Jelang Lelang Proyek Panas Bumi, 7 Saham Ini Berpotensi Makin Legit?

Pemerintah membuka lelang proyek panas bumi tahun ini lebih agresif dibandingkan tahun lalu. Digadang ini bakal membuka ruang emiten EBT makin ekspansif dan memicu aliran investasi di sektor ini, kira-kira emiten mana yang bisa ketiban cuan?

saham panas bumi

Mikirduit - Kementerian ESDM pada tahun ini resmi memulai lelang proyek panas bumi pada akhir Mei lalu. Proyek ini digadang bakal mendorong emiten di sektor EBT gencar ekspansi yang memicu banyak aliran dana investasi, kira-kira emiten mana yang menarik dilirik sahamnya?

Highlight
  • Kementerian ESDM berencana lelang 10 wilayah kerja pertambangan panas bumi di tahun ini.
  • Dengan karakter model bisnis capital intensive dari panas bumi, keberadaan lelang wilayah kerja ini menjadi potensi untuk mendorong ruang pertumbuhan bisnis dalam jangka menengah.
  • Ada 7 Saham yang berpotensi mengikuti lelang tersebut
  • Untuk diskusi saham secara lengkap, pilihan saham bulanan, dan insight komprehensif untuk member, kamu bisa join di Mikirsaham dengan klik link di sini

Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), menggunakan platform digital GENESIS telah membuka lelang proyek panas bumi pada tahun ini. 

Ada sebanyak 10 wilayah kerja pertambangan panas bumi (WKP) yang dilelang, diantaranya ada di Danau Ranau, Songgoriti, Telaga Ranu, Banda Baru, Gunung Endut, Galunggung, Tampomas, Ciremai, Lainea, Oka Ile Ange.

Kemudian ada lelang 11 area Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (PSPE) yang tersebar di wilayah Lokop, Pincurak, Cubadak, Panti, Srirejo, Papandayan, Jenawi, Maranda Kawende, Kadidia, Bittuang, Adum. 

Lelang proyek panas bumi ini terbilang lebih agresif dibandingkan tahun sebelumnya yang melelang 7 WKP dan 4 PSPE.

Dari tujuh WKP yang dilelang tahun lalu pemerintah menetapkan total kapasitas energi geothermal mencapai 320 megawatt (MW). Jadi, dengan lebih banyak WKP yang dilelang artinya potensi kapasitas yang didapat akan lebih banyak. 

Tentu saja memicu aliran investasi lebih banyak, pada tahun lalu nilai kesepakatan investasi di sektor panas bumi mencapai US$ 1,82 miliar, setara Rp27,93 triliun (kurs Rp15.351/US$). 

Jika melihat alur tahun lalu, setelah pengumuman WKP dan area PSPE pada Mei - Juni, pengumuman pemenang lelang akan diumumkan sekitar bulan September. Jadi, proses lelang ini akan memakan waktu sekitar 3-4 bulan ke depan. 

Tak sampai situ, pada 26 Mei 2025 lalu, Kementerian ESDM juga merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2025 - 2034. 

RUPTL kali ini disebut menjadi RUPTL paling green sepanjang sejarah karena membuka ruang sangat besar bagi perkembangan EBT di Tanah Air. Bahkan target bauran EBT untuk kelistrikan nasional diincar bisa naik sampai 76 persen dalam 10 tahun. 

Padahal, pada akhir tahun lalu bauran EBT baru mencapai sekitar 14 persen. Lalu pada tahun ini ditargetkan mencapai 17 persen, turun jika dibandingkan dengan target sebelumnya yang memproyeksi bisa sampai 25 persen. 

Dengan target yang agresif dalam 10 tahun, Kementerian ESDM memproyeksikan potensi investasi di pembangkit EBT bisa mencapai Rp1.341,8 triliun dari  Independent Power Producer (IPP) dan Rp340,6 triliun dari PLN.

Siapa yang bisa ikut lelang WKP? 

Beralih ke lelang proyek panas bumi lagi, ini akan menjadi momentum untuk pemain EBT semakin gencar menambah portofolio mereka di segmen geothermal mereka, karena ini akan menjadi saluran pendapatan untuk jangka panjang. 

Kami mencatat beberapa pemain EBT mulai dari skala besar seperti PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN). Lalu ada emiten lain di skala yang lebih kecil yaitu PT Medco Energi International Tbk (MEDC), PT Dian Swastika Sentosa Tbk (DSSA), PT United Tractors Tbk (UNTR), PT Radiant Utama Interinsco Tbk (RUIS), dan PT Archi Indonesia. 

Mari coba kita ulas satu persatu soal bisnis panas bumi mereka : 

Saham PGEO

Pemain panas bumi terbesar datang dari emiten pelat merah sekaligus anak usaha Pertamina, yakni PGEO. 

PGEO sebagai pemimpin pasar industri panas bumi memiliki 13 wilayah kerja yang dikelola sendiri, mencakup daerah Kamojang di Jawa Barat, Darajat di Jawa Barat, Ulubelu di Lampung, dan Lahendong di Sulawesi Utara.

Gabungan dari WKP milik sendiri dan proyek patungan mencatatkan kapasitas terpasang sebanyak 1877 mega watt (MW)

Terbaru, PGEO sudah mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Lumut Balai unit-2 pada Mei sampai Juni tahun ini. 

Proyek ini menjadi bagian dari rencana PGEO untuk menambah kapasitas terpasang sebesar 340 MW tahun ini. 

Kemungkinan PGEO untuk menang lelang bisa dibilang cukup tinggi mengingat saat ini tengah membangun proyek co-generation (COD) yang sudah masuk dalam RUPTL terbaru dan ditargetkan bisa on stream pada 2026 - 2027. 

Ini juga inline dengan target manajemen untuk penambahan kapasitas pada 2-3 tahun mencapai 1 GW, dan pada 2030 - 20233 mencapai 1,5 GW - 1,8 GW. 

Saham BREN 

Pemain geothermal terbesar kedua ada emiten yang terafilitasi dengan konglomerat Prajogo Pangestu, yaitu BREN. 

Data Februari 2025 menunjukkan kapasitas terpasang BREN saat ini mencapai 901,5 MW secara bruto. 

Total kapasitas ini sudah ditambah dengan proyek Salak Binary yang sudah rampung Februari lalu dengan menghasikan setrum kapasitas 15,5 MW. Adapun proyek ini dioperasikan melalui anak usahanya yaitu Star Energy Geothermal (SEG). 

Kabar terbaru per 15 April 2025 lalu, BREN juga mengungkapkan dapat fasilitas pinjaman sebesar US$ 139,5 juta dari Sumitomo Mitsui Banking Corporation Singapore Branch dan DBS Bank Ltd. Pinjaman ini rencananya bakal jadi modal untuk membiayai perluasan kapasitas proyek Wayang Windu.

Efek Drama Israel, AS dengan Iran terkait Senjata Nuklir ke Pasar Saham
Setelah kedamaian terjadi sejak disibukkan perang dagang, kini perang fisik kembali terjadi. Jelang perundingan nuklir Iran-AS, Israel malah menyerang Iran. Lalu, apa efeknya ke pasar saham?

Saham MEDC

Ketiga, ada MEDC yang menjalankan bisnis panas bumi lewat anak usahanya, PT Medco Power Indonesia. 

Saat ini, Medco terlibat dalam dua proyek utama, yaitu proyek Sarulla di Tapanuli Utara, Sumatra Utara, dengan kapasitas terpasang sebesar 330 MW yang sudah beroperasi penuh sejak 2018, dan proyek Ijen di Jawa Timur yang sedang dalam tahap pengembangan. 

Proyek Ijen ditargetkan mulai beroperasi secara komersial pada 2026 dengan kapasitas awal 34 MW, dan potensi totalnya diperkirakan mencapai 110 MW. 

Medco Power juga memegang sekitar 18,3 persen saham di Sarulla melalui skema konsorsium, sementara proyek Ijen dikelola langsung bersama mitra internasional dengan pendanaan hijau dari lembaga-lembaga seperti Green Climate Fund dan Asian Development Bank (ADB).

Saham DSSA 

DSSA, holding dari grup Sinarmas ini melebarkan sayap ke bisnis panas bumi lewat anak usahanya yaitu PT Daya Anugerah Sejati Utama, PT Daya Mas Geopatra Pangrango, dan PT Daya Mas Cisolok Geothermal. 

Tiga proyek awal terletak di Cipanas dan Cisolok (Jawa Barat), serta Nage (NTT), ditargetkan beroperasi komersial pada 2029 dengan kapasitas gabungan sekitar 140 MW

Terbaru, pada 10 Juni 2025, DSSA juga telah mengajukan Amdal untuk proyek tambahan seluas 15.580 ha di Cisolok-Cisukarame, yang akan dibangun dua unit turbin masing-masing 25 MW, sehingga total kapasitas 50 MW, dengan target COD pada 2031 dan investasi sekitar USD 210,5 juta

Saham UNTR  

Dari grup Astra ada UNTR yang juga merambah ke bisnis panas bumi, melalui anak usahanya PT Energia Prima Nusantara (EPN), yang mengakuisisi saham di proyek geothermal Rantau Dedap di Sumatera Selatan. EPN membeli kepemilikan di Supreme Energy Sriwijaya (SES) dan Supreme Energy Rantau Dedap (SERD) dengan total investasi sekitar US$120 juta, sehingga menguasai sekitar 32,7% saham di proyek tersebut. Proyek Rantau Dedap sendiri telah beroperasi secara komersial sejak 2021 dengan kapasitas terpasang 91,2 MW.

Saham RUIS 

Selanjutnya ada RUIS yang juga memiliki bisnis panas bumi, tetapi porsinya hanya kecil sekali. 

RUIS ikut mengembangkan panas bumi melalui investasi sebesar 5% ke PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMG), pengelola proyek panas bumi di Mandailing Natal, Sumatera Utara. Adapun pemilik mayoritas sebesar 95% saham SMG dikuasai KS Orka Renewables

PLTP Sorik Marapi dirancang mencapai kapasitas 240 MW dan saat ini beroperasi sekitar 90 MW 

Pada akhir 2024 lalu, sempat ada rumor kalau RUPS ingin mengakuisisi lebih banyak saham SMG, tetapi sampai ini aksi akuisisi belum ada lanjutan, sehingga kepemilikan atas saham bisnis proyek panas bumi ini masih minim kontribusinya. 

Saham ARCI 

Terakhir, ada ARCI yang masuk catatan kami ikut masuk bisnis panas bumi melalui joint venture (JV) bersama PT Ormat Geothermal Indonesia. Mereka mendirikan joint venture bernama PT Toka Tindung Geothermal, di mana Ormat memegang 95% saham dan ARCI menyertakan sisa 5%

Posisi ARCI ini mirip seperti RUIS, punya bisnis panas bumi tapi kontribusinya masih sangat kecil. 

Adapun, JV ini bertujuan mengeksplorasi potensi panas bumi di konsesi tambang emas Toka Tindung, Sulawesi Utara, dengan kapasitas target awal sekitar 40 MW 

Lantas, mau pilih emiten yang mana? 

Pilihan teratas jika mau fokus dibisnis EBT terkhusus energi panas bumi, kami melihat dua emiten yang menarik yaitu  PGEO dan BREN. Ini karena dua emiten itu punya peluang lebih besar untuk dapat memang lelang WKP dan PSPE. 

Hal itu karena posisi mereka yang mengelola bisnis panas bumi dalam skala besar, rekam jenjang yang panjang dalam industri ini  juga sudah cukup jelas, dari tahap eksplorasi sampai operasi komersial. 

Untuk emiten lain, sebenarnya tak kalah menarik, tetapi story utamanya tak hanya berasal dari sentimen panas bumi ini saja. 

Contohnya MEDC dan RUIS yang punya bisnis di minyak dan gas (migas), akan diuntungkan setidaknya jangka pendek akibat harga minyak mentah yang sempat melesat lebih daru 7% dalam sehari usai Israel menyerang Iran secara besar-besaran pada Jumat (13/6/2025). 

Lainnya ada DSSA yang sebenarnya merupakan perusahaan holding denaan komitmen ESG dan transisi energi, selain mengembangkan panas bumi, perusahaan ini juga masuk ke bisnis pabrik panel surya. Selain itu juga punya transformasi digital melalui MyRepublic Indonesia dan mengembangkan data center melalui PT SMPlus Digital Investama. 

Untuk ARCI main story lebih banyak dari emas, mengingat bisnis nya mayoritas didapatkan dari logam mulia. Dibandingkan dukungan dari segmen panas bumi, selama harga emas masih moncer, emiten ini juga punya potensial upside menarik. 

Terakhir untuk UNTR bisa dibilang yang paling laggard, karena bisnisnya juga bisa dibilang variatif. Sejauh ini, pendapatan banyak dikontribusi segmen batu bara dan alat berat, tetapi perusahaan ini juga dapat kontribusi kecil dari emas sekitar 7% terhadap pendapatan. 

Soal valuasi, khusus sektor ini rasanya kurang relevan untuk pakai pertimbangan mana yang paling murah, ini karena saham BREN punya valuasi sudah terlalu mahal dengan PE lebih dari 300 kali, sementara PBV lebih dari 90 kali. 

Jadi, untuk menilai secara valuasi relatif itu kurang relevan. Oleh karena itu, kami membandingkan dari sisi cash. Karena apa? karena bisnis panas bumi ini bisa dibilang masih berkembang. 

Dari bauran energi EBT yang masih kecil, ini menunjukkan prospek pengembangan ke depan itu masih luas, tetapi PR nya adalah modalnya itu tidak murah, seringkali beban untuk investasi teknologi dan infrastruktur juga bisa menjadi tantangan kalau harga bahan-bakunya nya melambung. 

Karena itu, cash yang tebal jadi modal utama supaya bisnis panas bumi dari emiten-emiten itu akan punya “jaminan” lebih pasti bisa berkembang, menunjang operasional, dan harapannya jadi saluran pendapatan jangka panjang. 

Jadi, mari kita bandingan valuasinya berdasarkan EV terhadap Operating Cashflow (data ditarik per 13 Juni 2025) 

Kalau melihat dari data di atas bisa dibilang UNTR dan MEDC paling murah seiring dengan posisi kas paling banyak, tetapi menurut kami bukan hanya valuasi untuk patokan beli saham di segmen ini. 

Perbandingan valuasi dengan gap yang besar sering tidak relevan, jadi tetap harus dicombine dengan analisis teknikal, supaya dapat momentum harga yang lebih baik untuk dapat return lebih optimal. 

Namun, jangan terlalu FOMO juga, apalagi untuk saham-saham seperti DSSA dan ARCI yang sudah naik kencang, bisa tunggu retracement atau support terdekat untuk manfaatkan peluang trading jangka pendek dengan strategi follow the tren. 

So, kamu pilih saham EBT yang mana nih?

Jadi, apakah saham yang punya panas bumi masih peluang upside ke depannya?

Kamu bisa mendapatkan insight dari diskusi real time hingga analisis saham komprehensif di Mikirsaham. Dapatkan benefit:

  • Pilihan saham value-growth investing bulanan
  • Pilihan saham dividen yang potensial
  • Insight saham komprehensif serta actionnya
  • IPO digest untuk menentukan action-mu di saham IPO
  • Diskusi saham dan rekap diskusinya
  • Event online bulanan
  • Update porto founder jangka pendek, menengah, dan panjang setiap e bulan

Gabung Mikirsaham sekarang dengan klik di sini

💡
Mau Fitur Propicks AI untuk Mendapatkan Stockpick Saham AS yang Menarik, serta data harga wajar saham di Indonesia hingga AS, kamu bisa dapatkan semua itu klik link di sini