtera Mandiri Nusantara diambil alih oleh PT Bahtera Bintang Nusantara lewat penerbitan saham baru. Sehingga Bahtera Bintang Nusantara memegang 88,7 persen saham Fajar Sejahtera Mandiri Nusantara.

Hal ini membuat KETR secara tidak langsung mengalami perubahan pengendali akhir dari Galumbang Manak menjadi Joy Wahjudi, sosok ini pernah menduduki posisi CEO ISAT. Terkait perubahan pengendali itu, Bahtera Bintang Nusantara wajib melakukan MTO untuk pemegang saham publik di KETR.

KETR mengumumkan MTO pada awal 2024 dengan harga pelaksanaan Rp240 per saham (posisinya sedikit di atas harga pasar kala itu) dengan modal yang keluar sekitar Rp72 miliar.

Dari MTO itu, ada 139,44 juta lembar saham yang melepas sahamnya. Dengan begitu, Bahtera Bintang Nusantara secara langsung menggenggam 4,9 persen saham KETR secara langsung dengan harga rata-rata Rp240 per saham.

Nah, sejak 25 November 2025, Bahtera Bintang Nusantara mulai melepas sahamnya dari sekitar 139,44 juta lembar menjadi tersisa 110,47 juta lembar.

Kami menghitung aksi jual sejak 25 November 2025 hingga 28 November 2025 sudah sebanyak 24,23 juta lembar dengan total keuntungan 135 persen menjadi Rp13,69 miliar.

Artinya, saham yang dijual oleh pengendali KETR ini adalah hasil dari MTO sebelumnya yang berpotensi dikembalikan ke publik lagi. Tujuannya sederhana, bisa untuk menambah free float selaras dengan wacana BEI dan OJK atau memang ingin menjual lagi ke publik dengan alasan untuk pembiayaan operasional. 

Di sisi lain, selaras dengan aksi jual tersebut, KETR juga didorong narasi internet murah yang lagi dijalankan WIFI dan INET.

Kesimpulan

Apakah berisiko masuk saham yang lagi dijual pengendali atau investor di atas 5 persen-nya dengan berbagai alasan? secara risiko menjadi lebih tinggi karena volatilitas juga meningkat. Namun, selama si pemegang saham ada barang dan niat akan keluar bertahap, artinya harga saham bisa dijaga tinggi terlebih dulu. Aksi keluarnya juga akan diselaraskan dengan momentum sehingga bisa menarik psikologis market sebagai likuiditasnya.

Namun, berhubung posisi harga saham sudah cukup tinggi, disarankan untuk trading keluar masuk saja ketimbang investing. Jika goals jualan dari pemegang saham jumbo itu selesai, harga saham bisa turun selaras dengan sepinya transaksi.

Kalau mau mendapatkan insight saham sambil diskusi secara real time bersama founder Mikirduit, yuk join Mikirsaham

Kamu bisa mendapatkan insightnya dengan join Mikirsaham Pro.

Benefit Mikirsaham Pro:

  • Stockpick investing (dividend, value, growth, contrarian) yang di-update setiap bulan
  • Stockpicking swing trade mingguan (khusus member mikirsaham elite jika kuota masih tersedia)
  • Insight saham terkini serta action-nya
  • IPO dan Corporate Action Digest
  • Event online bulanan
  • Grup Diskusi Saham

Join ke Member Mikirsaham Pro sekarang juga dengan klik link di sini

Jangan lupa follow kami di Googlenews dan kamu bisa baca di sini